~Seperti tangan yang sudah dibiasakan memberi
Apa salah jika akhirnya hatiku pun tergoda untuk turut berbagi?~Part 4
"Apa Umi ngizinin Abi memperlakukan dia sama seperti perlakuan Abi ke Umi?" Sorot mata Kang Zayyin menantangku.
Kubalas dengan senyum.
"Apa Umi ngizinin Abi bersikap selayaknya seorang suami padanya? Yang artinya akan datang kesempatan untuk kami menjadi dekat, atau bahkan jauh lebih dekat dari keadaan kita saat ini?"
"Umi ngizinin," balasku cepat.
Aku lupa kalau kesombongan itu asalnya dari iblis. Dan aku malah berbuat serupa itu.
"Mi?!"
"Udah, ya, Bi. Kalau Abi pikir dengan kata-kata yang memanas-manasi seperti itu tekad Umi luluh, Abi salah."
Terdengar hela napasnya yang berat. "Baiklah. Ikhtiar Abi untuk mengingatkan rasanya sudah lebih dari cukup. Mangga, Abi setuju. Tapi ya itu tadi. Dengan segala konsekwensi yang harus ditanggung berdua. Suka mau pun dukanya."
Airmataku kembali berlolosan mengingat semuanya. Konyol, memang.
Tapi bukankah hati perempuan memang senaif itu?
***
Seminggu kemudian.
"Lho! Nay, kenapa? Dateng-dateng mukanya dilipat gitu. Padahal Umi dah masak yang spesial hari ini."
Aku menegur Kanaya, putri sulungku yang usianya sebentar lagi genap sebelas tahun. Gadis berperawakan tinggi semampai itu menoleh sekilas lalu membuang napasnya kasar.
"Nay mau pindah sekolah, Umi. Pindahnya ke tempat yang jauh aja. Boleh, ya, Mi. Please," ucapnya dengan nada sengau. Bisa kutebak kalau gadisku itu tengah menahan tangis.
"Nay baru pulang, kan? Pasti capek terus laper. Umi bantu rapikan tasnya, ya. Jadi Nay bisa masuk kamar buat ganti baju. Abis itu kita makan bareng. Ayo cepet, Sayang."
Aku mendorong pelan tubuh yang tingginya kini hampir menyamaiku itu. Entahlah. Nyaris seratus persen fisik Kanaya adalah copy-an abinya. Sampai-sampai saat mereka berdua tidur jejeran pun aku akan sedikit kesulitan membedakan perawakan keduanya.
Usai berganti pakaian, Kanaya berlari menuju meja makan.
"Wow, cumi hitam." Ia berdecak kagum.
"Iya. Suka, kan? Sengaja lho, Umi bikinin untuk anak Umi yang paling cantik ini."
"Ya gimana gak paling cantik. Orang anak Umi cuma satu," balasnya dengan pura-pura merengut. "Tapi, kenapa Umi masaknya banyak banget?"
"Hussh. Jangan teriak-teriak, nanti Abi bangun."
"Bodo."
"Eh, Nay?"
"Maaf, Mi."
"Inget sayang. Kesal dan marah itu manusiawi."
"Iya, Mi," ucapnya seraya mulai mengambil nasi.
"Umi mau gak mau harus tetep larang. Sebab mulut ini harus terus dijaga."
Karena mulai mengunyah, dia hanya mengangguk untuk meresponku.
Tadinya aku berniat menyudahi kata-kataku. Narasi-narasi kebaikan yang akan kuharapkan dapat mensugesti dirinya untuk tetap hidup sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini mati-matian kutanamkan.
Akan tetapi karena wajah putriku tetap tenang yang artinya dia tak keberatan, aku pun meneruskannya.
Sebab bisa dibilang ini momen penting untuk mengajarkan adab pada Kanaya. Tentu saja nada yang kupakai juga sangat pelan karena ingin berhati-hati.
"Nay tau kan kalau udah haid, maka semua perbuatan Nay sudah ada pertanggungjawabannya sendiri. Nanti nyesel kalau hanya gara-gara kesel sama Abi, malah jadi Nay sendiri yang menumpuk-numpuk dosa."
"Iya, Mi."
"Ya udah, kita stop dulu ngobrolnya, ya. Biar bisa makan dengan baik dan benar," ucapku sambil menarik kursi lalu duduk di depan gadis itu.
Kami pun akhirnya makan dalam hening. Hanya denting sendok yang sesekali beradu cukup nyaring dengan piring yang ada di depan kami.
Aku tak bisa menebak dengan apa yang telah dilalui Kanaya hari ini di sekolahnya. Namun yang jelas, apa pun itu semoga saja makanan yang susah payah kuhidangkan ini menjadi sebaik-baiknya mood booster untuk hati yang kemrumsungnya tadi.
Andai boleh mengaku dengan jujur, mungkin bukan hanya Kanaya yang akhir-akhir ini merasa tertekan. Aku apalagi. Rasanya sudah lama tak bisa tertawa selepas biasanya.
Entah kapan kebahagiaan yang dulu kumiliki bisa kembali. Entah kapan terangnya cahaya gemintang itu kembali menghiasai hari-hari kami lagi.
"Mi, Nay ke kamar dulu, ya." Kanaya pamit setelah menyelesaikan makannya.
"Iya. Umi juga mau siap-siap ini. Nay hati-hati di rumah, ya."
Langkah gadis itu terhenti sejenak lalu berbalik. "Kalau Umi pergi, Nay berdua dong sama Abi?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Malas. Nay juga mau pergi kalau gitu!"
"Ikut Umi ngaji?"
"Nggak, lah. Nay main aja ke rumah Vivi."
"Ini tengah hari, Sayang. Nggak enak main ke rumah orang. Lagian rumahnya Vivi kan ada warungnya. Pasti berisik. Nay biasanya kan istirahat kalau pulang sekolah."
"Nggak apa-apa. Daripada di sini." Dengan menghentakkan kakinya, Kanaya pun berlalu.
***
"Nay, kalau udah siap cerita, Umi juga dah siap dengerinnya." Malam hari, aku sengaja menemui Kanaya di kamarnya.
Kamar yang didekorasi sesuai keinginan dan seleranya. Sebagai anak yang menjelang gadis, kanaya memang suka sekali dengan aktivitas mengumpulkan dan menyimpan berbagai pernak-pernik serta perintilan khas remaja.
Alhasil, meski awalnya cukup luas, kamar ini sekarang sudah lumayan penuh. Terlebih, abinya seolah lebih fokus pada kebahagiaan sang putri daripada memikirkan uangnya yang habis sia-sia. Sampai tak segan-segan menuruti semua keinginan putrinya.
Hanya saja, satu dari keinginan Kanaya kali ini benar-benar tak sanggup dikabulkan laki-laki itu. Entah karena apa.
"Apa Abi udah suka sama Ibu, ya?" Mata bulatnya menatapku telak.
