Jeno telah sampai di rumah sakit kota Incheon, kota tempat kelahirannya. Setelah bertanya dengan resepsionis dimana ruangan sang kakek berada, Jeno berjalan di koridor ramai sambil bertelepon dengan Jaemin.
Beberapa pasang mata menatapnya, merasa familiar dengan rupa dan perawakan Jeno, dan pemuda Lee itupun senantiasa melempar senyuman ramah pada orang-orang yang langsung bertatapan mata dengannya.
"Iya bawel, aku tidak lama disini hanya beberapa minggu."
["Hah? Beberapa minggu?! Gila ya, sehari aja berasa satu tahun tanpamu!"]
Jeno memutar matanya Jengah mendengar perkataan Jaemin di seberang sana. "Jangan merengek, Nana."
["Huhu~ Jenoo~ kyuut~"]
"Haish yang benar saja." Jeno menjauhkan ponselnya dari telinga melihat layar panggilan dengan nama ' My Nana ' . Geli rasanya mendengar rengekan Jaemin sambil Aegyo. Ditegur malah semakin menjadi.
"Sudah ya aku matikan dulu, mau naik lift. Babai." tanpa mendengar jawaban, Jeno mematikan sambungan panggilan lalu memasukkannya ke kantong kemeja.
Kebetulan pintu lift terbuka dan berisi beberapa orang, jadi Jeno ikut nyempil diposisi paling depan.
Lantai yang dituju Jeno adalah lantai 5, jadi dia mendahulukan beberapa orang, baru dirinya ketika ditanya pria paruh baya yang tersisa dengannya.
Hening melanda sampai lift berhenti dilantai 5, setelah terbuka Jeno tersenyum dan membungkuk sedikit, memberi hormat pada pria paruh baya itu sebelum nyelonong pergi.
Jeno telah sampai di ruang rawat kakeknya, melihat melalui pintu yang terdapat cermin bening untuk melihat kedalam. Kakeknya tengah tertidur pulas.
Saat akan membuka pintu, Jeno dikejutkan dengan sebuah tangan yang menyentuh pundaknya. Ia memutar tubuh menghadap sosok berjas putih yang tersenyum hangat padanya.
"Walinya pak Lee Je-Hoo ya? Bisa berbicara sebentar?" Ujar dokter tersebut yang diakhiri dengan senyuman manis.
Jeno terdiam beberapa saat, melihat name tag yang terpasang di baju jasnya. Kim Seokjin.
"Baiklah Dokter."
Jenopun dipersilahkan mengikuti dokter Kim menuju ruangannya untuk menjelaskan lebih detail apa yang terjadi dengan sang kakek.
"Saya sarankan, sebaiknya kakek anda dirawat di rumah jompo," ucapnya memberi saran, sekaligus menyerahkan sebuah brosur panti yang dimaksud.
Jeno terdiam, apa lagi melihat harga yang begitu mahal. Untuk kebutuhannya sehari-hari saja pas-pasan, apalagi harus membayar bulanan panti jompo tersebut yang harganya melebihi 2x lipat gaji bulanannya.
Cukup aja sebenarnya jika ia menjual seluruh benda peninggalan sang kakek juga tabungannya sebagai tambahan, tapikan sayang, hati kecilnya tak rela.
Jeno hanya bisa tersenyum paksa menanggapi saran sang dokter.
Setelah lima hari dirawat intensif, kini Jeno dan sang kakek telah berada di rumah.
Jeno mendudukkan tubuh ringkih kakeknya di sofa empuk sambil menyalakan televisi sebagai hiburan, sedangkan Jeno bernostalgia mengelilingi rumah mengingat masa- masa kecilnya dahulu.
Sayangnya ingatan Jeno seperti terpotong dan tak jelas saat berusia kecil, ia melupakan masa kecilnya secara detail bersama si kakek dan hanya mengingat penggalan yang terlihat tak jelas.
Jeno pun tak tau apa yang terjadi padanya, saat memasuki kamar mandi ia lebih heran lagi karena cermin malah dicat, entah apa tujuannya.
Tak ingin memusingkan apa yang terjadi, Jeno berganti baju dengan pakaian santai. Lalu membuatkan makan malam untuk dirinya dan sang kakek.
Suasana makan malam begitu hening dilanda kesepian, hanya berbicara hanya Jeno saja sedangkan kakeknya diam menerima suapan yang Jeno sodorkan.
"Enak?" Tanya Jeno yang tak direspon.
Tiba-tiba kakeknya kejang-kejang, nafasnya tak teratur. Mengetahui ada yang tak beres Jeno segera menghampiri kakeknya dan melakukan pertolongan untuk tersedak dengan cara memeluk dari belakang sambil menekan perut sedikit keatas.
Alhasil keluarlah gumpalan tak jelas dari mulut kakeknya, Jeno bersyukur kakeknya baik-baik saja. Tanpa sadar bahwa gumpalan yang keluar dari mulut kakeknya tadi menyerupai gumpalan rambut.
Jeno terbangun dari tidurnya ketika merasa tubuhnya digerayangi. Suasananya begitu hening dan gelap, ketika menoleh kearah meja kecil, terdapat jam Beker yang menunjukkan pukul 8 kurang beberapa menit dimalam hari.Iapun ingin kembali melanjutkan tidur, tapi suara langkah terdengar disertai ketukan-ketukan halus.
Jeno pun turun dari kasur mengecek situasi, hanya ada dirinya dan si kakek dirumah ini.
Langkah kaki Jeno membawanya pada lukisan besar terpajang di dinding ruang tamu, lukisan di kakek yang terlihat gagah.
Jeno meniti dengan jelas lukisan itu, tangannya terulur menyentuh.
Jantungnya tiba-tiba berdenyut nyeri, Jeno mengerang kesakitan meremas dadanya. Saking sakit yang dirasa, Jeno sampai tersungkur berteriak keras-keras lalu kayang.
Tubuhnya perlahan berubah dan menyusut menjadi tua, rambutnya beruban. Kulitnya keriput dan terlihat kurus ringkih. Bola mata Jeno berputar kedalam lalu darah keluar dari sana. Mulutnya yang terbuka lebar keluar tangan yang berlumuran darah.
Jeno terbangun dengan nafas terengah, badannya basah oleh keringat. Mimpi barusan membuat Jeno takut dan merasa deja vu karena suasana yang dialaminya kini sama sepi dan gelapnya persis seperti didalam mimpi.
Jeno meremat selimutnya erat, takut melihat arah jam. Matanya melirik kearah sudut-sudut ruangan gelap, bahkan detak jantungnya dapat ia dengar dengan jelas.
Was-was jika mendengar suara ketukan.
Tring~
Suara ponsel Jeno membuatnya terkejut, ia menyumpahi siapa yang menelponnya. Ketika menyalakan hp, ia melihat jam menunjukkan pukul 2 malam.
Ia melihat ada sebuah pesan yang dikirimkan Jaemin padanya.
My Nana
• Jeno apakah kau baik-baik saja disana? Kau selalu membayangi mimpiku. Aku jadi khawatir.
• Jangan selingkuh ya. Kau hanya milikku, soalnya.
"Cih, orang ini," gerutu Jeno kemudian tersenyum. Rasa takutnya jadi hilang. "Kenapa dia belum tidur jam segini?" Monolog Jeno, mengambil posisi tengkurap sambil bermain ponsel, berkirim pesan pada kekasihnya.
- The Grandfather -
KAMU SEDANG MEMBACA
[End] The Grandfather || Jaemjen
Horror[ Misteri --- Horror ] Jeno rasa ada yang tak beres dengan kakeknya. Karya ke04✓ Start: 04-10-2022 End : 28-10-2022