Malam semakin larut, pukul 8 ditunjuk oleh jarum jam. Jalanan seharusnya tidak sesepi ini, orang-orang pekerja tidak mungkin pulang kerumah secepat anak sekolah. Tapi, hujan mungkin mengusir mereka. Menyuruh seluruh yang punya rumah untuk berteduh dari deras airnya, serta gemuruh badainya.
Tapi hujan bukan masalah, baginya yang tak punya rumah.
Pemuda dengan seragam sekolah lengkap, seolah belum pulang sama sekali itu terlihat tidak peduli sederas apa hujan menghantam tanah yang dia pijak.
Tertera nama pada nametag yang tertempel di seragamnya, Elang. Hanya Elang.
Dengan sepasang earphone putih yang menggantung di telinganya, serta mata yang terpejam dengan lelah. Punggung bidangnya menyender pada halte bis yang hanya ada dia penghuninya. Musik klasik mengalun lembut, memanjakan otaknya setelah seharian digunakan mati-matian.
Bukan kali pertama dia seperti ini, sudah lebih berhari-hari.
Setiap kali pulang sekolah, ketika dia secara terpaksa mengikuti banyak les tambahan yang disuruh oleh ibunya, Elang selalu mampir kesini. Mengabaikan banyak bis yang lewat, bahkan ketika bis itu seharusnya mengarah kerumahnya.
Elang hanya ingin beristirahat sebelum pulang, karena dia tau apa yang terjadi ketika pulang tanpa membawa hasil yang memuaskan. Setidaknya sebelum ketakutannya benar-benar kejadian, dia ingin beristirahat sebentar.
➖➖➖
Pukul 10 malam, Elang membeku dibelakang pintu. Di depannya, sang ibu terduduk dengan keadaan kacau. Siapa sangka, perempuan berambut tergerai namun tak pernah menyentuh sisir sama sekali itu merupakan ibu kandung Elang. Elang saja bahkan sering tidak mengira, ibu yang dia sayangi dulu jadi separah itu.
"Darimana saja kamu, Elang? Ini jam 10, kenapa baru pulang sekarang? Main kemana kamu?"
Terkesan santai. Tapi ucapan yang disuarakan dengan begitu lembut itu mengalun menakutkan. Jika tidak terbiasa, orang mungkin akan ketakutan mendengarnya.
"Maaf, bunda. Aku hanya melakukan sesuai perintah. Dan seperti yang bunda inginkan, aku belajar dari pagi hingga semalam ini."
Rasanya Elang sudah lupa, sejak kapan dia berbicara begitu kaku kepada ibundanya.
"Oh, begitu ya, benar juga..." Balas sang bunda.
"Kalau begitu, mana hasilnya?"
Elang tau, ini akan dimulai kembali.
Perlahan dia berikan beberapa lembar kertas. Sudah remuk —terlalu lama kertas ini ia genggam penuh ketakutan, berjam-jam hanya untuk mencari cara agar nilai kecilnya dapat disembunyikan.
"Apa yang kamu tunjukkan kepada bunda, Elang?"
Sepuluh detik... Tidak ada jawaban.
"Apa menurut mu pantas nilai segini kamu banggakan?"
Hening, masih tak ada jawaban.
"65... 77... 80... Apa ini nilai?"
Tetap. Tidak ada jawaban dari Elang.
Tapi, hanya ada satu suara.
PRAAANG!!
Dan 2 detik setelah suara itu —suara kencang yang berasal dari lemparan barang-barang diatas meja— adalah amukan sang ibunda.
"KENAPA SEKALI SAJA SUSAH UNTUK MEMBUAT BUNDA MU BANGGA? BUNDA SUDAH BILANG PADAMU UNTUK JANGAN PERNAH MAIN-MAIN, KENAPA HANYA SEGINI YANG BISA KAMU DAPATKAN? SEKALI SAJA, JADILAH BERGUNAA!"
"PULANG MALAM. KAMU PIKIR BUNDA TIDAK TAU AKAL BRENGSEK KAMU? LES SUDAH TUTUP DARI 2 JAM YANG LALU! MAU JADI APA KAMU DENGAN NILAI SEPERTI INI? BAJINGAN SEPERTI AYAHMU?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshot
Short StoryKumpulan cerita pendek yang dibuat oleh anggota Divisi 4 Jurnalistik SMAN 6 Karawang.