Jingga yang ada di sudut restoran itu jauh lebih mendung daripada jingga yang terlukis di langit sana. Pakaiannya yang tebal menatap keluar dinding kaca, penampakan langit yang tengah disinggahi senja serta hijaunya daun dan merahnya bunga mawar membuatnya terpaku tak bergerak. Bagai dunia penuh warna, setiap benda memamerkan keindahannya, tapi mata Jingga hampa. Hitam pekat, entah apalah penampakan yang tengah dia lihat, padahal di depan sana banyak warna pelangi tersesat.
Friends break up, friends get married
"Rika dan pacarnya putus lagi?" Datang seseorang tiba-tiba. Mendudukkan diri depan Jingga tanpa mengucapkan izin sebelumnya.
Pria bermata tajam dengan hidungnya yang runcing itu menatap Jingga yang masih termenung tak berkutik. Yang berdarah barat itu mendesah kuat, kemudian menatap Jingga lekat.
"Aku akan menikah bulan depan, Jingga."
Barulah Jingga bereaksi, matanya melirik tanpa minat. Netranya menipis tajam, dibawahnya terlukis hitam bagai tak tidur semingguan.
"Selamat, Mark," ujar Jingga singkat.
Yang bernama Mark itu kembali menghela nafas, dia menegakkan badan dan memajukannya mendekat pada Jingga. Matanya menatap lurus si wanita tanpa terpengaruh dengan kebisingan yang ada di restoran.
"Baru kali ini aku lihat perempuan sekeras dirimu, Jingga. Sekarang aku tidak tau lagi apa sebenarnya mau mu. Seharusnya hanya dengan 4 tahun sudah cukup bukan untuk sekedar melupakan seseorang yang sudah pergi, tapi kamu bahkan sudah menghabiskan waktu hampir 9 tahun dan itu juga belum bisa melupakan dia."
Jingga masih tidak menatapnya, matanya semakin menipis tajam. Jelas dia menunjukkan raut ketidaksukaan, hanya saja Mark yang berpura-pura tidak sadar.
Matches burn after the other
Pages turn and stick to each other"Zafran."
Mark menggeleng kepala tak menyangka.
"Kalau begini terus, artinya hanya dia pria yang satu-satunya ada di hatimu."
Jingga kembali meliriknya sinis. "Memang iya," balasnya dengan intonasi suara yang rendah.
But i'm right where you left me
"Waktu itu, Zafran pamit pergi disini, ada kemungkinan dia juga akan kembali ke sini."
Mark mengangkat alis kanannya dengan bibir terbuka kecil.
"Seharusnya aku beli saja restoran ini sejak dulu dan mengubahnya jadi toko judi," sarkas Mark.
Jingga menghela nafas berat, menegakkan badannya dan balas menatap Mark yang masih menatapnya.
Tak lama setelah aksi saling tatap itu berakhir, Mark berdiri dengan nafas lelah.
"Ayo pulang, Jingga."
Jingga hanya diam tak bergeming.
"Jingga, sebentar lagi kamu memasuki kepala tiga. Kamu akan mulai menua dan semakin sulit untuk menemukan pria. Jika begini terus kamu akan ditinggal sendirian selamanya sementara yang lain berbahagia," ujar Mark dalam posisi kepalanya yang menunduk agar dapat menatap wajah Jingga.
"Maka jika begitu, biar saja jadi seperti itu," balas Jingga seakan tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Mark.
Mark kembali menggelengkan kepalanya.
"Kamu akan tetap disini?"
Pertama kali sejak tadi, ukiran miring terlukis dari bibirnya. Manis, manis sekali senyumnya. Tapi bagi Mark, senyum itu bukan senyuman yang dia inginkan, senyum itu penuh keputusasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshot
Short StoryKumpulan cerita pendek yang dibuat oleh anggota Divisi 4 Jurnalistik SMAN 6 Karawang.