Selamat sore, Laut.
Setelah hampir beberapa tahun terakhir ini kamu ku abaikan, maaf bila rasanya tak tau diri aku baru menyapa sekarang.
Maaf bila saat itu aku bahkan tak sudi menatap indah mu yang dulu ku puji.
Maafkan juga bila saat itu ku caci dirimu setiap hari.
Ada banyak maaf yang ingin ku sampaikan, semoga surat ini tersampaikan padamu dengan benar.Laut, hari ini diriku berbaikan dengan diri sendiri.
Ku coba tanya apa yang di rasa, tapi laut, dirinya diam saja.
Ku suruh dia untuk bersikap dewasa, tapi katanya dia juga sudah berusaha.
Laut, jika aku dan dia bukan satu, sudah lama sekali aku memulai kehidupan ku yang baru. Tapi dirinya adalah aku, laut, dia lah jiwaku.Aku tersiksa setiap malam.
Aku menjerit kesakitan, bahkan tanpa tertusuk pedang.
Aku hampir mati, aku hampir hancur tak bersisa.Tapi setiap kali itu terjadi, laut, apa yang kamu lakukan saat itu?
Mengapa setiap malam selalu ombak mu yang ku dengar, badan ku kau selimuti angin malam."Sudah mau malam, anginnya semakin kencang. Masuklah, Nara."
Yang dipanggil Nara menoleh pada pria di sebelahnya. Pemuda tampan itu kemudian mendudukkan diri di sebelahnya, dia menatap luasnya hamparan lautan di depan.
"Asa."
Nama pria pemilik netra seindah biru lautan itu Asa. Dia menyahuti Nara dengan menatap wanita itu. Perlahan tangan Asa terulur mengusap pucuk kepalanya.
"Ada apa denganmu, Nara? Kenapa wajahmu selalu sendu setiap hari? Apa tidak lelah kamu terus-terusan bersedih hati?"
Nara menatap wajah tenang itu, membiarkan bulir mata yang selalu dia siapkan untuk malam hari keluar sore ini.
Asa tersenyum tipis, dia mengusap air mata di pipi Nara. Kemudian dia cium kening Nara.
"Sudah, tidak apa-apa."
Asa membaringkan tubuhnya di atas pasir pasir putih ini, dia biarkan angin menuju malam bergurau dengan tubuhnya. Di susul oleh Nara yang kemudian berbaring di atas tangan Asa yang terbentang.
"Apa lautan itu indah, Asa?"
Asa tertawa pada pertanyaan Nara. Dengan keduanya yang berbaring di atas pasir putih, menenangkan diri depan luasnya hamparan lautan. Perlahan Asa membalikkan badan menatap Nara, kini keduanya berbaring dalam posisi berhadapan.
"Laut selalu indah, Nara, kamu tau betul tentang betapa indahnya mahakarya tuhan itu. Tapi apa kamu percaya, bahwa sajak ku tentang lautan yang lebih menyeramkan dari setan itu bukanlah sebuah kebohongan, bukan hanya sekedar omongan bualan. Apa kamu percaya, Nara?
Nara hanya terdiam.
Asa tersenyum.
"Nara, sejak kapan kamu percaya bahwa Laut itu biru, dan sampai kapan kamu mau percaya itu?"
Nara masih diam, dia mengerti bahwa pertanyaan itu bukan akhir dari dialog Asa. Suara merdu Asa, akan terdengar sedikit menyakitkan ketika dia mulai bercerita pengalamannya.
"Lautan itu mengerikan. Dari luar, birunya memikat semua pandangan, menjadikannya sebagai salah satu keindahan tuhan. Tapi begitu kamu terjatuh kedalam, hingga menuju dasar jurang, kamu akan tau bahwa yang menguasai lautan adalah kegelapan. Sekalipun kamu bertemu duyung atau penghuni lautan yang sangat cantik, kamu tidak akan pernah terpesona, dalam batin mu hanya akan penuh kecewa. Nafasku sesak, badanku kaku tak bisa bergerak, tuan penunggu memaksaku menutup mata, katanya aku akan menyatu dengan dirinya. Pasrah, ku persilakan laut dan seisinya menarik tubuhku sepuasnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshot
Cerita PendekKumpulan cerita pendek yang dibuat oleh anggota Divisi 4 Jurnalistik SMAN 6 Karawang.