Sejak pengenalan Renandika waktu itu ke semua karyawan, pak Tio benar-benar mewujudkan ucapannya untuk pensiun dan membiarkan putranya yang duduk di kursi pemegang perusahaan. Terhitung sudah seminggu, Renan aktif di kantor dibarengi dengan jarangnya pak Tio menampakkan diri.
Seminggu bukan waktu yang cukup untuk Renan berkeliling mengenal semua karyawannya. Masih banyak hal yang mengharuskannya duduk berjam-jam di depan laptop sambil mendengarkan Sinta dan beberapa manager divisi menjelaskan pekerjaan yang kini beralih kepadanya.
Satu minggu yang juga Alisya syukuri karena selama Renan mulai aktif, belum sekalipun dia bertatap muka. Dia akan membersihkan ruangan di pagi hari sebelum Renan datang, dan menyerahkan urusan minum ke temannya yang lain.
"Al, bu Sinta minta diantar kopi untuk pak Renan! Aku lagi mau fotocopy, mandat pak Dion."
Alisya yang sedang mencuci perkakas kotor berhenti begitu saja kemudian menoleh ke arah Tari lalu berganti ke tumpukan berkas yang ada di tangannya.
"Aku juga lagi sibuk, Tar. Panggil Bagus aja!" Alisya mengusulkan temannya yang lain.
"Bagus dan yang lain lagi sibuk, Al! Cuma kamu yang bisa ninggalin pekerjaan sebentar." jawab Tari lalu pergi tanpa menerima penolakan dari Alisya lagi.
Mau tidak mau Alisya mencuci tangannya lalu memaksa kakinya bergeser ke tempat pembuatan minuman. Sengaja dia perlama berharap setelah kopinya jadi, ada temannya yang lain yang sudah kelihatan dan bisa ia mintai tolong mengantarkan kopi itu ke ruangan utama.
Akan tetapi, pada kenyataannya, setelah kopi siap tak ada satupun temanya yang kelihatan menyelesaikan pekerjaan.
Menarik napas dalam, kemudian memutuskan untuk membawa nampan berisi cangkir porselen yang Alisya taksir harganya pasti lebih mahal dari tunjangan uang makannya dalam sebulan.
Semakin mendekati ruangan pimpinan tertinggi perusahaan itu, langkah Alisya semakin berita. Terlebih lagi ketika sudah sampai di depan pintunya, tiba-tiba tangannya juga terasa berat untuk mengetuk.
Tubuhnya reflek berjingkat ke belakang ketika tiba-tiba pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk.
"Alisya." panggil Sinta yang terlihat juga sedikit terkejut ada yang berdiri di depan pintu. "Bawa masuk saja! Meeting sudah selesai. Pak Renan minta kopi lagi. Mungkin pusing." lanjutnya sambil tertawa pelan.
Alisya hanya ikut tersenyum kemudian dia mundur karena bukan hanya Sinta yang akan keluar dari ruangan itu, melainkan beberapa pimpinan divisi.
Satu persatu keluar. Seperti biasa, tidak ada yang menyapanya. Mungkin juga mereka tidak begitu sadar bahwa di perusahaan itu ada karyawan yang bernama Alisya.
Dia kembali diserang rasa gugup ketika tak ada lagi yang keluar dari ruangan. Itu artinya, giliran dia masuk untuk membawa kopi. Sebelumnya, dia memejamkan mata sembari menghembuskan napas kasar. Cepat atau lambat, mereka pasti akan bertemu. Jadi, siap tidak siap dia harus tetap masuk.
"Permisi, Pak." ucapnya dengan sedikit bergetar.
Dia berjalan menunduk sambil dalam hati berterimakasih pada siapapun yang membuat kebijakan seragam untuk office girl dan office boy. Seragam yang dilengkapi dengan topi hitam berlogo perusahan di tengahnya.
Sekuat tenaga dia meletakkan kopi itu dengan selamat sampai ke depan bos barunya. Kemudian tanpa mengangkat pandangannya, ia kembali mengucapkan permisi. Ingin segera mungkin lenyap dari ruangan itu.
"Alisya,"
Baru dua langkah menjauh dari meja, dia kembali harus berhenti. Mengurungkan niat untuk segera kabur dari ruangan itu. Terpaksa dia membalikkan badan, tetapi masih juga tak ingin menatap bos mudanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISYA
Short StoryCerita tentang seorang single Mother yang dipertemukan kembali dengan kakak kelasnya. Dulu mereka pernah saling menaruh perasaan, tapi sayangnya terpisah karena Sang Lelaki harus melanjutkan studi nya ke luar negeri. Meninggalkan beban padanya tanp...