Donny menyalami beberapa tetua dan ustadz yang hendak pulang setelah selesai memimpin do'a malam ini dikediaman Dewa. Sebelumnya Donny ragu bisa mendatangi undangan Dewa atau tidak, tetapi ternyata Rebecca selesai belanja lebih dulu dan dia bisa pulang setelah maghrib ke rumahnya. Seperti yang sebelumnya Dewa katakan, acara tersebut rutin diadakan setahun sekali, mengirim do'a kepada para anggota keluarga yang telah lebih dulu meninggal dunia lalu acara diakhiri dengan pemberian berekat. Donny membantu membagikannya juga karena mengingat Dewa selalu membantunya. Dewa itu sangat baik serta ramah, meski terkadang dia selalu berbicara dengan bahasa Sunda yang tidak begitu banyak Donny mengerti.
Menjadi tetangga Dewa membuat Donny tidak merasa kesepian.
"Alhamdulillah sudah beres, hatur nuhun (makasih) ya, Nak Donny. Nanti Mamang kasih berekat dua buat kamu." Donny terkekeh pelan.
"Sama-sama, Om. Om juga sering bantu saya, jadi sebagai balas budi aja."
Dewa manggut-manggut. "Panggil Mamang aja, biar akrab. Kamu disini sudah mau tiga minggu, masih aja kaku. Gak usah sungkan sama Mamang mah," ujarnya kembali yang tak lelah meminta Donny menyebutnya lebih akrab. Sebenarnya Donny sendiri mau akrab dengan tetangganya, tapi entah kenapa lidahnya selalu keseleo setiap memanggil Dewa dengan sebutan Mamang.
Alhasil, pria itu hanya cengengesan sembari garuk-garuk kepala. Agak aneh juga orang batak sepertinya memanggil Mamang, alias belum terbiasa.
"Saya gak lihat Layla dari tadi, Mang? Dia kemana?" Tanyanya dengan pandangan mengedar, bingung karena tidak mendapati Layla dari acara mulai sampai berakhir.
"Layla? Dia lagi dibelakang paling, sudah biasa. Setiap acara haolan Ibunya, si Neng emang suka sedih. Mungkin kangen sama Ibu."
Donny terdiam mencerna perkataan Dewa. Dia jadi mengingat apa yang terjadi dengan Layla hari ini, perempuan itu murung selama di kantor dan dia pikir Layla hanya memikirkan pekerjaan. Apakah itu semua karena Layla mengingat ibunya juga?
Suasana dingin terasa begitu menusuk kedalam tulang bertepatan dengan angin yang berhembus cukup kencang. Layla mengeratkan cardigan rajut yang dia pakai seraya menatap lurus kedepan, tepat pada sebuah tanaman bunga mawar milik mendiang ibunya. Bunga itu sudah mekar beberapa kali dan hari ini adalah gilirannya untuk tumbuh. Kelopaknya tampak saling bergesekan satu sama lain oleh angin dan rasanya membuat Layla ikut bergidik.
"Bu, Layla kangen Ibu. Semenjak Ibu pergi gak pernah sekalipun Ibu jenguk Layla dimimpi. Padahal Layla pengen banget peluk sama bilang kangen secara langsung, udah lama banget Layla gak pernah ngobrol sama Ibu." Perempuan itu tersenyum kecut ketika merasakah gelenyar nyeri yang muncul dihatinya.
Sungguh, kerinduan terhadap seseorang yang sudah tiada itu beratnya lebih dari apapun. Karena dia tidak bisa bertegur sapa atau sekedar mendengar lewat handphone. Layla ingin tahu bagaimana ibunya sekarang, meskipun dia sudah dewasa tapi dia masih begitu membutuhkan sosok ibunya.
Ibunya adalah sosok wanita paling cantik, kulitnya seputih susu dengan gigi gingsul. Rambutnya panjang dan hitam, dan ibunya paling suka mengenakan daster merah muda pemberian dari ayahnya.
Makanya Layla bingung, kenapa dia tidak mewarisi kecantikan ibunya. Hanya rambut yang lurus dan hitam saja, serta postur tubuh, tapi tidak dengan parasnya. Layla sendiri bingung, mungkin dia menurun pada ayahnya.'Duk!'
Layla tersentak, kepalanya seketika menoleh dan terkejut ketika mendapati sosok Donny yang sekarang duduk disampingnya. Layla tidak salah lihat bukan?
"Disini dingin, nanti asmanya kambuh, lho!" Ujarnya.
Kedua kelopak mata Layla terangkat. "Mas ... tau dari mana aku punya asma?" Layla bertanya dengan suara tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Layla | Apa Itu Cantik Yang Sesungguhnya? ✔
RomansaKetika Layla dibuat bingung oleh definisi cantik dan perfect menurut orang-orang, dia hanya bisa diam sembari menatap cermin. Seolah-olah bertanya, "Siapakah? Perempuan tercantik disini?" namun Layla sadar jika dia bukanlah putri dalam cerita dongen...