-02.

1.1K 144 77
                                    

Terlepas dari kejadian itu, kini seorang lelaki bermanik biru tersebut selalu memikirkan seseorang yang ia jumpai minggu kemarin. Seorang perempuan berparas yang terlihat pemalu dan menggemaskan, pikirnya.

Pikirannya tidak bisa fokus dengan normal dan selalu teringat akan perkataan saudara saudaranya.

"Upan ada calon diem diem bae, gaasik."

Otaknya bergema, benar benar memikirkan serius kata kata dari mereka. "Sialan, gue tandain lo. Solar, Blaze."

"Lah?"

Orang di dekat Taufan terheran heran dengan tingkah lakunya, sedari tadi dia memanggil manggil Taufan yang sedang bersamanya. Tetapi Taufan tiba tiba malah melontarkan kata kata aneh dan tidak nyambung.

"Napa lu? mabok? kalo dendam minimal jaga mulut, gausah ganggu gue." Kata saudaranya; yang bernama Ice itu.

Taufan yang mendengar ocehan Ice tersebut tidak tersadar dirinya di panggil, ketika Ice berkata demikian, dia jadi khawatir akan dirinya sendiri.

Tapi, Taufan lantas tak menjawab apa apa. Masih fokus pada yang ada di kepalanya, waduh.

"Oh ... kepikiran dia, ya?"

Siapa sangka saudaranya itu langsung  peka terhadap pikirannya, padahal Ice biasanya seorang yang tidak peka. Tetapi beda lagi jika disuruh menebak pikiran orang. Tetapi di sisi lain, Taufan masih mengelak.

"Sok tau, emang siapa?"

"Ntu, yang kemaren."

Taufan menghela nafas pasrah, tidak ada yang bisa menandingi Ice jika soal tebak tebakan, dasar. Padahal kerjanya hanya tidur terus memeluk bantal. Bahkan saat berbicara dengan dirinya, Ice sedang dalam posisi rebahan nyantui.

"Ya bener, sih. Tau ga kira kira  kenapa kepikiran dia terus?"

Lelaki bermanik biru itu langsung menanyakan pertanyaan yang utama pada saudaranya, berharap saudaranya itu bisa di andalkan daripada yang lainnya. Karena hanya Ice satu satunya yang tidak meledeknya ketika kejadian kemarin.

"Ya mana gua tau gituan, tanya aja Solar, sepuh kan dia? lo sama gue udah di dahuluin, jangan ngarep pertanyaan kayak gitu sama gue."

Mengingat Ice dan Taufan satu satunya yang tidak pernah berhubungan dengan seorang wanita, agak menyedihkan ya kawan.

Taufan menatap ke Ice dengan tatapan tak bisa di andalkan ternyata. Dirinya sesegera berobat ke orang yang Ice bilang; Solar. Walau Taufan sedikit ada firasat buruk jika dia menceritakannya.

Taufan langsung berpindah tempat menuju ruangan Solar sendiri, lalu siap membuka mulutnya.

"Sola—!"

Ah ya.

Dia teringat Solar jarang terlihat dirumah karena ada 'proyek' yang banyak ia kerjakan. Taufan kembali murung dan buntu, dia benar benar tidak tahu apa yang ia rasakan.

"Eh? Upan? ngapain kamu?"

Tiba tiba terdengar suara yang menotice dirinya di depan pintu kamar Solar, yaitu Gempa yang secara tidak sengaja lewat di depan dirinya. Melihat Taufan murung begitu, Gempa jadi penasaran apa yang terjadi pada saudaranya satu itu.

Mereka pun berbincang di sofa lantai bawah, sementara Ice di usir tidur di kamarnya sendiri. "Kamu kenapa, Pan?"

"Gini bang Gem, gimana ya jelasinnya.. jantungku detaknya kenceng gitu dari sebelumnya, terus.. pikiranku selalu mikirin itu itu terus, jadi ngelamun mulu.. aku jadi takut kenapa-napa."

Gempa yang awalnya mengdiagnosa, tiba tiba menunjukan ekspresi terkejut ketika mendengarnya, sangat tidak di sangka sangka.

"Kamu beneran.. ngerasain itu?"

"Ya iya, kalo enggak kenapa aku cerita?" Jawab Taufan santai.

"Itu.. mungkin penyakit jantung?" Jawab Gempa dengan serius, memegang bahu Taufan. Lelaki yang di pegangnya itu juga shock mendengarnya.

"HAH?!"

————————

Tibalah waktunya Taufan keluar dari rumah dan menenangkan pikiran di luar sembari melihat lihat pemandangan sendirian. Kakinya terus berjalan berharap menemukan tempat yang ia harapkan, tetapi angin yang mendapinginya sudah cukup ia rasakan dengan tenang.

Hal itu sudah menjadi bagian dalam dirinya, menyatu dengan angin adalah hal yang sering ia lakukan terutama di saat kelelahan atau pusing.

Kedua tangannya memegang kantong celana miliknya, rambutnya yang terbawa arus kesana kemari mengikuti arah angin, kepalanya menunduk kebawah.

Memenjamkan matanya sejenak dan merasakan terhanyut oleh sejuknya angin sepoi sepoi menyelimuti dirinya, seperti di tengah laut ombak yang terus melaju dengan kecepatan tak terbatas.

Sangat sejuk, rasanya.

"Loh, Taufan, ya?"

Dang.

Lelaki itu membuka matanya perlahan, membangunkan kepalanya sesuai dengan arah suara itu. Suara yang sangat familiar, sangat ia kenali kemarin. Suara yang indah serta lemah lembut yang membuatnya sedikit terpesona.

Mereka berdua bertemu secara tidak sengaja. Hal ini sangat di kejutkan oleh Taufan.

Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya, pikirannya tenggelam setelah menatap wanita yang ada di depannya.

"Loh, [Name]?"

"Ha-hahah.. kita ketemu lagi, ya?" tawaan canggung dari seorang wanita yang ada di hadapannya.

"Lah, iya. Bisa gitu, kamu ngapain? mau ku anterin?"

Sang puan hanya terdiam sesaat, hanya paparan pucat saja yang ada di wajahnya. "Entahlah, aku cari angin aja."

Awalnya Taufan memikir mikir dulu, mendengar jawabannya, Taufan terkekeh dan membalasnya.

"Ohh, tapi, muka kamu pucat, loh?"

".. Iya, kah? maaf—"

"Kamu ada masalah?"

Kata yang di ucapkan [Name] dengan senyuman lembut dan alami dari wajahnya, matanya menatap kebawah dan salah satu tangannya diletakkan di depan badannya, terlihat mempesona di wajah Taufan, rambut [Name] yang acak acakan membasahi mukanya karena angin sepoi sepoi yang dia nikmati daritadi.

Wanita itu, tidak mengerti apa yang lelakinya itu katakan.

Taufan mendekati [Name] sedikit demi sedikit, tangannya meraih telinga [Name] dan menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya.

Perbedaan jarak tinggi mereka lumayan terlihat jika di dekatkan. [Name] hanya melihat bagian badan Taufan dan dirinya terlihat seperti tertutup oleh Taufan.

Sedangkan Taufan, dia hanya bisa menatap kepala [Name]. Hal itu karena jarak yang begitu dekat, sangat dekat. Pupil mata [Name] sedikit mengecil karena dirinya serontak terkejut dengan Taufan.

Angin kencang yang meladeni mereka, membuat suasana menjadi tenang dan tiada beban. Tentunya paras wajah mereka sedikit terlihat memerah, apalagi [Name] dengan mukanya yang sudah seperti tomat rebus.

"Mau cari tempat lain?"

Taufan menawarkan seorang wanita yang ada di hadapannya. Tentunya wanita tersebut mengangguk yang berarti setuju.

Mereka berdua mencari tempat yang sekiranya cocok untuk di jadikan obrolan panjang dan taman menjadi tempat pilihan mereka. Sepi dan sunyi.

"Makasih, ya. Taufan."

Gadis itu lagi lagi tersenyum lembut dan manis di hadapannya, membuat Taufan sedikit menikmatinya dan ingin memandanginya lebih lanjut.

"Santai, aku udah biasa keluar, kok! gimana keadaan kamu sekarang?" lanjut tanyanya dari seorang laki laki bermanik biru.

[Name] sedikit membuat wajah pucat ketika ingin mengatakannya. [Name] benar benar tidak tahu harus mengatakan apa pada Taufan. Pikiran [Name] kini sama di hantuinya, tetapi berbeda hantu dengan Taufan.

"Cuma tentang keluarga, kok."

as friend. ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang