[ 15 ] di bawah hujan

473 98 2
                                    

15 - Di bawah Hujan

Hari ini hujan turun deras.

Dan sialnya, Lisa harus terjebak di antara ribuan rintik air yang turun membasahi bumi sendirian. Catat: sendiri. Di halte depan minimarket dekat tempat kost-nya. Jika Lisa nekat, paling tidak sampai dua menit dia akan sampai di tempat kost-nya. Tapi, Lisa paling benci dirinya basah karena air hujan.

Lisa bukan cewek melankolis yang suka bermain hujan. Tidak suka menikmati hujan di luar ruangan seperti ini. Aroma tanah basahnya memang harum sekali, tapi Lisa benci. Suara gemericik hujan terlalu berisik dan mengusik bagi Lisa. Hujan tak lebihnya hanya sebuah pengacau di antara hari-harinya yang kacau bagi Lisa.

Dulu, setiap kali hujan turun, maka rumah akan menjadi semakin kacau. Papa dan Mama akan lebih semangat berargumen, mereka akan bertengkar semakin hebat seolah sedang menantang hujan. Berakhir Papa yang akan mengacaukan seisi rumah, dan Mama yang akan berdiam di dalam kamar dan melakukan self-harm. Aroma petrikor yang seharusnya harum, berganti bau anyir darah Mama.

Selalu begitu.

Masa lalunya rusak di dalam rumah yang tidak pantas di sebut rumah. Katanya, rumah adalah tempat berpulang, tempat singgah terbaik bagi hati yang sedang patah. Tapi bagaimana dengan rumah Lisa? Rumahnya justru jadi cikal bakal patah hati terbesarnya.

"Lo bilang, lo lebih suka mengarungi lautan dibanding berteduh di bawah hujan." tiba-tiba sebuah suara muncul di sebelahnya, Zio dengan cengirannya sudah muncul di samping kirinya bersama sekantong belanjaannya dari minimarket. Meski sebenarnya agak mengherankan, mengapa Zio nyasar ke minimarket dekat tempat kost Lisa? Dari banyaknya minimarket yang ada di Semarang, kenapa Zio justru terdampar di sini? Kebetulan macam apa ini?

Lisa melengos malas, "kalau ada pilihan, gue juga ogah berteduh di saat-saat terkutuk begini."

"Nyatanya ini ampuh, gue mungkin basah, tapi seenggaknya gue nggak tenggelam." balas Zio. Menengadahkan kepalanya memandangi hujan yang terjun bebas dari langit.

"Terus gimana kalau hujannya nggak pernah berhenti? Lo cuma stay di sini sampai tempat yang lo huni penuh sama air hujan, dan lo bakal tetap tenggelam." Lisa tersenyum meremehkan, gadis itu mendecak setelah melihat Zio masih ingin protes.

"Gue pernah, Yo. Gue bicara begini karena gue pernah ada di posisi ini, di mana gue cuma berdiam diri di tempat yang sama saat hujan deras mengguyur tanpa henti. Gue nyaris, nyaris tenggelam. Kemudian, gue memberanikan diri buat pergi, gue berpindah tempat, mencari hal baru, tempat tinggal yang baru. Jauh dari lautan sebelumnya." tukas Lisa.

Zio tersenyum geli, "mungkin lo lupa, lautan manapun, airnya tetaplah sama."

"Maka memang nggak ada yang bisa dilakukan." bisik Lisa nyaris tidak terdengar.

"Karena melarikan diri memang bukan jawaban. Am I right?" perkataannya bagai sebuah anak panah yang melesat tepat sasaran kepada Lisa.

Lisa terdiam. Matanya terasa perih dan dadanya berdenyut nyeri.

"Lalisa Revalina Derias, gue bertanya sekali lagi... apa benar, rumah yang membuat lo sehancur ini?" Zio menarik bahu Lisa agar menghadap ke arahnya. Ditatapnya mata yang tahu-tahu sudah basah karena air mata yang tertahan. "Apa yang membuat lo nyaris tenggelam, Sa?"

Lisa menangis, namun masih tertawa mengejek, membuat air matanya justru mengalir semakin deras. "Yo, bisa nggak, sih, nggak usah kepo? Dan jangan sok tau."

Rasa-rasanya, Lisa ingin sekali berbalik dan berlari menerobos hujan. Tapi itu tidak mungkin, sama sekali bukan gayanya. Lisa memberanikan diri membalas tatapan Zio. Begitu kedua pasang mata itu bertemu, seperti ada sengatan kecil di dadanya. Hatinya tiba-tiba mecelos nyeri.

"Gue nggak mau sok tau, maka gue bertanya." balas Zio, matanya memerah menahan perasaan menggebu dalam dirinya, entah perasaan apa itu. Yang pasti; dadanya sesak.

"Memang apa untungnya buat lo? Kalaupun iya, lo mau apa? Dan kalau enggak, lo juga mau apa? Apa pentingnya buat lo tau kisah gue?" Hujan deras tidak mampu meredam suara getir Lisa. Suaranya jelas sekali merasuk ke dalam telinga Zio, sukses membuat darah laki-laki itu berdesir.

"Gue... gue butuh memastikan sesuatu." jawab Zio.

"Kepastian seperti apa? Kita bahkan belum genap satu bulan kenal, Yo." Lisa tertawa kecil meski masih menangis.

"Gue cuma mau tau, kalau gue nggak sendiri."

Rasanya, dunia seolah berhenti beberapa saat ketika Lisa memproses kalimat tersebut di dalam kepalanya. Sendiri seperti apa yang Zio maksud?

Zio mengulum bibirnya, "gue mau tau, kalau gue bukan satu-satunya yang dihancurkan oleh rumah."

Lisa semakin memperdalam tatapannya, mencari kebohongan di dalam manik kelabu Zio. Namun, selama menyelaminya, tidak satupun kebohongan Lisa temukan. Justru yang Lisa temukan adalah Zio yang kelimpungan mencari tempat baru setelah tempat sebelumnya hancur lebur.

"Gue butuh tau, apa benar gue nggak sendirian di sini? Apa benar bahwa bukan cuma gue satu-satunya yang justru hancur dikhianati rumah sendiri? Rumah gue justru jadi tempat di mana gue hancur sehancur-hancurnya. Just that, I just want to know that I'm not alone." papar Zio patah-patah, dadanya terasa sesak sekali.

"Gue mau tau bahwa semesta bukan cuma nggak suka sama gue. Gue mau tau bahwa takdir nggak berlaku setai ini cuma sama gue. Gue cuma mau tau..."

Lisa menempelkan telunjuknya di bibir Zio, menyuruh laki-laki itu untuk diam. Dalam tangisnya, gadis itu tersenyum tipis kemudian mengangguk mantap. "Iya, Yo, you're not alone. Gue, Lalisa Revalina Derias, merasa dunia sama bencinya sama gue. Rumah, tempat di mana seharusnya semua rasa berpulang, justru menjadi sebab di mana gue dihancurkan sampai nggak berbentuk. Gue nyaris tenggelam di lautan duka rumah gue sendiri, karena mereka. Iya, orang tua gue yang menghancurkan gue sampai seperti ini. Mereka nggak menerima kehadiran gue dengan lapang dada, mereka justru menganggap gue adalah penghancur kehidupan mereka. Takdir nggak cuma berlaku kejam sama lo, takdir sama kejamnya sama gue, Yo. I hate my universe."

Zio mengerjap, sepenuhnya terdiam mendengar pengakuan gadis itu. Laki-laki itu menyentuh jemari Lisa, menyingkirkannya dari bibirnya dengan lembut. "May I give you a hug?"

"Yes, please."

Keduanya saling bertukar peluk. Berharap peluk bisa mengobati sedikit saja pelik dalam hati.

"Me too, Sa. I hate my universe."

Lisa hanya menangis dalam pelukan Zio di bawah hujan yang mengguyur deras. Meski Zio lebih tenang dibanding Lisa, Lisa tahu, Zio sama sakitnya seperti Lisa. Zio mungkin tidak terisak sekeras Lisa. Tapi Lisa tahu, dia menangis.

Sebab Lisa dapat merasakan bahunya perlahan basah.

"Because the universe first hated us, Yo."

Hello

Saya nggak tau, tapi rasanya kalau nulis adegan melankolis jatuhnya kek tai, huhu


See you.

Stalker | LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang