[ 16 ] I'll be there

422 78 2
                                    

16. I'll be there

Malam itu, pada akhirnya keduanya berbagi cerita tentang kisah kehancuran mereka di dalam rumah masing-masing. Tentang rumah yang semestinya indah dan penuh suka duka, justru hanya menyuguhkan duka saja kepada mereka. Bagi Zio, sedikitnya suka itu pernah ada dulu. Tapi bagi Lisa, semua semu belaka.

Lisa mendengarkan dengan baik bagaimana Zio bercerita tentang Ayahnya yang baru saja meninggal belum genap empat puluh hari. Dan bagaimana Bunda-nya yang ternyata justru membawa laki-laki lain tepat ketika Zio pulang dari pemakaman Ayahnya. Serta Adiknya yang ternyata berbeda Ayah dengannya. Semuanya disembunyikan bertahun-tahun lamanya dari Zio. Keluarganya seolah berkonspirasi menjadikan Zio sebagai badut penghibur karena tidak tahu-menahu tentang apapun.

Begitupula dengan Zio, dia mendengar dengan baik bagaimana Lisa bercerita bahwa Lisa adalah sebuah kesalahan yang tidak sepatutnya hadir di dunia. Tentang Papa dan Mama-nya yang hanya terus menyalahkan kehadiran Lisa setiap harinya. Hingga suatu saat Lisa mulai lelah, dan memberanikan diri untuk lari menjauhi neraka dunia.

"Gue nggak habis pikir, kenapa orang-orang seperti mereka justru terpilih menjadi orang tua? Kenapa Tuhan mempercayai mereka dengan memberikan mereka anugerah berupa anak? Di saat sebenarnya, ada orang-orang taat yang berharap diberi anugerah indah itu, dan mereka masih belum mampu  mendapatkannya." komentar Zio setelah Lisa selesai bercerita, pemuda itu menyerahkan tisu dari dashboard mobilnya kepada Lisa.

"Gue bukan anugerah, Zio. Gue cuma kesalahan." balas Lisa.

"Kesalahan itu ada pada mereka, bukan pada hadirnya elo. Mereka salah karena mereka melakukan itu di saat mereka belum siap. Lo hadir sebagai anugerah dari Tuhan, bukan kesalahan." Tangan Zio terangkat mengelus pucuk kepala Lisa.

Lisa tertawa kecil, "seandainya semua orang punya pandangan yang sama seperti lo, mungkin hidup gue akan lebih baik. Anyway, thanks karena udah bikin gue bisa cerita seperti ini... lo orang pertama."

"Alano? Thalita?" tanya Zio bingung.

"Mereka cuma tau gue sebatang kara dan nggak punya siapa-siapa. Gue nggak semudah itu cerita tentang ini, Yo, lo orang pertama. Makasih, gue agak lega. Terlebih, sekarang gue nggak merasa sendiri lagi." jelas Lisa menggenggam lengan Zio singkat.

"Gue lebih berterimakasih, Sa."

Lisa menatap Zio, "are you okay, Yo? Maksud gue... dibanding gue, lo baru."

"No, i'm not." sahut Zio cepat, dan Lisa sebenarnya sudah tahu jawabannya.

"Then, may I give you a hug?" tanya Lisa dengan senyum termanis versinya.

Lagi, malam itu, untuk kedua kalinya, mereka saling merengkuh guna meredam rapuh dalam diri mereka. Malam itu, Zio mensyukuri keputusannya untuk meninggalkan Serang menuju Semarang. Sebab di sini, dia menemukan Lisa, yang sama rapuhnya seperti Zio.

Begitupula sebaliknya, Lisa bersyukur Zio hadir di hidupnya. Sebagai teman berlatar duka yang sama; rumah.

"Then I'm okay." ujar Zio begitu pelukan keduanya terlepas. "I'll drive you home."

"Thank you. Thank you so much. I don't know how to say, I'm glad to meet you, Zio." Lisa memasang sabuk pengamannya, menatap ke depan dengan senyum yang tidak luntur.

"I do, Sa. I'm glad to meet you there. Promise me you'll always be there for me." ujar Zio.

Lisa mengangguk mantap, tanpa ada keraguan sedikitpun. "I'll be there, Zio. Anytime. Call me when you need my hug."

"Glad to hear that. How nice you are, Lalisa. Mike bohong banget bilang lo ngeselin." Zio tertawa kecil, mulai melajukan mobilnya perlahan menjauhi parking area menimarket tersebut.

Lisa tertawa, lepas sekali. "Maike lo percaya, musyrik."

"Remember that, hem. I'll be there for you, too. Call me when you need someone to talk to." ucap Zio lembut sekali, Zio benar-benar memperlakukan Lisa secara berbeda dibanding pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya.

"Will do, Yo."

:/:

Setelah mengantar Lisa pulang ke kost-nya, Zio pulang ke rumah Pakde Tigra. Rumah sudah sepi, kemungkinan semua sudah tidur karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ketika hendak membuka pintu kamarnya, tiba-tiba kerah bajunya ditarik dari belakang.

Reza, si pelaku, menatapnya nyalang sembari membuka dan menutup pintu kamar Zio cepat setelah keduanya masuk. "Lo apain Anne, Zio?"

Zio menaikkan kedua alisnya bingung. Sepersekon kemudian, sebuah tawa meluncur dari bibirnya yang semula terkatup. "Dia ngadu gimana sama lo?" tanya balik Zio.

"Lo bilang apa sama Anne, Zio?" Reza kelihatan menggeram kesal. Reza melepas cengkeramannya pada kerah Zio, dia justru mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi.

"Gue nggak bilang apa-apa, kok. Lagian emang sedeket apa gue sama cewek itu? Lo ada hubungan apa emang sama Anne? Pacar lo Dania bukan, sih?" Zio tersenyum asimetris membalas tatapan nyalang Reza tak kalah tajam.

"Don't dare me, Zio. Lo ngomong apa sama Anne sampai dia ngotot jadi---argh! Jangan pura-pura bodoh! Gue tau lo udah tau dari Anne." Reza mengusap wajahnya kasar. Zio lihat, Reza begitu kesulitan sekarang.

"Tau apa, to, Za?" Zio tertawa sinis, masih terus berpura-pura bodoh dan tidak tahu apa-apa.

Reza menggertakkan giginya, jika tidak mengingat di mana dia berpijak sekarang, mungkin Zio sudah betulan remuk di tangannya. "Gue tau lo udah tau, Zio. Antara gue sama An. Don't act being stupid like that."

"Reza, I suggest leaving her alone. She's not as good as you see. Dania is more than enough for you." ucap Zio, membuka pintu kamarnya perlahan, mempersilakan Reza keluar. Zio tahu, meski semarah apapun Reza, sepupunya itu tidak pernah diijinkan oleh Tigra untuk bermain tangan pada siapapun di dalam rumah ini.

"Lo nggak seharusnya mencampuri urusan gue, Zio."

Zio menggeleng tidak setuju, "lo pikir gue seneng terseret kaya gini? Enggak, Za."

Menghela napas agak kasar, Zio menggeser netranya malas. "Gue pun nggak sudi mencampuri urusan lo. Maka biarkan gue tenang, Reza. Tinggalin salah satunya, dan jangan biarin Anne ganggu gue."

"Lo bahkan nggak ngerti akar semua ini di mana. Nggak usah sok bijak, gue lebih tau apa yang gue lakukan." sarkas Reza.

"Lo tau apa yang lo lakukan, tapi lo tetap kebingungan. What's so funny?" balas Zio tetap sasaran, senyumnya kelewat tengil dan menyebalkan.

Reza berdecak sekali, sebelum beranjak keluar kamar Zio dengan benang kusut yang semakin kusut saja. Sementara Zio menghela napas panjang sebelum menutup pintu kamarnya rapat. Dadanya tiba-tiba sesak.

Mendadak, perlakuan Reza mengingatkannya pada perilaku Bunda. Pada dasarnya, mereka sama. Sama-sama bermain api di belakang. Sama-sama berkhianat dengan alasan kebahagiaan dirinya.

"Fuck..." umpatnya saat tahu-tahu matanya basah oleh air mata.


Kadang tuh emang gitu hihi

Kita tau apa yang kita lakukan, tapi tetap meragu hahahajjakjajakkssk

Indahnya dunia

See youuu

Stalker | LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang