[ 31 ] warm hug

238 58 2
                                    

31 - warm hug

Zio baru bangun dari tidurnya ketika Reza datang ke kost-nya dengan wajah penuh simpati.

"Nyokap lo dateng."

Begitu katanya dengan nada yang kedengaran datar. Mungkin, laki-laki itu masih marah karena kini hubungannya hancur lebur. Tapi nyatanya gestur tubuhnya tidak pernah bisa berbohong. Sepasang maniknya berpendar panik, dan gerak-geriknya gelisah.

Mendapati keterdiaman Zio di ambang pintu membuat Reza menghela napas gusar. "Gue nggak minta lo buat datang ke rumah gue, gue kesini cuma karena disuruh Ayah buat nanya, apa lo masih sudi ketemu dia?"

Zio menghela napasnya berkali-kali sebelum menatap kedua manik Reza sama datarnya dengan yang Reza berikan padanya. Yang lebih tua menggeleng pelan dengan helaan napas panjang, "nah, kalau lo nggak mau, nggak usah. Bulik sama suaminya."

Untuk waktu yang cukup lama, hanya ada sepi yang menjadi melodi di antara keduanya. Lalu semakin lama diiringi dengan deru napas keduanya yang semakin menggebu. Khususnya Zio, yang merasa seolah keadaan sedang mencekiknya sampai dia menjadi sulit bernapas.

"Kapan datengnya?" Bukan kalimat persetujuan maupun penolakan yang Zio keluarkan. Melainkan kalimat pertanyaan yang dikeluarkan dengan lancar setelah berusaha menekan amarahnya ke titik terendah.

"Tadi pagi banget, marah-marah karena nganggep Ayah nyembunyiin lo." ujar Reza.

Mendengarnya, seketika Zio menggelengkan kepalanya pelan. "Gue dateng."

Reza mengernyitkan dahinya, "sure?"

Zio tidak menjawab, laki-laki itu berbalik untuk mengambil kunci mobilnya di kamarnya.

Zio tidak melakukannya karena benar-benar ingin bertemu Bunda. Tapi Zio melakukannya untuk Pakdhe Tigra yang sudah terlalu baik padanya. Zio berada di sini, itu karena pilihannya, karena Bunda, karena laki-laki itu. Bukan disembunyikan seperti apa yang Bunda tuduhkan.

Reza yang melihat Zio pergi lebih dulu dengan mobilnya dengan mata merah dan dada menggebu langsung menyusul setelah selesai menghubungi seseorang yang mungkin berguna.

Iya, berguna untuk menjadi penawar laki-laki yang baru pergi dengan amarahnya tersebut.

:/:

"Zio!"

Begitu Zio menampakkan batang hidungnya di rumah Tigra, Sania langsung berlari ke arahnya. Namun sebelum seujung kukupun Sania menyentuhnya, Zio langsung memundurkan langkahnya. Sania praktis berhenti dengan tatapan nanarnya.

"Zio, kamu..."

"Ngapain Bunda kesini?" tanya Zio lurus, tidak kedengaran seperti pertanyaan dan lebih terdengar seperti usiran. Nadanya ketara sekali bahwa laki-laki itu tidak menginginkan Ibundanya menginjakkan kaki di sini.

Sania tertawa getir, "Bunda nyariin kamu, Zi. Kamu yang ngapain di sini? Di sini bukan rumah kamu. Kamu nggak..."

"Sekalipun di sini bukan rumah Zio, bahagia Zio ada di sini, Bun. Seenggaknya, di sini banyak yang menganggap hati Zio patut diperlakukan dengan layak." potong Zio menatap tajam wanita yang pernah Zio hormati dengan sangat tersebut. Sampai kini, rasa hormat itu terkikis oleh benci.

"Zio, sudah." Tigra menghampirinya sembari menggelengkan kepalanya.

Zio menghela napasnya kasar, mengalihkan pandangannya sebentar sebelum menatap Sania lagi. "Zio akan lebih suka kalau Bunda pulang ke tempat Bunda sekarang juga tanpa mengusik Pakdhe Tigra lagi."

"Kamu lebih sayang Pakdhemu daripada Bunda?!"

"Bukan perkara lebih sayang siapa, tapi Zio di sini  tanpa paksaan dari Pakdhe Tigra. Zio tinggal di sini karena kemauan Zio sendiri. Zio udah besar, nggak butuh arahan dari siapapun termasuk Bunda buat menentukan bagaimana alur hidup Zio selanjutnya." tuntas Zio.

Stalker | LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang