[ 33 ] love-hate

268 59 3
                                    

33 - love-hate

Lisa urung meninggalkan pekerjaannya.

Gadis itu tetap melakukan pekerjaannya meski kepalanya agak semrawut. Setelah selesai, Lisa juga tidak langsung pulang padahal hampir semua yang satu projek dengannya tadi sudah pulang. Hanya tersisa dirinya dan Tanu, kakak tingkatnya di kampus.

"Pulang nggak lo?"

"Hah?" Lisa gelagapan, sangat terkejut saat ditanyai Tanu dengan suaranya yang bapak-bapak banget. "Nebeng deh, Mas, hehe."

"Masalah apa lagi, lo? Sama Zio lagi?" tanya Tanu tepat sasaran. Tanu tidak pernah tau memang apa masalah yang terjadi di antara dua anak manusia itu, tapi dia paham kalau memang ada apa-apa di antara mereka.

Lisa sontak tertawa hambar. "Kelihatan banget, Mas? Perasaan gue udah coba buat biasa aja."

Tanu yang tadinya sudah hendak msncapai pintu langsung putar balik ke arah Lisa. Pemuda itu mendudukkan dirinya di samping Lisa. "Banyak banget perasaan masalah lo. Naksir kali, ya, semesta ini sama lo." celetuknya ngawur.

"Iya kali? Sampe-sampe ngasihnya segini banyak. Bingung gue mau dipikul di mana lagi. Bahu gue penuh nih, Mas." Lisa menanggapinya sambil tertawa. "Mau sharing nggak, Mas?"

Tanu tertawa sambil menggelengkan kepalanya, menolak tawaran si gadis poni. "Nggak deh, makasih. Punggung gue udah encok nih mikul ekspektasi."

Setelah tawa dari kedua orang itu berhenti, Tanu menoleh sekilas kepada Lisa yang dari tadi sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari lampu kekuningan di tengah ruangan. "Tapi kalau mau cerita, boleh. Tapi jangan ngarep yang bijak-bijak, gue dari cetakannya udah ambyar soalnya."

"Mas, menurut lo, kalau sesama anak broken home tuh... bisa nggak, sih?"

Akhir-akhir ini, semenjak hampir semua orang-orang yang Lisa kenal tahu bahwa hidupnya memang pelik, entah mengapa Lisa jadi sedikit lebih terbuka. Karena ternyata dengan bercerita semua terasa lebih ringan. Rasa sakitnya memang masih, tidak hilang, tapi hanya ada kelegaan tersendiri saja.

"Bisa apa?"

"Jadi?"

"Oh... bareng-bareng, ya?"

Lisa menarik napasnya panjang kemudian membuangnya perlahan. "Mungkin...? Ya menurut kacamata lo aja."

Tanu terdiam cukup lama, laki-laki itu kemudian menatap Lisa cukup lama juga. "Bentar deh, jadi Zio juga sama gitu, ya?" tanyanya karena hanya mendengar cerita Lisa saja.

Lisa mengangguk membenarkan, "tapi beda masalahnya, cuma ya gitu deh... intinya rumah kita sama-sama rusak."

"I see. Bentar, ya, gue mikir dulu."

"Kelamaan, Mas. Balik aja, deh." Lisa merengut, bisa-bisa lima jam lagi Lisa baru pulang kalau betulan menunggu Tanu berpikir. Baru saja hendak berdiri, Tanu menahan lengannya, memaksa gadis itu untuk tetap duduk.

"Udah ini, otak gue udah upgrade kok. Menurut lo sendiri gimana? Kemarin udah clear juga, tuh. Jadi pasti lo udah mempertimbangkan semuanya. Terus kenapa sekarang lo bingung?" Kalau Tanu tidak salah tangkap, Lisa maupun Zio juga sudah pernah ada masalah dan semua berhasil di selesaikan. Jadi mengapa sekarang Lisa kembali bingung?

"Kemarin tuh, ya, Mas... gue nolak dia karena gue takut kalau kita akhirnya malah saling nyakitin. Selain itu, kita berdua udah sama-sama berdiri di atas kaki sendiri. Nggak ada penopang. Kita berdua sama-sama sakit, terus siapa yang bakal jadi obatnya? Tapi karena Zio emang bajingan nggak tau diri, dia tetep kekeh banget ngejar. Dan, ya, we try. Gue bahagia kok sama dia. Gue sadar, kita nggak perlu saling menopang. Cukup sama-sama berjalan aja meski di titik terendah sekalipun. Nggak apa-apa, asal bareng-bareng. Kita juga nggak harus jadi obat buat siapa-siapa, kita cuma harus saling mengerti sama rasa sakit ini. Cukup... apa ya? Dinikmati? Duh, kok horor banget anjir menikmati rasa sakit, hehe. Gitu, lah, Mas... tapi, ini..." Lisa menunjukkan video yang dikirim oleh nomor anonim tadi kepada Tanu.

Stalker | LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang