''Kita putus ya, Fay!''
Itulah sebaris kalimat menyeramkan yang pernah membuat hatiku mati, meski aku tidak melihat wajahnya kala ia mengucapkan kalimat sakral itu, namun aku merasa duniaku berhenti tepat dihari itu. Bahkan aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, untuk mempertanyakan alasannya. Meski ada berbagai polemik alasan yang terus berpusar di pikiranku, namun aku belum mendengar langsung dari bibirnya.
Long distance relationship kita jalani setelah lulus SMA, kita memilih kampus yang berbeda, otakku yang pas-pasan tidak bisa membuatku diterima di perguruan tinggi terbaik seperti dirinya, apalagi saat itu ada berbagai masalah yang menerpa, membuat fokusku belajar terpecah.
Tidak bisa melihat wajahnya setiap hari, membuatku tercekik kerinduan. Namun jarak selalu menyimpan harapan, hari yang tiba untuk bertemu, hari dimana kita bisa melampiaskan kerinduan dan mewujudkan mimpi berdua.
Namun semua hanya ilusiku saja, dia tidak mau terjerat lebih lama oleh cintaku yang barangkali membuatnya muak.
Kenyataan perselingkuhan papa, membuatku bertindak semakin posesif padanya, hari-hariku dipenuhi ketakutan, dia akan menemukan orang lain. Dibandingkan gadis lain aku bukanlah apa-apa.
Hingga tahun kedua perkuliahan, ketakutan semakin merajam, sikapnya mulai berubah semakin dingin. Dia sering mengabaikan pesan-pesanku. Aku yang sadar akan itu, berusaha tidak untuk mengekangnya, dan menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Namun kenyataannya dia semakin menjauh.
Hingga pada akhirnya, tepat dua tahun setelah kami menjalani hubungan jarak jauh, dia mengakhiri hubungan melalui sambungan telepon. Aku membeku mendengar suaranya yang terdengar menyerah akan hubungan ini, aku tidak menyangka dia memilih pergi ditengah keremukkan hatiku.
Bahkan aku tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah kata pun. Duniaku menghilang, hatiku kosong. Dia membawa seluruh hatiku. Dan saat ini dia mempertanyakan kesakitanku saat itu, aku tidak bisa menjawab, selain air mata mengalir. Rasanya terlalu mengerikan.
Aku hanya bisa mendekapnya erat, meski dia tetap bergeming, sangat enggan untuk membalas rengkuhanku. Tubuhnya kaku, semakin mempertegas, betapa dalam dia menyimpan amarah.
Perlahan dia mengurai pelukanku, kembali merajamku dengan tatapan elangnya. Kesinisan masih memenuhi wajahnya.
"Jangan nangis, Fay!" Ucapnya tajam.
"Orang sepertimu, tidak akan paham," tambahnya dengan senyum meremehkan.
Dia salah, kesakitanku lebih dari yang dia kira, dia tidak pernah tahu, bahkan kehilangan dia lebih menyeramkan dari apapun. Jiwaku kosong sejak hari itu.
Aku berbalik menatapnya dalam, bahkan aku bisa merasakan, dia hanyut dengan tatapanku.
"Aku sangat paham Van, bukankah aku sudah berjanji, akan membereskan kekacauan ini, Carisa akan kembali padamu," ungkapku mantap, meski menahan debar sesak.
"Hentikan omong kosongmu, Fay!" Bentaknya nyalang.
Dia menghela napas lelah.
"Jangan lagi bersandiwara di depanku, Fay!"
Aku tersenyum miris, serendah itukah aku? Andaikan dia tahu, aku bahkan tidak pernah mengerahkan kemampuan aktingku, dihari kemarin aku terlalu menikmati kebersamaan kami. Aku hanya sedikit berakting untuk menutupi perasaanku yang masih sangat dalam, aku tidak ingin dia murka jika mengetahui aku masih menyimpan perasaan padanya.
Revan, apa diantara kita sudah benar-benar berlalu? Kenapa kamu tidak bisa memahami sedikit saja perasaanku? Ingin sekali aku mempertanyakan segalanya, termasuk alasan dia meninggalkanku dulu, tapi tenggorokanku selalu tercekat, mungkin semua sudah terlambat tidak ada artinya lagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/244969398-288-k887057.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bring My Heart (TAMAT)
Romance( CERITA LENGKAP) SEGERA BACA SEBELUM DIHAPUS. JANGAN LUPA VOTE DAN COMENT YA GUYS, AND FOLLOW AKUN PENULIS. Aku tidak tahu seperti apa bentuk pertemuanku dengannya Setelah hubungan kita berakhir. Meski sudah delapan tahun berlalu, dia masih menem...