Hari Presentasi

4 2 0
                                    

SELAMAT MEMBACA



****
Ian, Pria itu membaca pesan berisi penjelasan dari Adiba. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum. Syukurlah gadis itu tidak marah padanya.

Direbahkan tubuhnya ke atas Spring bed king size miliknya, sambil mengangkat ponsel tepat di depan wajahnya. Berpikir akan mengirimkan balasan apa lagi.

Namun kemudian, entah bisikan dari mana jarinya terdorong untuk menekan tombol telefon. Deringan ke lima baru Adiba menjawab.

Diarahkan gawai itu ke telinganya, terdengar suara lembut, perempuan dari seberang sana.

“Kenapa Ian?” tanya Adiba to the point.

“Nggak, cuman pengen dengar suara Lo doang.” Jawab Ian sambil mengulum senyumnya, merasa lucu dengan ucapannya sendiri.

“Kalau nggak penting, Gue matiin telefonnya.” Ancam Adiba.

Ian menghembuskan napas kecewa, ia pikir Adiba akan tersipu dan menjawab dengan suara yang terbata-bata karena malu atau semacamnya, nyatanya salah. Ekspektasinya lah yang terlalu tinggi sampai lupa bahwa Adiba perempuan yang cuek.

“Iya, bercanda doang. Serius banget. Gue cuman pengen tanya soal kesiapan presentasi besok.” Jelas Ian kemudian.

“Iya, ini juga lagi belajar. Lo juga harus pelajari materi.” Pinta Adiba.

“Kan udah ada Lo.” timpal Ian mencoba memancing amarah Adiba.

“Kita kan satu kelompok, yang presentasi juga kita berdua jadi semua harus menguasai materi.” Dengan tetap tenang, Adiba mencoba memberikan pemahaman kepada Ian.

“Gue nggak paham kalau belajar sendiri, bagaimana dong? Atau Gue ke rumah Lo aja buat belajar bareng.” Ian belum menyerah untuk terus mengganggu Adiba.

Adiba panik, mengetahui bahwa Ian tipe pria yang tidak main-main dengan ucapannya, bisa jadi pria itu benar-benar datang ke rumahnya. Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

“Jangan aneh-aneh deh.” Berang Adiba.

Senyum Ian semakin lebar mendengar respon Adiba, “Ya terus bagaimana?”

“Terserah Lo, mau belajar atau nggak,” pasrah Adiba.

Ian semakin menggebu-gebu, sangat puas mengganggu Adiba, “Nggak bisa begitu dong, kan Lo sendiri yang bilang kalau kita satu kelompok, yang presentasi kita berdua jadi semua harus menguasai materi,” Ian menirukan ucapan Adiba sebelumnya.

Pasti Adiba sedang cemberut sekarang, sayangnya Ian tidak bisa melihat ekspresi itu karena terhalang jarak dan hanya terhubung dengan panggilan telefon.

Ian menemukan ide baru, dialihkannya panggilan telefon ke panggilan video, untunglah Adiba menerima kembali panggilan itu.

Terlihat wajah tidak bersahabat dari Adiba yang menggemaskan bagi Ian, “Begini kan enak. Lo bisa jelasin materinya biar Gue paham.” 

“Gue nggak terbiasa video call begini. Telefon suara aja,”

Adiba tidak berbohong, dia memang tidak terbiasa melakukan panggilan video. Terlalu canggung untuk melakukannya.

“Gue sendiri malah nggak paham kalau nggak lihat orangnya ngomong. Lo nggak perlu canggung sama Gue. Lama-lama juga terbiasa.” Ian berusaha meyakinkan.

Adiba tidak mengatakan apapun, sepertinya gadis itu sedang berdebat dengan pikirannya sendiri. Suara Ian kembali menyadarkannya, “Udah, nggak perlu banyak mikir lagi, lebih baik sekarang bantu Gue belajar sekaligus simulasi buat presentasi besok.”

Tidak ada pilihan lain, Adiba akhirnya setuju dan mulai menjelaskan materi-materi dan pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan muncul besok.

....

Sampailah waktu presentasi mereka. Adiba dengan percaya diri memaparkan materi kelompoknya tentang genetik yang berfokus pada DNA. Menjelaskan tanpa membawa konsep apapun, hanya memanfaatkan proyektor untuk menampilkan gambar-gambar pendukung.

Satu fakta lain dari Adiba. Walaupun gadis itu pendiam dan cenderung menutup diri, rupanya tidak berlaku untuk situasi seperti presentasi sekarang ini. Adiba seolah menjadi pribadi yang berbeda.

Ian tidak henti-hentinya mengagumi setiap kata yang Adiba lontarkan. Lebih tepatnya mengagumi betapa berkarismanya gadis yang berdiri di sampingnya itu.

Setelah pemaparan kurang lebih lima belas menit, Adiba kembali duduk. Adiba menatap bingung pada Ian yang juga menatapnya sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya Adiba penasaran.

Ian hanya menggeleng kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke depan dengan tetap mempertahankan senyumnya.

“Kenapa sih, Gue ada salah ngomong tadi?” tanya Adiba mulai merasa cemas.

“Nggak ada. Gue salut sama Lo, Lo itu keren saat presentasi tadi.” Jelas Ian, tidak ingin merusak suasana hati gadis itu.

Adiba akhirnya bisa bernapas lega, walaupun ia masih penasaran dengan maksud Ian yang menganggapnya keren, namun ditahannya untuk bertanya lebih lanjut. Dirinya harus kembali fokus pada presentasi.

Ratih yang ditunjuk menjadi moderator, mempersilakan teman yang lain untuk mengajukan pertanyaan. Terdapat tiga pertanyaan dan dengan mudahnya dijawab oleh Adiba dan juga Ian.

Presentasi mereka berakhir sesuai dengan harapan, memperoleh nilai A plus. Tidak sia-sia persiapan yang sudah mereka lakukan.
Memang benar bahwa usaha itu tidak akan menghianati hasil. Dengan kata, jika kita berusaha masih akan ada harapan untuk hasil yang diperoleh walau mungkin kadang tidak sesuai, tapi jika tidak melakukan usaha sama sekali jangankan hasil, berharap pun tidak ada gunanya lagi.

....

Adiba kembali menunggu bus untuk pulang ke rumah. Seperti dejavu. Di saat Ian datang menawarkan untuk mengantarnya pulang dan Adiba menolak akhirnya, pria itu memutuskan untuk menemani Adiba menunggu busnya datang.

Bedanya, kali ini suasana lebih hidup. Ian yang memulai obrolan dengan membahas tentang presentasi mereka di kelas tadi,  Adiba juga punya kesempatan untuk bertanya mengenai maksud dari Ian menganggapnya keren saat presentasi.

“Kok Lo bisa kayak gitu sih?” tanya Ian ambigu.

“Begitu bagaimana maksudnya?” Adiba ikut bertanya, merasa bingung dengan pertanyaan Ian.

“Ya, Lo itu kayak dua orang berbeda. Di saat presentasi Lo nggak tanggung-tanggung buat ngomong, tapi kalau ngobrol biasa kayak begini, Lo itu irit banget ngomongnya. Lo kok bisa begitu sih?” Tanya Ian kembali di akhir pertanyaannya.

Adiba mengangkat bahu, “Ya nggak tau.” Jawab Adiba kemudian.

Ian menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan gadis itu, “Bisa-bisanya Lo nggak kenal diri Lo sendiri,” ejek Ian.

“Lo sendiri bagaimana, bisa mengenali diri sendiri?” timpal Adiba.

“Gue juga nggak yakin sih. Kadang, Gue merasa paling mengenal diri sendiri tapi nyatanya ada beberapa hal yang nggak Gue mengerti.”
Adiba mengangguk paham, setuju dengan apa yang dikatakan Ian.

****
AQUA NUBILUM

Aqua NubilumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang