Penuh Perhatian

4 1 0
                                    

SELAMAT MALAM...
🔥🔥🔥🔥🔥

.
.
.
.

SELAMAT MEMBACA

****


Adiba baru saja turun dari motor di depan pagar sekolah. hari ini, ia berangkat ke sekolah bersama kakak sepupunya bernama Fajar. 
Fajar seorang mahasiswa semester awal di ITB. Ia baru tiba dari Semarang dan menginap beberapa hari di rumah keluarga Adiba sebelum kembali ke Asrama.

Fajar sendirilah yang memang menawarkan diri untuk mengantarkan Adiba ke Sekolah pagi ini. Fajar selalu menganggap Adiba seperti anak kecil walaupun usia mereka hanya terpaut satu tahun.

Diusapnya puncak kepala Adiba saat gadis itu turun dari motor, “Belajar yang rajin Bontot,” ujarnya.

Adiba segera menjauhkan tangan Fajar dari kepalanya, “Ishhh....” gerutu Adiba.

“Adiba masuk dulu. Terima kasih, Kakak sudah mau nganterin,” Pamit Adiba.

Fajar juga menyalakan motornya, segera kembali ke rumah. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang memperhatikan interaksi keduanya.

....

Di tengah perjalanan menuju kelas, Ian melewati Adiba begitu saja. Tidak seperti biasanya, di mana jika mereka bertemu di jalan, Ian pasti akan langsung menyapa. Mustahil jika pria itu tidak melihat Adiba, koridor sekolah yang mereka lalui tidak terbilang luas dan juga tidak ramai.
Adiba hanya bisa menatap punggung pria yang berjalan di depannya itu, tidak mungkin juga jika Adiba yang lebih dulu menyapa. Percayalah, gengsi seorang wanita itu sangat tinggi.

Sampai ketika Adiba memasuki kelas, tatapan mereka sempat bertemu namun lebih dulu diputuskan Adiba. Berbeda halnya dengan Ian yang masih mempertahankan tatapannya.

Adiba duduk di kursinya, seorang pria berambut ikal datang menghampiri, meminta bantuan.

“Adiba, lihat tugas matematika Lo dong. Gue belum selesai nomor tiga. Nggak nemu jawabannnya.” Pinta Bastian.

Dengan santai Adiba meminjamkan bukunya pada Bastian. Walaupun Adiba sangat terbuka untuk hal membantu, tetapi melihat bagaimana karakter Adiba yang sangat cuek dan menutup diri, membuat orang  merasa canggung untuk meminta bantuannya.

Bastian membaca dengan telaten setiap bagian jawaban yang dituliskan Adiba, “Bisa Lo jelasin nggak? Gue masih belum paham.”

Adiba mengangguk. Ia kemudian bergeser, memberikan tempat duduk di sampingnya untuk Bastian. Barulah kemudian Adiba mulai menjelaskan.

Ian sejak tadi cukup geram memperhatikan mereka berdua, pria itu kemudian ikut bergabung, duduk di kursi yang sering ia tempati ketika menemui Adiba.

“Bisa aja Lo modusnya Bas,” sarkas Ian, tersenyum menyeringai.

Bastian maupun Adiba, menatap Ian dengan wajah bingung. Namun, tidak berselang lama, keduanya kembali serius belajar dan tidak meladeni ucapan Ian.

“Katanya peringkat satu, soal begitu doang nggak bisa,” sindir Ian kembali.

“Mau Lo, apa? Kalau Gue nggak tahu jawabannya memang kenapa. Lo sendiri, bisa nggak?” tanya Bastian yang mulai tersulut emosi.

Aqua NubilumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang