Calon Menantu

5 2 0
                                    

.
.
.
.

Jangan lupa vote ⭐ dan komentarnya. ☺


SELAMAT MEMBACA
.
.
.

...

Ruang kelas dengan suasana yang tenang. Semua siswa sibuk menyelesaikan soal matematika yang harus dikumpulkan satu jam ke depan.

Ratih, perempuan berkulit sawo matang yang duduk di samping Adiba terlihat bingung sejak tadi. Terlihat dari gerak geriknya yang tidak bisa duduk tenang dan mengetukkan pulpen ke kepala.

Ratih menatap Adiba yang dengan telaten menyelesaikan soal demi soal. Ditariknya ujung lengan baju Adiba dengan hati-hati, “Adiba, Gue lihat tugas Lo aja ya.” mohonnya dengan wajah memelas.

Adiba langsung menatap Ratih dan tangan yang menarik lengan bajunya. Ratih sadar dan langsung melepaskannya. Ratih kembali memohon di saat sebelumnya tidak mendapatkan jawaban. Baguslah tanpa menjawab, Adiba langsung menggeser sedikit bukunya agar Ratih bisa melihat dan menyalinnya.

Tidak butuh waktu lama untuk Adiba menyelesaikan soal. Ia bisa istirahat jika mengumpulkan buku ke guru akan tetapi, ia harus menunggu Ratih selesai menyalinnya terlebih dahulu.

Selagi menunggu Ratih, Adiba menatap sekelilingnya. Masih dengan keadaan yang sama, semua sibuk mengerjakan. Pandangannya jatuh pada Ian. Entah kenapa, Adiba merasa ada yang berbeda dengan pria itu hari ini. Namun segera ditepisnya.

Beberapa menit kemudian, kelas kembali riuh. Satu persatu dari mereka telah selesai. Begitu juga dengan Ratih, gadis itu segera mengumpulkan bukunya dan buku Adiba ke depan, tidak lupa mengucapkan terima kasih ke Adiba dan langsung menuju kantin untuk mengisi perut.

Adiba tidak sengaja berpapasan dengan Ian di pintu ketika hendak keluar kelas, namun respon yang Adiba dapatkan adalah Ian kembali mengabaikannya. Dipandanginya punggung Ian yang mulai melangkah jauh.
Adiba duduk sendirian di tengah keramaian kantin. Lagi-lagi dilihatnya Ian sedang bercanda gurau dengan teman-temannya, terdapat empat teman laki-laki dan tiga perempuan dari kelas yang berbeda. Adiba tidak mengenal mereka.

Segera ditundukkan pandangannya dan buru-buru menghabiskan makanannya lalu segera pergi dari kantin. Adiba tidak terlalu nyaman berada di tengah keramaian yang membuatnya merasa semakin kesepian.

Setelah dari kantin, Adiba langsung kembali ke kelas. Duduk menatap keluar jendela yang berada tepat di sampingnya. Pikirannya sedang berkelana. Memikirkan Ian?

Tiba-tiba orang yang sedang dipikirkannya  muncul dari balik pintu, seorang diri memasuki kelas.

“Hai, Adiba. Sendirian aja.” sapanya.

Adiba hanya menatap Ian namun tidak sedatar biasanya, tatapannya sudah sedikit bersahabat walau masih irit berbicara.

Ian tidak berbuat banyak, ia hanya langsung menuju mejanya seperti mencari sesuatu barang dan pergi kembali setelah mendapatkan apa yang ia cari.

“Pergi dulu.” Ucapnya lagi sebelum pergi.

....

Adiba baru tiba di rumah jam lima sore. Tidak seperti biasanya, Fadillah sudah ada di rumah dan memasak? Hal ini cukup langka, “Ada acara apa Bu?” tanya Adiba penasaran.

Wanita paruh baya itu tersenyum ke arah putrinya, “Rachel yang mau datang.” Jawab Fadillah.

Wajah Adiba yang semula bahagia seketika berubah datar. Mengetahui orang yang dimaksud ibunya itu membuat suasana hatinya berubah kesal.

“Kamu ganti baju dulu baru bantu Ibu, ya?”
Adiba hanya mengangguk, walaupun ia kesal karena harus menyiakan makanan untuk Rachel, akan tetapi perasaan kasihan pada Ibunya lebih besar. Adiba tentu tidak tega jika membiarkan ibunya menyelesaikan semuanya sendirian.

....

Malam pun tiba, semua anggota keluarga berkumpul di ruang tengah sekedar berbincang-bincang. Terdapat minuman dan kue di atas meja.

“Diminum Nak,” ucap Fadillah pada Rachel, mempersilakan.

“Maaf tante, tapi saya tidak minum kopi. Terlalu tinggi kalori.” Tolak Rachel.

“Oh, Maaf Tante tidak tahu. Kalau begitu, kamu coba kuenya saja, Tante buat sendiri.” Kembali Fadillah menawarkan.

Rachel mengambil piring dan sendok, diambilnya sedikit potongan kue itu lalu dicicipinya. Tidak lama, kembali diletakkannya piring itu ke meja.

“Kenapa Rachel? apa kuenya tidak enak, Nak?” tanya Fadillah dengan tetap lembut.

Rachel memaksakan senyumnya, “terlalu manis tante, apa lagi bahan dasarnya dari coklat dan dikonsumsi malam hari, tidak cocok dengan tubuh saya Tante, bisa menaikkan berat badan.” Komentarnya dengan suara yang dibuat semanja mungkin.

Fadillah hanya bisa mengangguk dan tidak membuka suara lagi. Jelas saja bahwa wanita itu sedang merasa kecewa. Luthfi hanya diam, merasa tidak enak hati pada ibunya. Begitu juga dengan Bukhari yang langsung mengalihkan pembicaraan dengan hal lain.

....

Mereka beralih ke meja makan, Bukhari yang mengajak semua orang karena Fadillah sudah tidak bersemangat seperti tadi. Ibu dua anak itu hanya mengikut, sesekali tersenyum dan menjawab seperlunya, tetap berusaha untuk menutupi kekecewaannya.

Adiba tidak pernah membuka suara namun matanya seolah mengintimidasi gadis berambut kuning kecokelatan yang berada di depannya saat ini.

Rachel kembali berulah, ia tidak menyentuh sedikit pun makanan yang tersaji di meja. Makanan yang sudah dimasak Fadillah sejak sore.

“Rachel makan buah saja ya Om, Tante.” Ucapnya.

Adiba mulai emosi dengan segala tingkah Rachel pada kedua orang tuanya, ia tidak bisa tinggal diam lagi. Dibantingnya sendok yang ia ada di tangannya ke meja, “Tujuan Lo datang ke sini itu buat apa sih? Kalau Lo nggak pengen makan masakan yang Ibu gue masak, Lo ngomong. Jadi Ibu gue nggak perlu capek-capek siapin ini semua.” Sembur Adiba.
Semua orang dibuat kaget, Bukhari langsung menegur Adiba, meminta agar sopan dengan tamu. Rachel sendiri sudah memasang wajah sedih dan berbisik, mengadu pada Luthfi.
Rachel semakin kesal ketika kakaknya itu mencoba untuk menenangkan Rachel yang hampir menangis.

“Drama Queen,” cibir Adiba.

“Adiba!” tegur Bukhari.

“Nggak Om, Rachel yang salah sudah bertingkah kurang ajar. Maaf ya Adiba.” Tutur Rachel.

Adiba berdiri dari duduknya, membawa piring berisi makanan dan segelas air, melangkah pergi.

“Adiba makan di kamar.” ujarnya.

Lebih baik Adiba pergi saja dari pada harus bertahan di sana, bisa-bisa ia tidak akan tahan untuk tidak mengusir Rachel. Untunglah Bukhari tidak menahan Adiba lagi. ia kenal betul putrinya itu jika sudah marah.

“Rachel maafkan Adiba. Kamu makan buah saja.” Kata Bukhari menengahi.

“Terima kasih, Om.” Balas Rachel.

Mereka kembali melanjutkan makanannya, Rachel sendiri mengambil buah apel dan dipotong kecil-kecil untuk ia makan.

****

AQUA NUBILUM


Aqua NubilumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang