Transmigrasi Salavoka #44

16.8K 1.1K 18
                                    

Seperti yang ia katakan, Edrick benar-benar menceraikan Mira. Ia beserta Andre langsung di usir keesokan hari nya tanpa mendapatkan warisan apapun. Sepertinya memang itu yang di incar oleh kedua ibu dan anak itu.

Hari ini Defan sudah di perbolehkan untuk pulang, walaupun masih belum sepenuhnya pulih. Keadaan rumah sedikit suram akibat kejadian ini, namun hal itu tidak mempengaruhi Gefe dan Rio, justru itu yang mereka tunggu-tunggu selama ini. Namun Rio sedikit bingung kenapa adiknya bisa mengetahui rahasia besar Mira, ia sudah bertanya kepada Gefe namun jawaban nya hanya seadanya yang membuat Rio semakin bertambah penasaran.

"Aneh, kok gue ngerasa nggak enak ya. Seharusnya gue senang kebusukan mereka udah ke bongkar sehingga papa sedikit sadar"

"Tapi kok kayak ada sesuatu yang ngebuat hati gue resah"  Rio mondar mandir di balkon nya dengan sekaleng minuman soda. Perasaan nya sedikit tidak enak semenjak tahu tentang kejadian ini.

Akhir-akhir ini memang banyak hal yang terjadi, mungkin itu yang membuat perasaannya sedikit kacau. Mungkin.

***

Di waktu yang bersamaan Claresta melangkah kan kakinya menyusuri rumah mewah dengan nuansa klasik. Hentakkan sepatu nya menggema membuat seorang pria yang sedang bersantai di ruang tamu mengalihkan perhatian kepada nya.

"Kata mu kau tak sudi berada di rumah ini" ucap pria itu sambil kembali mengalihkan perhatian nya kepada buku yang ada di genggaman nya.

"Aku hanya ingin memperingati mu" jawab Claresta sambil mendudukkan bokong nya di salah satu sofa yang berada di hadapan pria itu

Dahi pria itu tampak mengerut samar, ia melepas kaca mata yang bertengger di hidung nya dan mengalihkan atensi sepenuh nya kepada Claresta.

"Apa maksud mu?"

"Robert. Um....apa perlu ku panggil, abang Robert?"

"Jangan pernah memanggil ku dengan sebutan itu, kau bukan 'dia'. Paham?" ucap Robert dengan mata tajam menatap Claresta

"Hahaha...." tawa Calaresta terlepas dengan amat nyaring. Air mata sampai muncul di ekor mata nya akibat tertawa. Sedang kan Robert yang melihat tingkah gadis itu tak bisa menyembunyikan emosi nya. Namun ia masih bisa menahan. Mau bagaimana pun, secara tidak langsung gadis di depan nya ini adalah adik nya. Adik kandung nya. Hanya saja....jiwa nya sudah berbeda.

"Kau marah? Bukan kah karna kau dia meninggal. Jadi jangan salah kan aku jika aku berada di dalam raga ini, Robert. Termasuk dengan apapun yang akan ku lakukan menggunakan raga ini" ucap Claresta berubah menjadi sangat serius

"Jangan melakukan hal yang aneh-aneh Claresta. Aku tidak akan pernah memaafkan mu jika kau membuat hal yang membuat nama baik nya tercoreng"

"Pftt...nama baik? Hahaha.....kau bercanda? Tuan Robert yang terhormat, coba kau buka mata mu lebar-lebar dan bentang kan otak udang mu itu. Kau lupa? Bahkan perbuatan adik mu itu lebih hina dari pada kotoran"

BRAKK

"Cukup Claresta, kau melampaui batas!!!" Robert memukul meja kaca di depan nya hingga pecak berserakan, darah tampak mengalir di tangan nya akibat pecahan kaca itu.

"Jika bukan karena tuan Nathan, kau sudah lama aku lenyap kan!!. Jadi jangan main-main dengan ku, atau kau akan menanggung akibat nya" ucap Robert menuding Claresta dengan telunjuk nya.

Claresta menepis tangan Robert dan berdiri dari duduk nya. Sambil tersenyum sinis ia berucap.

"Pahlawan kesiangan. Apa lagi yang ingin ia lakukan, jika ia benar-benar berkeinginan membantu kenapa tidak dari dulu. Sekarang nasi sudah menjadi bubur. Bilang pada nya untuk tidak ikut campur urusan ku, dia bukan siapa-siapa. Termasuk kau!" tegas Claresta dan  lantas meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.

"Sudah ku duga ia akan membuat kekacauan. Tidak ada yang lebih menakutkan dari marah nya orang yang sering di tindas"

***

Selepas dari rumah Robert, Claresta langsung melajukan mobil nya menuju suatu tempat. Sekarang ia sudah berada di sebuah rumah tua yang sedikit terbengkalai. Claresta masuk perlahan kedalam rumah itu. Ia menyusuri setiap inci ruangan dengan pandangan yang sarat akan kesedihan.

"Apa kabar ma? Mama baik-baik aja kan di sana?" air mata perlahan jatuh dari kelopak mata nya, mengalir deras di pipinya tanpa bisa di cegah.

"Hiks, hiks. Aku hampir selesai ma, aku hampir selesai. Tolong bersabar sedikit lagi, aku akan buat mereka semua menderita. Aku akan buat mereka menyesal karena sudah membuat hidup ku hancur. Hiks, tolong bantu aku, hiks"

Kaki nya meluruh kelantai, dada nya terasa sangat sesak. Segala kenangan manis di ruangan itu berputar di dalam kepala nya membuat air mata yang tadi nya deras semakin deras.

Cukup lama ia menangis di ruangan itu, setelah sedikit tenang, ia kembali berdiri dan memasuki sebuah kamar dengan lukisan abstrak yang mencolok di dinding dekat sebuah lemari.

"Mereka yang memulai dengan luka, maka akan ku balas dengan beribu-ribu luka yang membuat mereka menyesal telah melakukan semua  ini kepada ku" ucap nya dengan penuh tekad.

"Permainan, dimulai...." lirih nya dengan senyuman yang mengerikan.

****

Tepat pada saat Claresta meninggalkan rumah nya, Robert langsung saja menuju ke suatu tempat tanpa mengobati terlebih dahulu luka di tangan nya.

"Kita harus selalu siap, tuan" ucap Robert kepada seorang pria yang berada di hadapan nya. Nathan.

"Itu bukan urusan kita Robert. Benar kata nya, seharusnya, jika ingin menolong aku harus melakukan nya dari dulu"

"Tapi tuan. Keluarga itu bisa dalam bahaya besar. Kita tidak tahu apa yang sedang di rencanakan oleh gadis itu" jawab Robert lagi dengan nada sedikit memelas.

"Kau tidak sepenuh nya peduli kepada keluarga itu Robert. Kau hanya peduli kepada raga adik mu yang di tempati oleh nya, seharusnya kau bilang kepada ku dari dulu jika kejadian ini menimpa adik mu, setidak nya kita bisa melakukan hal lain sebelum semua nya menjadi kacau seperti sekarang ini"

Robert menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia kehabisan kata-kata. Memang benar, ia hanya takut jika ia tidak bisa melihat adik nya lagi. Walaupun dengan jiwa yang berbeda, tapi ia masih bisa melihat rupa adik nya.

"Sudah lah, kita lihat saja apa yang ingin ia lakukan. Kita tidak pernah berada dalam situasi seperti diri nya, Robert. Kita tidak tahu apa saja hal yang ia alami selama ini, jadi sebaik nya kita tidak ikut campur" ucap Nathan dengan bijaksana. Walaupun ia memiliki tanggung jawab terhadap gadis itu, tapi ia tidak bisa melampaui batas nya.

Robert menarik nafas berat, sangat susah untuk nya menerima semua kenyataan ini.

"Baik tuan. Saya akan bertindak sesuai perintah anda"

Nathan mengangguk dan kemudian berdiri dari duduk nya meninggalkan Robert sendirian di ruangan itu.

Transmigrasi Salavoka (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang