Transmigrasi Salavoka #35

22K 1.7K 14
                                    

Gadis dengan rambut panjang yang di gerai terlihat tengah bersantai di balkon kamar nya yang sangat luas. Pandangan nya menyapu hamparan kendaraan dan bangunan-bangunan tinggi yang menghiasi gelap nya malam ini.

Ia tak berkata-kata, namun matanya tersirat akan rasa sakit. Wajah nya datar namun terkesan suram. Pandangan nya tajam sekaligus penuh kesedihan dan kekosongan. Ia hanyalah gadis rapuh yang berhasil membohongi semua orang dengan sikap jahat nya. Ia adalah, Calresta.

Di tangan nya terdapat sebingkai foto yang menampakan sebuah keluarga bahagia. Sang adik yang di rangkul oleh kedua saudara laki-laki nya, dan seorang ayah yang mencium lembut pipi istrinya. Keluarga itu terlihat sangat bahagia. Claresta juga dulu nya berfikir seperti itu, namun apa yang telah terjadi pada dirinya membuat ia menyesal pernah menaruh harapan besar pada keluarga nya.

"Ibu. Doakan aku"  Claresta menengadahkan kepalanya memandangi langit yang sangat gelap. Air mata sudah membendung di pelupuk mata, siap untuk terjatuh kapan saja.

"Hiks...kenapa ini harus terjadi pada ku?. Kenapa Tuhan sangat tidak adil bu?"  ia terisak pelan dengan memegangi pembatas balkon.

Kakinya melemas tak sanggup menahan bobot tubuh nya, ia meringkuk memeluk dirinya dengan sangat menyedihkan. Claresta terus menangis tersedu dalam kesendirian dan gelap nya malam.

Di lain tempat pada waktu yang sama, dua orang pria dewasa tengah berbincang dengan serius. Dari aura yang di pancarkan, sangat jelas jika obrolan yang mereka bicarakan bukanlah obrolan ringan seperti hanya menanyakan kabar.

"Aku sangat tidak menyangka ini akan terjadi. Ini, terlalu mustahil dan sulit di percaya" Salah satunya mengangkat pembicaraan setelah sebelum nya sempat terjadi keheningan.

Lawan bicaranya memalingkan wajah dan menatap pria yang berbicara itu
"Apapun alasan nya, aku tidak ingin ia menyakiti gadis itu"

Pria itu menghela nafas berat
"Tapi tuan. Anda tahu jika Claresta sekarang berbeda. Dia bukan lagi adik ku, dia. Dia orang lain"

"Aku tahu Robert. Tapi kau bisa mengatasi nya kan?"

"Aku tidak yakin. Anda pasti paham mengapa ia sangat ingin membalas dendam pada keluarga itu, aku tidak ada hak untuk melarang nya. Karena aku tidak tahu apa yang ia rasakan selama ini. Tapi dilihat dari riwayat hidupnya, aku sedikit bisa merasakan nya. Itu pasti sangat menyakitkan"

Pria yang di panggil dengan sebutan tuan itu adalah Nathan. Masih ingat Nathan kan?. Dan Robert adalah tangan kanan nya, sekaligus orang yang memberitahu kepada Nathan jika jiwa yang berada di dalam raga Laura bukan lah jiwa asli nya.

"Ini sedikit rumit. Biarkan dia melakukan apa yang dia mau, tapi kau harus memastikan gadis itu baik-baik saja"

"Baik tuan. Kalau begitu, saya permisi"

Nathan hanya menganggukkan kepalanya dan kembali pada dunia nya sendiri.

"Tapi. Siapa sebenarnya yang harus aku lindungi?"

*****

Waktu berlalu dengan cepat. Matahari sudah menyingsing menampakan dirinya. Hiruk pikuk kendaraan serta orang-orang yang bekerja serta sekolah kembali melakukan rutinitas nya masing-masing. Di atas kasur king size, Laura yang sejak semalam berada di sana masih belum membuka kedua mata nya. Di sampingnya terdapat dua orang yang dengan setia menemani nya sejak semalam.

"Kapan ia akan sadar?"

"Kenapa? Kau lelah?"

"Tidak. Aku hanya takut ia tidak akan membuka mata nya lagi"

"Kau mau di habisi oleh tuan?"

"Kenapa aku harus?"

"Karna kau penanggung jawab nya"

"Bukan kah seharusnya itu kau?. Kau yang menangani nya, dan aku hanya menemani nya serta memberikan perintah"

"Kau tangan kanan nya Robert. Kau lupa tugas mu?. Sekalipun bukan kau yang membunuh nya, itu akan tetap menjadi kesalahan mu"

Robert menghela nafas pelan. Tanpa membalas perkataan Al, ia kembali mengalihkan perhatian nya kepada gadis yang masih setia memejamkan mata nya dengan nyaman.

"Apa yang membuat ia begitu lama memejamkan mata nya?"

Al ikut mengalihkan perhatian nya, dan memandangi Laura.

"Ia belum sepenuh nya pulih. Jika telat sedikit saja mungkin ia sudah meninggal tadi malam"

Robert kembali menghela nafas pelan
"Kenapa si ular dengan anak nya itu sangat ingin membunuh nya?. Dasar pembuat masalah"

Al sedikit terkekeh mendengar kalimat Robert yang seperti sedang mengeluh. Namun di detik berikutnya ekspresi wajah nya berubah dan memandang kearah Robert.

"Tapi. Apa hubungan tuan dengan gadis ini? Kenapa ia sangat ingin melindunginya, aku tidak pernah melihatnya tertarik dengan perempuan mana pun selama ini"

Robert berfikir sebentar lalu menjawab pertanyaan Al.
"Aku tidak tahu"

Al yang sudah menunggu jawaban dari Robert mendadak lesu. Ia memandang jengkel kearah Robert karena sebelum nya sahabatnya itu seakan-akan tahu sesuatu.

"Kau menyebalkan"

"Kau terlalu berharap. Tapi aku memang tidak mengetahui sesuatu, tuan hanya memberikan perintah, dan aku hanya menerima tanpa bertanya"

"Yaa, itu ciri khas mu"

Robert hanya menoleh sekilas mendengar ucapan Al. Ia hendak mengeluarkan suara nya lagi, namun suara lenguhan Laura membuat ia menghentikan nya dan langsung berdiri melihat keadaan gadis itu.

"Kau sudah sadar?, biar ku periksa"

Gefe yang melihat dua pria asing di hadapan nya sedikit terkejut dan memaksakan diri untuk mendudukkan badan nya. Namun tangan Robert lebih dulu menahan nya.

"Jangan banyak bergerak, lukamu masih basah"

"Siapa kalian?" Gefe sedikit takut jika orang di hadapan saat ini berbuat macam-macam kepadanya.

"Tak perlu takut. Kami tidak akan menyakiti mu" seakan tahu isi pikiran Laura, Al berucap demikian agar setidak nya gadis di depan mereka saat ini sedikit menaruh kepercayaan kepada mereka. Namun bukan jawaban itu yang di inginkan oleh Gefe.

"Apa yang terjadi?" Gefe sedikit menepis prasangka buruk nya setelah ia merasakan ada balutan perban di bahu kirinya.

"Kau di tusuk dengan belati beracun. Kami hanya menolong mu dan membawa mu ke sini" jawab Robert seada nya, yang membuat Gefe semakin bingung

"Kenapa?"

"Apa nya yang kenapa?"

"Kenapa kalian nolongin gu- a, kenapa kalian menolong ku?" Gefe merubah gaya bicaranya karena mendengar kedua pria di depan nya berbicara dengan formal.

"Karna harus"

Lagi. Gefe tidak mendapatkan jawaban yang ia ingin kan. Memilih untuk menerima saja, Gefe kembali terdiam hanyut dalam pikiran nya. Lagi pula jika mereka memang ingin berbuat jahat kepadanya kenapa juga harus repot-repot merawat nya hingga sadar.

"Sebaik nya kau istirahat. Kami ada di luar jika kau butuh bantuan" ucap Al berniat memberikan ruang kepada Gefe. Ia mengkode Robert dengan lirikan matanya. Robert yang paham langsung saja melangkah kan kakinya untuk keluar. Al yang telah memastikan jika tidak ada yang salah dengan kondisi fisik Gefe ikut menyusul Robert untuk keluar dari ruangan yang sekarang tengah Gefe tempati.

Setelah kedua pria itu pergi. Gefe berusaha duduk kemudian mengamati ruangan dimana ia berada sekarang.

"Mereka beneran bukan orang jahat kan?"

Transmigrasi Salavoka (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang