10. Velodrome 4-6

32 11 2
                                    

"Keren juga baju basket lo." Anin melempar satu botol air mineral dingin pada Sarah.

Setelah berpindah tangan, isi botol tersebut langsung menjadi setengah dalam beberapa detik.

"Ada apa? Tumben banget mau ketemuan di sini." Napas Sarah masih terengah setelah menenggak minum.

Yang ditanya justru sibuk memandanginya, dengan angin yang melintas menerbangkan setiap helai rambut. Sarah menjetikkan jari di depannya—Anindira terus tersadar lalu menghela napas.

"Sekarang gue males banget olahraga, sampe gak mau keringetan gara-gara olahraga."

Sarah kembali menenggak minumannya. "Dampak lo buruk banget ya!" dia menunjuk lutut kiri milik Anindira.

Suasana siang itu cukup sejuk karena hari ini lumayan berangin, dengan eksistensi matahari sedang—langit di sana masih biru dengan sedikit awan. Desir dedaunan menandakan heningnya keadaan dua orang tersebut. Menatap kosong sesuatu di depan, benak itu berkecamuk.

"Lo harus ikut gue sore ini." Sarah bersuara.

"Kemana?"

"Voli."

"Gak bisa Rah—"

"Bisa, lo jangan jadiin kaki lo penghalang dong. Proses penyembuhan udah beres, itu bukan berarti lo gak bisa sama sekali olahraga."

Tawa itu memicincing, "Lagian jurusan gue gak ada kait mengait sama olahraga."

"Seenggaknya buat badan lo."

Anin terdiam setelahnya. Justru dengan kembali melakukan aktivitas itu mengingatkan sakit hatinya, tentang dia tidak bisa melanjutkan impian menjadi seorang atlet atau tenaga pengajar yang berkaitan dengan itu.

Sementara Sarah masih penasaran, apa yang membawa Anindira menemuinya. Padahal jarak fakultas mereka terbilang jauh. Jika dilihat dari raut wajahnya sangat jelas terpampang bahwa ada sesuatu di sana, apa Sastra Bahasa Indonesia sangat menyulitkannya?

"Jadi, apa yang membawa lo ke sini?"

"Mau liat cogan, banyak banget yang kece abis olahraga."

Sarah menatap malas lawan bicaranya, dia benar-benar mengedarkan pandangan melihat siapa saja yang baru keluar dari gor di depan mereka.

"Kalo gak ada yang mau di ceritain, gue masuk dulu mau beres-beres."

"Emang udah beres?"

"Free sih, tapi dipake aja waktunya."

Anin mengangguk paham, "Langsung pulang?"

"Iya, tungguin aja." Sarah beranjak meninggalkan Anin untuk berbenah.

Anin terus menatap punggung itu sampai menjauh kemudian menghilang dibalik pintu. Dia merasa déjà vu dengan apa yang barusan ia lihat. Jarsey dengan gedung serba guna—sudah lama ia tidak menggukan itu semua.

"An!"

Anindira langsung tertuju pada suara tersebut, setelah mengetahui asalnya dia melongo keheranan. Dengan jersey yang sama dengan Sarah, Mahen datang menenteng tas hitam miliknya. "Ngapain di sini?" tanya nya.

"Gue yang harusnya nanya itu kan?"

Dia terlihat berpikir, "Kayaknya lo lupa basket termasuk hobi gue."

"Ya.. enggak sih, cuma jersey lo—"

"Ayo!"

Sarah datang dengan baju berbeda dari sebelumnya, sekian detik kemudia dia sadar bahwa Anindira tidak sendiri di sana. Dilihat dari jersey yang dia pakai, "Lo yang tadi di dalem kan?" Sarah merasa tidak asing dengan laki-laki itu.

BE MY RAIN | SequelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang