8. Izin Mama

52 12 2
                                    

Waktu akan mengantarkan seseorang menuju kebaikan yang serius.

Lewat perantara dan orang-orang baik di sekitar kita.

Semalam dikabarkan kalau para kader-kader baru harus kumpul setelah Isya karena ada pengumuman terkait Mataf. Mataf artinya masa taaruf atau perkenalan. Kalau tingkat prodi biasanya disebut makrab. Ya begitulah istilah di IMRI, mataf, bukan makrab. Intinya akan ada hari keakraban untuk para kader-kader baru dan pimpinan kader IMRI.

Rupanya para PK (Pimpinan Kader) sudah merapatkan ini di luar sepengetahuan para kader-kader baru. Hilda sangat berbahagia atas kabar ini, sementara aku biasa saja. Sepulang dari rapat, sembari berjalan keluar kampus, Hilda berceloteh tentang Tirta. Tentang dua hari satu malam yang akan ia lalui bersama Tirta di hari keakraban kader.

"Masa lo nggak seneng sih Za? Ayolah, c'mon! Ini saatnya liburan!" ucap Hilda padaku.

"Nggak ada yang menarik perhatian gue."

"Kan ada Kak Alwi..."

"Apaan sih kok jadi dia..."

"Ya emang gitu kan, kalian lagi deket kan?"

"Gosip dari mana lo denger? Ngawur!"

"Tirta yang bilang. Alwi kayaknya naksir sama lo karena sebelum-sebelumnya dia nggak pernah iseng sama cewek separah sama lo."

"Mulut Tirta mah sama kayak Alwi. Jangan didenger!"

"Tapi gue percaya kalau Alwi naksir lo."

"Mana ada. Ngawur banget lo! Lagian kalau dia naksir gue ya udah bodo amat, gue enggak!"

"Yakin lo...?"

"Yakin lah! Butuh bukti apa lo?"

"Berani taruhan?"

"Nggak ah!"

"Tuh!"

"Bukan gitu! Gue ogah mempermainkan perasaan orang."

"Ya berarti lo sangat menjaga perasaan Alwi terhadap lo kan?"

"Astaga enggak! Taruhan apa emang? Gue terima!"

"Oke, kalau nantinya lo naksir beneran sama Alwi, gue nggak mau tahu lo harus berani jujur ke dia soal perasaan lo."

"Apaan... lo aja nggak berani ngungkapin perasaan lo ke Tirta, pake segala nyuruh-nyuruh gue."

"Nggak mau tahu, taruhan udah lo terima tadi!"

"Batal, batal!"

"Nggak bisa, lo udah deal."

"Ya udah. Oke! Gue nggak bakal naksir Alwi. Kayak nggak ada cowok bener lainnya aja dah."

Hilda hanya senyum-senyum mendengar perkataanku. Dasar menyebalkan! Hilda rupa-rupanya juga berbahaya seperti Tirta dan Alwi. Nyesel udah terima taruhannya. Bukannya gimana-gimana, bukannya aku bakal melanggar kata hatiku sendiri, tapi males saja sebenarnya terima taruhan tidak jelas seperti ini.

...

Sepulang dari rumah, aku berpikir bagaimana cara izin pada mama untuk ikut Mataf. Apakah mama mengizinkan anak putrinya ini menginap lagi seperti makrab prodi. Saat makrab prodi saja aku harus susah payah mendapatkan restu mama untuk ikut. Aku harus benar-benar meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa padaku.

Selepas membersihkan diri dan beres-beres kamar, aku menuju ruang tengah, menghampiri mama yang sedang menonton televisi, lalu duduk di sampingnya. Mama yang menyadari kehadiranku langsung buka suara seolah menangkap maksudku untuk bicara serius.

"Ada apa sayang?"

"Ma, izinin aku sekali lagi dong buat ikut Mataf. Acara kampus, nginep."

"Mataf itu apa?"

"Malam Taaruf. Sejenis makrab, cuma namanya beda aja. Mataf gitu. Acara IMRI. Di Desa Wisata Kelor Jogja."

"IMRI itu apa?" selidik Mama lebih dalam.

"Ikatan Mahasiswa Rohani Islam."

"Kamu belum cerita sama mama tentang perubahan kamu selama ini dengan pakai jilbab. Kamu tulus atau cuma main-main? Dan kamu juga sering pulang malam sekarang. Kamu ada kegiatan apa aja di kampus? Terus yang sering antar kamu pulang siapa?"

"Sebenarnya..." aku pun menceritakan maksudku ikut IMRI kepada mama dan segala seluk beluk IMRI dan kegiatan-kegiatannya yang membuatku pulang malam. Sampai menjelaskan juga maksud aku ikut Mataf karena Hilda. Termasuk jawaban tentang siapa yang mengantarkan aku pulang, tapi aku tidak menjelaskan secara rinci tentang Alwi. Aku hanya bilang dia seniorku. Itu saja.

"Jadi pada intinya kamu cuma pura-pura demi Hilda mendapatkan cinta Tirta? Kenapa? Kamu nggak betah di rumah sama mama? Kan udah nggak ada papa yang bakal mukul kamu lagi. Mama akan jagain kamu tanpa kamu harus pura-pura hijrah. Kalau mau hijrah ayok sama mama, yang tulus. Kita sama-sama."

"Bukannya gitu Ma. Tapi Hilda sahabat terbaik aku. Bukan pura-pura hijrah juga. Tapi aku mau buktiin sama seseorang kalau aku nggak main-main ikut IMRI. Kalau aku keluar, nanti aku diejek sama dia."

"Siapa yang berani ejek kamu karena kamu memilih jujur sama diri kamu sendiri ketimbang mengikuti mau dia?"

"Bukan gitu Ma... maksudnya tuh, aku nggak mau dilihat remeh sama orang-orang, termasuk dia."

"Dia siapa? Kalau dia memandang kamu remeh berarti dia nggak pantes jadi teman kamu. Tinggalin aja orang kayak gitu."

"Aduh Ma... bukan gitu maksudnya. Aku cuma mau buktiin kalau aku nggak bercanda dengan tujuanku. Mungkin aku akan serius hijrah, tapi lewat IMRI bareng Hilda."

"Mungkin? Berarti kamu nggak yakin? Tujuan Hilda ikut aja nggak tulus, kok kamu mau ikut-ikutan."

"Mama nggak percaya ya kalau waktu akan mengantarkan seseorang menuju kebaikan yang serius? Aku butuh perantara dan orang-orang baik di sekitarku Ma. Aku butuh lingkungan yang baik."

Mama mengusap puncak kepalaku dengan lembut sambil tersenyum.

"Mama sebenarnya seneng lihat kamu pakai jilbab terus ikut kegiatan-kegiatan positif di kampus, tapi kalau kamu nggak tulus, mending berhenti aja dan lanjut hijrah tanpa mereka. Mama bisa tuntun kamu."

"Azza sedang mencoba tulus Ma. Azza lagi belajar. Tapi untuk itu Azza butuh mereka."

"Sekarang jujur sama Mama, siapa yang nantangin kamu sampai kamu mau nunjukin ke dia kalau kamu nggak main-main?"

"Bukan nantangin Ma, tapi dia ngelihat Azza dari awal ikut itu nggak tulus, makanya dia bilang kalau nggak niat Azza disuruh pulang. Disitu Azza tersinggung dan pingin nunjukin ke dia kalau Azza nggak main-main."

"Siapa orangnya? Kasih tahu Mama."

"Alwi Ma."

"Cowok yang antar kamu pulang itu?"

"Iya Ma."

"Mama mau ketemu dulu sama dia. Baru Mama izinin kamu ikut Mataf."

"Hah? Kenapa harus dia, Ma? Kenapa nggak Hilda aja?"

"Mau ikut atau nggak? Itu pilihannya. Dah malam, Mama mau tidur."

Mama mematikan televisinya, lalu bergegas menuju kamar untuk tidur. Aku menelan salivaku. Kenapa harus Alwi? Gimana cara ngomongnya ke dia. Kan dia bukan siapa-siapaku. Masa aku harus mohon-mohon sama dia? Aduuuhh... nggak banget. Gimana ya? Kenapa harus Alwi sih yang ketemu Mama. Hilda harus tahu.

Malam ini juga aku cerita pada Hilda via chat WhatsApp agar tidak terdengar Mama. Hilda malah tertawa terbahak-bahak mengetahui ini. Malah katanya kayak sudah mau ketemu sama calon mertua saja. Sialan Hilda. Aku butuh pencerahan malah ditertawai. Bantuin kek, gimana kek. Tapi kata Hilda jalan keluarnya cuma satu. Ya benar-benar mempertemukan mama dengan Alwi.

-----------------------
Jangan lupa vote dan komentar ya! Makasih... :)

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang