6. Rencana Berhenti IMRI

50 10 0
                                    

Jangan menyerah untuk hijrah sebelum mencoba berjuang.

Ada diri sendiri yang pantas untuk diubah menjadi lebih baik.

"Nih surat keterangan aktif organisasinya udah jadi. Gue nggak sengaja ketemu Kak Imelda, sekrenya. Jadi langsung dikasih," kata Hilda setelah ia baru saja duduk membersamaiku di taman kampus.

Aku berterima kasih, kemudian aku memasukkan surat keterangan aktif organisasi itu ke dalam tas. Lalu mengambil minum di botol untuk kuteguk. Kemudian aku fokus lagi dengan buku bacaanku.

"Ciee... lagi pedekate ya sama Kak Alwi."

Fokusku ambyar seketika mendengar nama Alwi.

"Apaan sih, enggak."

"Kemarin pas gue ngaji sama Fatur, lo ngobrol banyak kan sama dia? Ngobrolin apa hayo... cerita dong cerita..."

"Apaan sih, nggak ada. Cuma ngobrol biasa."

"Gue dukung kok Za lo sama Alwi. Kayaknya dia naksir deh sama lo."

Aku terbahak mendengar ke-bullshit-an Hilda.

"Za, mana ada orang naksir secepet itu. Tahapnya pasti kagum dulu, baru naksir, sayang, terus cinta deh. Nggak masuk akal juga kalau tiba-tiba seorang Alwi naksir gue. Atas dasar alasan apa coba. Kan lo tahu respon dia gimana sama gue pas awal-awal kenal. Ada-ada aja lo."

"Ya udah, berarti perkataannya gue ganti kayaknya dia mulai kagum sama lo. Emangnya kenapa kalau respon awalnya nggak bagus, kan yang penting gimana sekarang."

"Nggak mungkin lah Hil. Secara logika, apa yang ngebuat dia kagum sama gue. Lo denger sendiri kan waktu itu gue sempet mau diusir sama dia dari IMRI."

"Tapi nyatanya lo juga bisa kan ngobrol banyak sama dia?"

"Ya iya sih, ya tapi kan beda posisinya. Ah nggak tahu lah! Gue nggak fokus ke situ Hil. Gue lagi sedih mikirin nyokap gue yang sakit. Gue pingin bolos, tapi jatah bolos gue udah full. Gue takut surat izin gue nggak di acc dosen, terus nggak bisa ikut ujian. Bingung gue."

"Lo sih, bolos juga nggak kira-kira. Ya gue bisa apa. Lo nggak mau tanya gitu ke gue rasanya diboncengin Tirta. Ternyata dia seru banget orangnya."

"Seru di mananya?"

"Ya candain gue gitu. Bikin baper deh! Gue jadi ge-er," jawab Hilda sembari membayangkan apa yang terjadi semalam.

"Hati-hati Hil. Jangan terlalu mudah baper sama manusia. Siapa tahu dia gitu cuma pingin bikin lo ketawa aja. Nggak dari hati. Barangkali juga dia gitu karena emang ramah sama semua orang. Menurut gue, jatuh cintalah sama orang yang nggak suka caper ke banyak orang."

"Jadi, lo ngatain Tirta main-main sama gue?" ketus Hilda.

"Ya nggak gitu. Gue Cuma bilang hati-hati. Emang salah?"

"Ya enggak sih... ya tapi gue seneng. Gue baper. Gue salah?"

"Ya enggak sih. Ya udah lah kalau lo mau seneng ya seneng aja. Tapi jangan terlalu berlebihan, ntar malah ilang loh. Gue yakin yang naksir Tirta itu banyak. Saingan lo berat Hil."

"Iya sih ya. Apa berarti gue harus berubah jadi kayak Gina?!" ucap Hilda.

"Hilda, Hilda, dengerin gue. Lo nggak perlu jadi orang lain. Jadilah diri lo sendiri. Gue yakin kok ada orang yang lebih baik yang tertarik sama lo, tapi nggak tepat waktunya buat ngomong sekarang. Lo harus sabar."

Seketika badan Hilda melemas dan air mukanya nampak sedih. Kemudian air mata menggenang di kelopak matanya.

"Kenapa sih Tirta susah banget didapetin hatinya. Padahal gue udah pakai baju tertutup, aktif organisasi buat bareng dia terus, tapi dia masih belum ada respon yang menunjukkan rasa sukanya ke gue."

"Dari awal lo udah salah masukin tujuan Hil. Tujuan lo masuk IMRI buat Tirta, bukan buat diri lo sendiri. Gue belajar dari seseorang bahwa pertama lo menentukan pilihan. Lo memilih untuk mengabdi di IMRI. Iya kan? Kedua, niat. Ketiga, ikhlas. Keempat, belajar. Lalu lakukan. Lo sendiri kan yang bilang ke gue kalau lo lupa akan suatu hal, gue harus ngingetin lo."

Kurangkul Hilda dan memeluknya yang terharu tipis.

"Gue mau berhenti ajalah ikut IMRI. Toh kita udah dapetin surat aktif organisasinya," ucap Hilda mantap. "Gue juga nggak mau maksa lo buat jadi orang lain di IMRI. Gue mau pacaran aja. Nerima cinta Niko."

"Loh, loh, loh. Kok kayak gitu sih. Gue nggak mau! Lo harus lanjut. Lo harus berusaha dulu."

"Kok malah jadi lo yang ngebet nerusin IMRI. Bukannya lo sendiri yang minta setelah dapat surat aktif terus berhenti. Gue cuma mikir Za, ya kalau Tirta suka sama orang lain, terus sia-sia dong usaha gue. Hijrah aja baru-baruan, gimana caranya dia naksir gue. Bener apa kata lo dulu."

"Udah-udah, nggak usah pesimis gitu. Tetep jadi diri lo yang sekarang. Lo nggak perlu tahu siapa orang yang akan mencintai lo nantinya. Tapi lo bakal jadi bahan ghibahan orang juga kalau lo tiba-tiba ganti style kayak yang dulu terus pacaran sana-sini. Itu lebih membahayakan harga diri lo Hil."

"Ya terus apa yang harus gue perjuangakan di IMRI? Nggak ada!"

"Diri lo sendiri! Gue yakin bakal ada orang yang ngelirik lo kok dari hal-hal baik. Bukan dari hal-hal buruk yang terpampang di bagian tubuh lo. Niko nggak baik buat lo, Hil. Lo mau hidup hedon lagi? Gue sih nggak mau temenan sama lo lagi kalau gaya hidup lo hedon. Bisa-bisa miskin gue.

Lo tau sendiri, gue broken home. Perekonomian gue menengah ke bawah. Gue udah hancur, tapi seseorang bilang sama gue untuk tinggal milih mau ke jalan yang benar atau salah. Gue mau hidup yang bener aja. Dengan segala kekurangan yang gue punya, tingkah laku gue juga, gue akan berusaha berbenah diri Hil."

"Lo jadi bijak begini belajar dari siapa sih Za? Alwi ya? Ngaku lo!"

Aku tertawa, "Apaan sih, enggaklah. Bukan dia!" Padahal benar apa kata Hilda. Alwi mengubah cara pandangku banget gara-gara omongannya kemarin.

"Halah, nggak mau ngaku aja kan lo! Ya udah, kita sama-sama aja Ya Za. Bantuin gue. Gue juga bantuin lo. Kita tetap sahabat dan kita tetep lanjut di IMRI!"

Lantas aku dan Hilda saling menautkan jari kelingking masing-masing tanda berjanji untuk tetap bertahan di IMRI, lalu kami saling berpeluk.

-----------------------
Jangan lupa vote dan komentar ya! Makasih... :)

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang