16. Rooftop

42 9 3
                                    

Akan kumasukkan setiap momen indah dalam list kenanganku yang manis.

Walau itu hanya sekadar ia ada di sisi untuk menemani dan berbicara denganku.

Aku harus meminta izin ke mama lagi untuk menginap di kampus satu malam. Semoga mama tidak aneh-aneh meminta Alwi menjagaku lagi. Sepertinya akan sulit dengan keadaanku yang sekarang sudah tidak sedekat awalnya aku dengan Alwi. Aku rasa dia benar-benar bermaksud menjaga jarak. Walau entah alasannya apa. Aku mendekati mama yang sedang sibuk membaca majalah di ruang tengah. Aku bergelayut manja di pundaknya.

"Ma, izinin Azza nginep satu malam di kampus ya. Mau ada acara pertanggungjawaban proker nih," kataku merayu.

"Acara apa lagi itu. Jelasin ke Mama," jawab mama.

Aku menjelaskan seperti apa yang para pimpinan kader jelaskan waktu di basecamp. Sekadar laporan pertanggungjawaban program kerja yang sudah dilaksanakan selama satu periode dan akan berganti periode. Untuk itu, kader periode selanjutnya harus tahu urutan acaranya.

"Nggak usah minta Alwi buat jagain aku ya. Kan cuma di kampus. Nggak jauh. Aku nggak mau dikira manja Ma sama dia," aku merayu lagi.

"Iya, ya udah. Mama izinin."

"Serius Ma!?" tanyaku sampai duduk tegak. "Nggak perlu Alwi kan?"

"Iya, nggak perlu. Mama percaya kamu kok."

"Makasih Ma!" aku mencium pipi Mama. "Ya udah, Azza ke kampus dulu ya..." izinku, lalu pamit Mama.

Sebenarnya aku ke kampus sore ini bukan karena ada jam kuliah. Aku cuma ingin memanjakan diri di rooftop kampus. Aku sedih? Ya, aku sedih. Aku masih sedih Alwi bersikap seolah tidak dekat denganku. Atau memang sejak awal kami tidak pernah dekat?

Aku tidak bilang Hilda kalau aku mau ke kampus, tapi paling-paling Hilda sudah nongkrong di basecamp IMRI. Aku naik ke lantai rooftop dengan menggunakan lift. Sampai di lantai 4, lift terbuka dan aku menatap sepasang mata yang kukenal memasuki lift, Alwi. Dia berdiri di sampingku. Dia mengenakan kemeja abu-abu yang digulung sebatas siku, celana jeans hitam, dan sepatu abu-abu. Seperti baru saja kuliah. Dia tidak memencet tombol ingin ke mana, tapi sepertinya juga ke atas karena dia menaiki lift ini.

"Mau ke mana Kak?" tanyaku tak benar-benar melihatnya.

"Rooftop," jawabnya singkat. "Kamu?"

"Sama."

"Nggak ngikutin aku kan?" candanya.

"Dih, ge-er! Orang yang di dalam lift aku duluan. Kak Alwi kalik yang ngikutin aku."

"Mungkin," katanya tanpa menatapku.

Lantai demi lantai terbuka dan tertutup hingga tinggal aku dan Alwi berdua. Saat lantai rooftop terbuka, aku buru-buru keluar mendahului Alwi.

"Azza!" panggil Alwi yang membuatku berhenti berjalan. Aku menoleh. Ngapain lagi sih dia. Aku menepikan diri di tepian rooftop sambil bertumpu tangan pada tembok pembatas rooftop. Alwi mengikuti.

"Marah?" tanyanya menatap ke arahku.

"Marah untuk apa?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Untuk aku yang nggak membalas pesanmu."

Kupikir dia takut menjawab itu, lalu menghindar dariku. Tapi justru dia malah menyinggungnya sendiri. Aku menghembuskan napas perlahan.

"Cuma pesan nggak penting," kataku, masih tidak mau menatapnya.

"Maaf ya," katanya, tapi tidak kubalas. Dia juga tidak menjelaskan alasannya. "Aku tahu, kamu ke rooftop kalau kamu lagi sedih."

"Pasti tahu dari Hilda. Kepoin aku kan."

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang