3. Mampir Basecamp

80 11 10
                                    

Tidak menyukai sewajarnya saja, jangan berlebihan.

Bisa-bisa jadi berlawanan.

Di waktu luang ini, aku menyempatkan diri pergi ke mall bersama Hilda untuk membeli baju-baju panjang atau gamis, rok panjang, kaus kaki, dan kerudung instan untuk kukekanakan selama perkuliahan ke depan. Akan kutunjukkan kesesuaian diriku dalam organisasi tersebut. Tak perlu mahal, aku tahu apa yang kubutuhkan dalam menyesuaikan diri. Pakaian panjang yang tidak menerawang dan menutupi aurat sudah cukup. Sederhana.

Aku dan Hilda sama-sama memulai lembaran baru dengan fashion menutup aurat. Hilda memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan konsisten ketika style fashion-ku mulai berubah.

"Jangan hina gue, please. Dukung gue. Gue tahu ini pasti aneh," kataku menebak isi pikiran Hilda yang mengamatiku seperti itu.

"Ngaca dong, gilak! Cakep banget lo parah!" puji Hilda heboh jawabnya dalam perjalanan kami menuju kelas.

"Gue tahu itu sindiran," kataku masih tak percaya.

"Dibilang nggak percaya. Habis ini masuk kelas lo pasti dilihatin satu kelas. Lo cakepan begini kalik, Za."

"Tetep cakepan lo, Hil."

"Ok, makasih. Gitu loh Za kalau dipuji orang."

"Iya, iya. Makasih Hildaaa..." kataku semanis mungkin.

"By the way lo tiba-tiba mau pakai pakaian begini bukan gara-gara omongan Kak Alwi kemarin kan? Gue denger loh..."

Aku tertawa sinis.

"Jelas bukan lah! Nggak banget, ngapain! Gue berubah buat nunjukin kalau alasan gue waktu open house nggak cuma omong kosong! Gue nggak terima aja dia ngatain gue main-main."

"Hla tapi kan emang gitu kenyataan lo kan. Nggak niat dan cuma sekadar nemenin gue."

"Ya iya sih... tapi gue kesel dengernya dong. Seolah-olah dia sekeren itu."

"Menurut gue sih ya, Kak Alwi itu bermaksud baik sama lo dengan nasihatin lo. Meskipun sedikit menyinggung. Tapi ya... over all, itu ada baiknya buat lo."

"Terserahlah apa maksud dia, intinya gue nggak suka sama cara ngomongnya yang nyebelin banget itu!"

Hilda hanya tertawa melihat eskpresiku yang begitu kesal dan terusik dengan sikap Alwi kepadaku.

"Hati-hati... jangan benci, ntar suka loh baru tahu rasa."

"Ogah! Gue mau fokus sama diri gue sendiri."

Hilda hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk, entah apa yang dia pikirkan. Mungkin Hilda tak yakin kalau sikap Alwi yang menyebalkan itu hanya akan berhenti sampai di situ. Feeling-ku juga seperti itu. Sesampainya kami di kelas, kami berdua menjadi pusat perhatian seisi kelas karena style fashion kami berubah 180 derajat dari hari kemarin.

"Taubat nasuha lu pada?" tanya Airil, teman lelakiku di kelas yang paling berisik. Perkatannya membuat hampir seluruh kelas tertawa berjamaah,

"Urusan lu apa kampret!" kataku ketus, sementara Airil hanya tertawa seolah tak yakin aku akan berubah.

"Galak amat Kak, tanya doang keles. Jadi nggak yakin gue wkwk!"

"Bacot!" balasku, masih ketus.

Kembali sesisi kelas menertawai. Lelaki itu tahu betul kalau aku selalu nyablak dan songong di kelas. Hilda mengisyaratkan padaku dengan tatapannya untuk tidak menggubris Airil dan orang lain dan memintaku untuk duduk di kursi dekat Gina.

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang