13. Jangan Baper!

48 11 12
                                    

Kepercayaan itu datang ketika kamu sudah dibolehkan untuk bertemu keluarganya.

Itu semua terjadi karena kamu terpilih.

Tadinya aku diajak Hilda ke toko buku, tapi aku menolak halus karena hari ini aku sudah janji dengan Alwi tentang permintaannya saat Mataf, yaitu membelikan kado untuk perempuan entah siapa. Namun, aku tidak bilang Hilda kalau aku ada janji dengan Alwi. Aku hanya bilang tidak bisa karena ada janji dengan orang.

Hilda mendesak untuk tahu siapa orang itu? Cewek atau cowok? Aku terpaksa bilang cowok. Tapi Hilda lebih curiga lagi dan menebak-nebak bahwa orang itu Alwi. Sebenarnya betul, tapi aku mengelak bukan berkali-kali. Tapi Hilda tidak percaya dan terpaksa langsung kutinggal saja.

Alwi sudah menungguku di parkiran katanya lewat sebuah telepon. Bayangkan betapa tidak ada otaknya Alwi bahwa aku disuruh mencarinya di parkiran yang seluas samudera. Aku sampai ngomel-ngomel di telepon.

"Sebelah kiri, sebelah mana? Nggak ada Kak!"

"Deket pohon. Masa nggak lihat!"

"Enaknya ngiup. Aku panas-panasan ini cari kamu. Pohon di sini banyak Kak, kode yang sangat tidak membantu apapun! Aku pakai gamis merah marun dan kerudung cokelat langsungan. Lambaikan tangan kek apa kek kalau lihat aku. Capek tauk carinya!"

"AZZA!" panggil seseorang yang bukan dari telepon, Alwi. Oke, ketemu. Aku segera bergegas menghampirinya.

Aku ngomel-ngomel padanya gara-gara bisa-bisanya dia enak-enakan menepi di bawah pohon sementara aku sampai berkeringat mencarinya ke sana kemari, panas! Alwi malah hanya bilang ya, ya, ya sambil mengambil tisu di tasnya dasar menyebalkan! Suara omelanku hilang perlahan saat Alwi mengusap keringat di dahiku dengan tisu itu. Aku membeku. Aku menelan ludah. Jantungku berdebar lebih hebat dari biasanya. Apa lagi ini? Aku benar-benar bungkam.

"Bawel, nih lap sendiri!" katanya memberikan tisu itu kepadaku.

Aku jadi kikuk sambil mengusap keringatku sendiri dengan tisu tersebut. Lagi-lagi Alwi memakaikan helm cadangannya di kepalaku, lalu aku menepis tangannya agar tidak mengkaitkan helmku. Kami saling tatap sejenak, lalu buru-buru aku berseru.

"Aku bisa sendiri!"

Alwi menurunkan tangannya, lalu mengedikkan kedua bahunya cuek. Dasar aneh, nyebelin. Ngapain sih? Dia lalu menaiki motornya dan mengkodeku untuk membonceng segera. Aku di bawa Alwi ke toko perhiasan dan pernak-pernik. Buset! Dia mau kasih kado gebetan atau pacar saja sampai dibelikan perhiasan. Modalnya gede banget. Dasar boros! Aku mencoba membuka pengkait helmku, tapi aneh sekali kenapa tidak bisa. Kucoba berulang-ulang, masih saja tidak bisa.

"Eh, ini gimana sih!?" protesku pada Alwi. "Nggak bisa dicopot."

"Pakai aja helmnya sampai dalam," celetuk Alwi, cuek.

"Gundulmu! Eh, tolong woy!"

Alwi mengusir tanganku, lalu mencoba membuka pengkait helmnya, langsung bisa. Sialan, aneh banget.

"Kok langsung bisa," kataku, cengo.

"Alasan aja kan biar dibukain," katanya pede.

"Ih, najis!" kataku sambil menaruh helmnya di jok dengan emosi.

"Aku mau beli perhiasan gelang buat cewek. Pilihin dong yang emas. Aku nggak ngerti mana yang cantik dan cocok" kata Alwi sambil menunjuk deretan gelang emas di depanku. "Pilih aja sesuai seleramu."

"Kan nggak semua cewek seleranya sama bambang..." kataku.

"Ya udahlah nggak apa-apa pilihin aja."

"Buat siapa sih? Gebetan? Pacar?"

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang