5. Terbuka

64 11 7
                                    

Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh rahim siapa dan keluarga yang seperti apa,

tapi kita bisa memilih untuk hidup dengan benar atau salah.

Aku, Hilda, dan beberapa kader baru yang kurang dari 10 sudah sangat dikenali sekali sebagai mahasiswa aktif organisasi IMRI. Bolak-balik basecamp cuma buat nongkrong, ngobrol, diskusi. Benar-benar sesering itu sampai aku hafal semua nama pimpinan kader yang aktif. Aku memang belum bisa hidup selayaknya Hilda yang lemah lembut tutur kata. Aku masih keceplosan kata-kata kasar dan masih berbaur dengan laki-laki untuk main game. Tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk tidak bersentuhan dengan mereka. Meskipun belum benar-benar tangan ini terkontrol.

Setiap kajian-kajian dan tahsinul Quran, aku dan Hilda pasti datang. Dalam kajian-kajian aku dan Hilda membantu persiapan dan berlatih memberanikan diri untuk mengisi acara. Sedangkan saat tahsinul Quran, kami menjadi murid yang akan diberi didikan oleh senior-senior yang makhrajul hurufnya baik. Salah satunya tentu Alwi, Fatur, Salwa, Imelda. Sementara pimpinan kader yang lain mengikuti menjadi murid mereka. Tapi yang diutamakan adalah kader baru.

Pelaksanaanya antre. Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Tapi kalau jatah laki-laki habis, maka perempuan diperbolehkan antre di bagian laki-laki. Untungnya aku tidak kedapatan Alwi, tapi Hilda kedapatan Fatur. Aku belum mengenal betul lelaki bernama Fatur itu. Tapi kelihatannya sejak awal pertemuan kader baru, Fatur melirik Hilda terus. Apalagi saat lelaki itu kedapatan bagian mengajari Hilda, lelaki itu nampak grogi.

"Fokus woy!" ucap Alwi sembari memukul kepala Fatur dengan pena, aku tertawa melihat muka Fatur yang seperti dengan sekuat tenaga menjaga pandangan. Hilda tersenyum melihatnya dan tambah ambyarlah si Fatur.

"Kamu ajalah Wi yang ngajarin," ucap Fatur.

"La kenapa? Hafiz 5 juz kok lempar tugas. Malu dong Pak."

"Hla wong kamu ganggu aku terus og"

"La sopo sing ganggu? Aku gur ngekon koe fokus kok." Balas Alwi dengan bahasa Jawa ngoko yang artinya, "La siapa yang ganggu? Aku cuma nyuruh kamu fokus kok."

Fatur bisa mengerti bahasa Jawa karena dia asli Semarang. Hilda tidak tahu artinya karena dia orang sunda, jadi biar kupendam saja candaan itu untukku, Fatur, dan Alwi. Akhirnya aku dan Alwi menjauhi mereka agar Fatur tidak grogi, sementara aku menunggu Hilda selesai. Sebagian PK dan kader juga masih terkumpul di sana-sini untuk saling mengobrol. Saat aku tengah duduk sendiri dan memilih diam, Alwi mendekat, mengajak bicara.

"Hai bocah tengil," sapanya menyebalkan.

Aku menabok bahunya spontan.

"Bukan muhrim! Nabok-nabok."

"Maaf-maaf, kebiasaan ahelah. Makanya jangan nyebelin!"

"Kamu Jogjanya mana Za?"

"Aku Umbulharjo Kak. Kak Alwi mana?"

"Mmm aku Sleman. Sepertinya nggak terlalu jauh, tapi kok nggak pernah ketemu ya."

Aku tertawa, "Sekarang ketemu kan?" Alwi mengangguk, lalu aku meneruskan percakapanku. "Saya nomaden Kak. Lahir di Jogja sekolah SD, SMP, SMA di Jakarta, kuliah di Jogja lagi sambil menemani Ibu. Ayah di Jakarta. Orang tua saya pisah Kak."

Alwi terdiam sejenak sambil mengangguk-angguk yang mungkin paham kalau perpisahan yang kumaksud adalah broken home.

"Sekarang saya cuma tinggal berdua dengan ibu di Jogja," jelasku.

"Hidup memang rumit ya Za? Kita nggak bisa memilih dilahirkan oleh rahim siapa dan keluarga yang seperti apa. Tapi kita bisa memilih untuk hidup dengan benar atau salah. Aku bahkan kehilangan kedua orang tuaku."

Bismillah Denganmu ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang