prolog

163 14 1
                                    

Sebuah cerita berbentuk kalimat penuh kiasan terukir indah di antara buku buku yang terpajang rapi berjejeran, sesekali berserakan tak beraturan.

Langkahnya terhenti, seakan sebuah magnet yang menariknya ke suatu fokus, tangan lentiknya terulur mendekat mengambil sebuah benda persegi panjang yang kerap di sebut buku.

Mata indahnya mengerjap pelan, menyapu tatapan ke arah sampul yang menarik, amat sangat menarik hingga matanya sedikit berbinar.

EUNOIA, tulisan berwarna putih tersemat di sampul hitam itu, tulisan indah yang hanya sebagian orang mengetahui maknanya.

Lembar pertama tersemat sebuah nama, indah sangat indah nama itu, membuat siapa saja merasakan kehangatan saat menyebutnya, ARUNIKA.

Langkah nya menjauh mencari tempat yang nyaman untuk dirinya singgah sembari membaca beberapa lembar tulisan di buku itu.

..... oOo.....

Aku..., seorang burung yang terbang lalu hinggap di suatu dahan untuk melepas lelah setelah terbang dari arah timur.

Suara angin masih ku dengar kala itu, sahutan dedaunan yang berjatuhan turut membuat suasana semakin damai.

Hingga suara degungan keras itu terdengar, menembus jantung lalu membuatku terbang.

Jauh, amat sangat jauh, tak pernah aku terbang sejauh ini. Sampai... Aku tak kembali lagi.

. . .

"Aku tak paham dengan kalimat kalimat ini, apakah aku menjadi bodoh setelah meminum ramuan yang di buatkan ibuk padaku", ucap seorang gadis dengan bodohnya menggumamkan seseorang yang ia panggil 'ibuk'.

" Apa jangan jangan ibuk meracuni ku obat agar menjadi bodoh? ", beo nya lagi semakin tak waras.

" Non, kenapa? ", ucap seseorang menepuk bahu gadis itu saat tau sang empu bergumam tak jelas.

" E... Eh?, ibuk, hehe gapapa, aku hanya sedang membaca buku", ucapnya gelagapan saat melihat wanita paru baya yang sedari tadi ia gumamkan.

'Ibuk', panggilan gadis ayu bernama Arunika itu pada perempuan paru baya yang mengabdi di rumahnya sejak ia kecil.

Arunika sendiri kini merupakan gadis belia yang beranjak 17 tahun. Kulit putih bersih, mata bulat, pipi sedikit tembem merupakan gambaran Arunika.

"Ya sudah non, ibuk mau mengambil sampah di dapur dulu untuk di buang ke depan", ucapnya segara di angguki Aruni.

Setelah perempuan paru baya itu kini hilang dari pandangan mata nya, Aruni kembali terfokus pada buku yang ia pegang.

Ia tersenyum sendiri melihat namanya terukir indah di halaman pertama buku itu. Ya alasan dirinya tertarik akan buku itu karena namanya tertulis di sana.

Ia menaruh buku itu di meja depan jendela, tempat di mana dirinya biasa melihat matahari terbit dari timur.

Arunika memiliki arti fajar atau matahari terbit. Mungkin itu alasan Aruni selalu menyukai mentari pagi.

.... oOo....

Langit membantunya melangkah jauh mengikuti bulan, jauh sangat jauh membuatnya terjebak dalam malam yang suram.

Senyumnya sirna terbawa angin dingin yang terus menyapa, tubuh mungilnya sesekali meringis kedinginan.

Terjebak dalam kegelapan, sendirian, membuatnya tak kunjung mendapat keberanian.

. . .

Aruni kali ini berjalan sendirian, berangkat ke sekolah tanpa di antar siapapun membuatnya kadang ingin mengeluh, namun tak urung ia lakukan, karena hasilnya akan tetap sama.

Tak ada yang peduli, tak ada yang akan melihatnya. Ah memikirkan hidupnya membuat Aruni merasa muak.

Jika ada pertanyaan di mana kedua orang tua Aruni, mungkin itu salah satu pertanyaan yang hingga kini masih di benci Aruni.

Keduanya sibuk dengan hidup masing masing, Aruni rasanya ingin berteriak kepada kedua pasang manusia yang membuatnya terlahir ke dunia, berteriak keras dan berkata mereka bukan siapa siapa.

Hanya saja ia tak seberani itu, ia hanyalah anak tak di perdulikan, di tinggal sendiri di rumah lumayan besar peninggalan neneknya bukan lah suatu hal yang ia inginkan.

Hidup berdua hanya dengan "ibuk" Pembantunya dari kecil yang masih setia bersamanya hingga kini.

Ingatannya masih kental tak melupakan kejadian beberapa tahun silam, di saat kedua orang tuanya memilih pergi masing masing tanpa ada yang peduli dengan Arunika yang masih berusia 14 tahun.

Ah terlalu suram di ingat...

Kembali dengan Aruni, kini dirinya sudah berada di sekolahan, tempat ia menimba ilmu, berbekal beasiswa ia dapat sekolah di sini.

Ah bukan, orang tua Aruni bukanlah orang yang tidak mampu, mereka mampu hanya untuk membiayai sekolah Aruni, hanya saja Aruni menolak segala bantuan kedua orang tuanya. Ia terlalu muak dengan kedua manusia itu.

Arunika selalu berusaha sendirian, jatuh sendirian, bahkan bangkit sendirian. Ia terlalu mandiri dalam semua hal, ah tidak juga, dia di paksa sendiri, bukan mandiri.

ARUNIKA fdrfzaa |END|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang