"Eh, untuk apa?"
Aku terkejut mendengarnya. Tiba-tiba dia mengajakku pulang ke rumahnya, membuatku bingung.
"Sebenarnya aku berniat mengajakmu ... mungkin kau juga ingin berkunjung ke rumahku?" ungkapnya dengan hati-hati. "Sepertinya tadi terdengar memaksa, jadi ... itu keputusanmu."
Megumi terlihat bingung dengan ucapannya yang tidak jelas. Tapi aku mengerti kemana arahnya.
"Oh, jadi kau mengajakku untuk berkunjung ke rumahmu? Tentu saja aku mau!" ungkapku senang.
"Be-benarkah?" Megumi terlihat sumringah, lalu ia berdeham pelan. "Kalau begitu baguslah."
Ini tidak terasa seperti Megumi yang aku kenal sebelumnya. Dia tak acuh, tak peduli, dantak mau tahu. Tapi sekarang, rasanya ... dia berubah.
"Ya! Ayo ke rumahmu."
──── ◉ ────
Sesampainya di rumah Megumi, aku duduk di atas karpet dengan meja yang lebar terletak di tengah-tengah karpet. Rumah keluarga Fushiguro terlihat luas dengan fondasi kayu dan bambu, rumah tradisional ala Jepang pada umumnya. Kulihat pekarangan rumahnya terlihat indah dihiasi beraneka ragam bunga, Megumi bilang bahwa kakak perempuannya menyukai bunga, jadi ia menanamnya di beberapa tempat.
"[Surname]-san, mau minum apa?" tanya Megumi.
"Sebenarnya aku ingin jus mangga," sahutku yang tengah menikmati acara televisi.
"Baiklah, tunggu sebentar."
Megumi beranjak pergi, mungkin hendak ke dapur. Beberapa saat kemudian, aku sadar dengan ucapanku. Apakah pria itu benar-benar akan membuat jus mangga untukku? Astaga, padahal niatku hanya bercanda....
Tak butuh waktu lama, suara blender terdengar. Aku segera pergi menuju sumber suara. Mengintip dari dinding, terlihat Megumi berdiri di tempat, memegangi blender yang sedang berputar mengaduk-aduk buah mangga hingga mencair. Kuyakin itu mangga karena kulit mangga dan pisau terlihat di atas meja.
"Uh ... kurasa air putih saja cukup," ujarku pelan.
Blender dimatikan, Megumi menatapku.
"Tidak apa-apa, aku sudah terlanjur membuatnya."
Dia menuangkan jus mangga pada dua gelas kosong. Aku berjalan menghampirinya.
"Semua itu untukku?" pelukku kaget.
"Tentu saja tidak, aku juga mau jus mangga."
"Oh– maaf merepotkanmu...."
"Tidak masalah. Kau tidak membuatku repot sama sekali. Justru aku senang kau datang," ujarnya dan menyodorkan segelas jus mangga padaku, lalu meminum jus mangga miliknya.
"Begitukah? Kalau begitu, terimakasih!" sahutku. Kuminum jus mangga itu, rasanya menyegarkan.
Megumi segera menghabiskan jusnya. Ia lalu memakai celemek dan memakainya. Setelah itu, ia berjalan menuju kulkas, menatap isinya sambil terlihat menimbang-nimbang sesuatu, lalu mengeluarkan beberapa jenis sayur-mayur dan mengambil daging dari freezer kulkas. Aku yang hanya diam melihatnya sibuk sendiri jadi merasa tidak berguna. Segera kuhabiskan jus dan menghampirinya.
"Apa kau hendak memasak?"
"Ya, aku ingin membuat makan malam. Jangan pulang dulu, [Surname]-san. Ayo makan malam bersama kami. Kakakku ingin bertemu denganmu."
"Eh?! Bagaimana bisa kakakmu ...," aku kaget setengah mati. Jangan bilang Megumi bercerita tentangku pada kakaknya? Duh, aku jadi gugup sekarang.
"Kemarin dia benar-benar menungguku dan bertanya, kubilang aku mengantar [Surname]-san kerumahnya karena kami sekelas 12-B pulang jam delapan malam. Lalu aku mampir di rumah [Surname]-san dan kami tak melakukan apapun selain bertukar cerita," jelas Megumi. "Begitulah."
"Oh ... aku sudah membuat kakakmu khawatir. Lebih baik aku meminta maaf padanya nanti," lirihku.
Megumi tersenyum tipis. "Bicara saja dengan kakakku nanti."
"Yah, memang itu yang akan kulakukan." Kulihat Megumi yang kini mengiris bawang daun, membuatku ingin melakukan sesuatu. Lalu, kulihat piring dan peralatan kotor yang ada di wastafel. "Kalau begitu, aku bantu cuci piring, ya?" ujarku semangat.
"Tidak—"
"Kubantu, ya?" selaku dengan paksaan.
Megumi menghela nafas.
"Lakukan sesukamu."[]
──── ◉ ────
Jangan mikir yang aneh-aneh yaa hehe😂 masih belum saatnya🤭
Jangan lupa vote yaa (。・ω・。)ノ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Hesitate
FanfictionFushiguro Megumi × Readers 15+ ──── ◉ ──── Pria yang kunantikan adalah pria tak acuh, tak peduli dan tak mau tahu urusan orang lain. Sejak awal pertama kami bertemu, kami mulai sering bersama. Tugas kelompok menjadi takdir yang mengikat kami, walau...