03

262 42 0
                                    

Hingga menjelang malam, seluruh murid kelas 12-B tak ada yang pulang duluan. Mereka sibuk mengotak-atik hologram masing-masing karena jaringan internet begitu lancar. Ada yang sibuk bermain game, chatting-an sama doi, apalagi video call orang tua yang ditinggal merantau. Aku sibuk melihat-lihat berbagai alat musik yang tersedia secara online, sedangkan kulihat Megumi fokus membaca sesuatu.

Karena penasaran, aku mendekatinya.

"Apa yang sedang kau baca?"

Megumi sedikit terkejut mendengar suaraku yang tepat disampingnya.

"Oh ... ini, aku sedang membaca beberapa artikel masakan rumahan. Mungkin ada baiknya aku mengganti menu makan malam yang itu-itu saja," jawabnya tanpa ragu.

"Astaga, kau suka memasak?"

"Uh ... apakah itu hal yang aneh menurutmu?" Megumi mulai ragu.

"Tidak! Jangan salah paham," ujarku. "Justru itu hal yang bagus. Kau menyadarkanku, Megumi-kun. Jujur saja, selama ini kufikir cowok adalah pemalas bahkan hanya untuk masak air saja."

"Ah, itu karena kebiasaan. Aku mencoba untuk terus membiasakan diri membuat makan malam karena kakakku selalu pulang malam, dia pasti sangat lelah, jadi aku ingin membantunya." Megumi kembali menatap layar hologram dan lanjut scrolling.

"Wah, kau adik yang gentleman, Megumi-kun," ujarku diiringi tawa kecil dan menepuk sebelah pundaknya sekilas sebelum akhirnya kembali duduk.

Aku kembali melihat-lihat beranda layar, tak lama kemudian Megumi tiba-tiba meyahut.

"Memangnya apa yang kau tahu tentang gentleman?"

"Tentu saja, itu berarti 'pria sejati' bukan?"

Megumi lalu terkekeh, "terserahmu saja."

Aku jadi agak bingung untuk sesaat. Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah? Ah, persetan. Lebih baik aku kembali dengan urusanku yang belum selesai. Tapi, di luar sana sudah gelap. Haruskah aku pulang sekarang? Melihat sekitar, orang-orang masih duduk di tempatnya masing-masing.

Sedangkan jam di layar sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sepertinya kami sudah mulai kecanduan teknologi. Aku jadi bingung sekarang. Lalu, di sela-sela kebingunganku, tiba-tiba satu sekolah mati listrik. Semuanya menjerit kaget ketika sekeliling kami menjadi begitu gelap. Para cewek mulai ricuh dan bahkan ada yang menangis.

Seberkas cahaya dari lampu senter terlihat dari seseorang yang berdiri di ambang pintu.

"Gunakan senter dari ponsel kalian dan segeralah pulang, murid-murid bodoh."

Suara itu sungguh membuat kami bergidik ngeri.

──── ◉ ────

Setelah kepergok Nanami-sensei, kau segera keluar dari area sekolah. Di depan gerbang, Megumi tiba-tiba menghampiriku.

"[Surname]-san, ayo pulang bersama," ujarnya.

"Tentu. Lagipula ini sudah malam," jawabku dan tertawa getir.

"Aku masih belum tahu dimana rumahmu. Em ... mungkin suatu saat nanti aku perlu menghubungimu ketik kau tidak bisa dihubungi lewat ponsel."

"Hoo, apakah sepenting itu?"

"Yah ... kurasa begitu."

Ada apa ini? Megumi terlihat berbeda. Dia membuatku sedikit malu.

"Ahaha, kalau begitu ayo ke rumahku!" ujarku lalu memimpin jalan.

Megumi berjalan agak berjarak di belakangku. Sampai di depan rumahku pun, dia masih berdiri disana. Kini, dihadapan kami terpampang sebuah bagunan bergaya Eropa dan terlihat tua. Aku dan orangtuaku membelinya setelah rumah kami runtuh akibat gempa.

"Kau tinggal disini?" tanya Megumi.

"Ya. Terlihat mengerikan bukan? Terus terang, aku sendiri bahkan bergidik ngeri setiap kali melihat tampilan luarnya. Tapi ya ... kau tahu, karena terbiasa, jadi tidak lagi," ujarku ragu. "Mungkin, sesekali."

"Memang," sahutnya. " Tapi ... kau tahu, bukankah bangunan ini terlihat indah? Sangat jarang aku melihat rumah klasik yang terbangun di Jepang."

Aku tertegun. Apalagi, melihat Megumi yang mengatakannya sambil tersenyum seperti itu, adalah hal yang jarang.

"Kalau begitu, mau mampir sebentar?"[]

──── ◉ ────

Mang Gumi mau ngapain nih, mau lamar aku kah?👉👈

Jangan lupa vote yaa(。・ω・。)ノ♡

Don't HesitateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang