Bagi Lilith Green, musim gugur merupakan salah satu hal terbaik dalam hidupnya. Daun maple berubah warna dari hijau menjadi merah kecoklatan. Menjadikan sepanjang jalan Gardenia bernuansa jingga akibat banyaknya daun yang gugur. Terlebih saat hari menjelang senja, langit seolah menyatu dengan tanah.
Seandainya ia dapat menghabiskan seluruh musim di Mythmoor, desa tempat neneknya tinggal. Di mana ia bisa menikmati pemandangan saat burung-burung bermigrasi secara serempak. Lilith akan menganggap hidupnya sudah sempurna.
Jika teman-temannya tidak begitu menyukai udara di musim gugur, maka Lilith kebalikannya. Ia teramat menantikan cuaca musim gugur. Udara tak lagi sepanas bulan Agustus lalu. Angin pun mulai berembus ringan dengan hawa sejuk. Membuatnya betah berlama-lama duduk di kursi yang berada di halaman depan rumah. Seperti saat ini.
Senyum cerah tergambar di wajah oval kecil itu saat melihat kedua sahabatnya membuka gerbang. Lilith merapatkan jaket saat angin tiba-tiba berembus kencang. Ia melambaikan tangan, mengajak Victoria dan Agatha untuk bergabung dengannya.
"Sudah berapa lama kau berada di luar?" tanya Victoria begitu melepaskan pelukan Lilith. Ia bisa merasakan kedua pipi sahabatnya sudah sedingin es. Padahal sudah berkali-kali ia melarang Lilith untuk tinggal di luar dalam waktu lama.
"Baru beberapa jam." Lilith bisa melihat Samuel dan Jonathan menyusul mereka. Untung saja tadi ia sempat mengeluarkan dua bangku panjang dari teras. Masing-masing ditempati Agatha-Jonathan dan Victoria-Samuel.
"Sudahlah, percuma kau memarahinya. Dia tidak akan mendengarkanmu," ujar Samuel sembari memeluk pinggang Victoria. Dia tahu sedetik lagi kekasihnya itu akan menyemburkan puluhan nasehat usang yang sudah mereka hapal di luar kepala.
Lilith tertawa melihat reaksi Victoria yang begitu kesal dengan ucapan kekasihnya. "Dengarkan ucapan kekasihmu, Vic."
Victoria mendengkus kesal. Namun, tak jadi melanjutkan ceramah. Toh Lilith tidak akan memasukkan nasehatnya ke otak. Ia memilih untuk membuka bahasan yang merupakan alasan mereka berlima berkumpul saat ini. "Jadi bagaimana?"
"Tentu saja jadi," sambar Agatha cepat.
"Kalian serius?" Lilith masih tidak yakin dengan usul Agatha minggu lalu. Pulau Vrykolakas bukan sekadar jauh, tapi juga terpencil. Bukan lokasi favorit untuk berlibur. Bahkan Lilith sanksi ada wisatawan yang tahu akan adanya pulau tersebut.
"Kau masih berharap kita akan berlibur ke Mythmoor?" Agatha memutar bola mata bosan.
"Kenapa?" Lilith balik bertanya tidak acuh. Ia tak rela jika desa tempat tinggal nenek kesayangannya dipandang sebelah mata. Bukankah mereka selalu disambut baik. Dan menurut Lilith, Mythmoor cukup asyik untuk dijadikan destinasi wisata.
Bayangkan saja, buat apa jauh-jauh ke pulau antah-berantah. Jika sekadar menikmati musim gugur, tentu di Newgarde pun sudah cukup. Hanya perlu menyiapkan selembar tikar piknik lalu menggelarnya di sepanjang jalan Gardenia. Pemandangan di sana jelas tak ada yang dapat mengalahkan. Gratis.
Atau Mythmoor pun tak mengapa. Mereka hanya perlu mengeluarkan biaya bensin yang tak seberapa. Makan dan tempat tinggal jelas ditanggung oleh nenek Lilith. Jadi buat apa repot menyewa vila. Belum lagi perjalanan yang harus ditempuh tak cukup satu dua jam. Mereka harus menyeberangi lautan dengan menggunakan kapal feri.
Jonathan, kekasih Agatha, berdecak. "Aku yang baru tiga tahun mengenalmu saja sudah kauajak ke desa itu sebanyak empat kali. Tak bisakah kau biarkan kami menikmati pemandangan lain?"
Agatha tergelak. "Lagipula apa yang bisa kita lakukan di rumah nenekmu? Apa kaupikir kita akan menuruti perintah nenekmu untuk mengetuk pintu semua tetangganya? Jangan harap aku mau berteriak 'Trick or Treat' sambil menunggu mereka membagikan permen coklat. Usia kita sudah terlalu uzur."
"Apa tidak ada lokasi lain?" Victoria tampak sepemikiran dengan Lilith. Pada dasarnya gadis itu penakut. Sekadar pulang malam sendirian dari kampus saja ia tak berani. Apalagi berwisata seminggu penuh di pulau terpencil.
"Apa kau berharap kita merayakan halloween di Arrowhelm? Aku tidak masalah. Di sana kita bisa berjudi sepuasnya sambil menikmati gadis-gadis penari telanjang," goda Samuel yang dibalas pelototan tajam dari gadis di pelukannya.
"Ah, aku setuju dengan usulmu," tambah Jonathan sengaja menggoda Agatha.
Gadis bermata bulat itu mencubit pinggang kekasihnya sekuat tenaga. "Jangan harap kau bisa keluar hidup-hidup dari sana," ancamnya.
Jonathan mengaduh. Cubitan kekasihnya memang tak pernah mengecewakan. Minimal pinggangnya akan membiru. "Kaulihat sendiri kan?" Jonathan menunjuk Lilith dengan wajah ketakutan yang dibuat-buat. "Kekasihku ini jauh lebih menyeramkan dibanding pulau itu."
Lilith mendengkus keras. "Lalu kalian bisa seenaknya menjadikanku nyamuk pengganggu."
Inilah deritanya menjadi satu-satunya manusia tak berpasangan di sini. Lilith hanya bisa cemberut kesal di tengah kemesraan dua pasang kekasih ini. Bukan sekali dua kali ia merasa tak dianggap oleh mereka.
Contohnya saat mereka ke bioskop. Lilith selalu saja dipilihkan kursi di antara Victoria dan Agatha. Alasannya supaya mereka bisa saling mengobrol. Namun, kenyataannya Victoria sibuk bermesraan dengan Samuel. Tak jauh beda dengan Agatha. Alhasil Lilith hanya bisa gigit jari di tengah.
"Atau kau mau kucarikan pasangan?" usul Agatha.
Lilith menggeleng cepat. Lebih baik jadi nyamuk daripada menerima usul gadis itu. Saat ini Lilith sedang tidak ingin memikirkan hubungan percintaan. Ia ingin fokus ke tugas akhir kuliahnya.
"Jadi bagaimana?" Agatha menatap ketiga orang di depannya bergiliran.
Victoria mengembuskan napas panjang. "Terserah kalian saja."
Agatha mengacungkan ibu jari. Lalu beralih menatap Lilith. "Kau bagaimana?" tanyanya penuh harap.
Lilith mengangkat kedua bahunya. "Kaupikir aku bisa berkata apa lagi."
Agatha tersenyum lebar. "Percayalah, Vrykolakas benar-benar tempat sempurna untuk merayakan halloween. Aku pastikan pulau itu tak seperti yang kalian bayangkan," ucap Agatha yakin. Ia menambahkan, "Tak akan ada hal buruk yang akan terjadi. Aku janji."
* * *
865 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle (TAMAT)
FantasyDi pulau Vrykolakas, terdapat larangan yang sudah melegenda. "Jangan pernah memasuki hutan terlarang." Konon katanya, tak ada yang dapat keluar setelah masuk ke sana. Namun, sekelompok remaja metropolitan itu tak memercayainya. Mereka melanggar lara...