The Red Girl

56 14 4
                                    

Lilith merapatkan mantel merah berbulu hingga menutupi leher. Gegas ia tutup jendela kaca di kamarnya. Malam ini udara terasa menusuk. Dari balik jendela bisa ia lihat derasnya hujan disertai guntur yang menggelegar. Seminggu lebih berada di Vrykolakas membuatnya mulai terbiasa dengan badai. Dan satu lagi ... kegelapan.

Kastil merah ini begitu tertutup. Tirai tinggi di sepanjang lorong tak ada satupun yang terbuka. Pohon-pohon tinggi dibiarkan begitu saja. Sehingga tak setitik pun sinar matahari menyinari dalam kastil. Hanya jendela kamarnya ini yang dibiarkan terbuka.

Bagi Lilith, yang terbiasa dengan gemerlap lampu kota, cahaya lilin dan perapian sungguh membuatnya tak nyaman. Netranya bekerja keras untuk beradaptasi. Namun, ia pun tak bisa protes. Claudius, Martin, dan Ferguso jelas tidak akan tahan terhadap panasnya matahari.

Mereka tidak akan mati. Tubuh vampir tak selemah es batu yang begitu mudahnya mencair jika terkena panas. Lilith pernah membuktikannya sendiri.

Kemarin lusa, saat Claudius mengajaknya mengitari kebun di sekitar kastil, di siang hari. Tanpa sengaja sinar matahari mengenai kulit pucat itu. Awalnya Lilith pikir Claudius akan berubah menjadi abu seperti cerita dalam film drakula yang sering ia tonton atau mengeluarkan cahaya berpendar seperti berlian.

Punggung tangan Claudius hanya melepuh. Seperti saat kulit manusia tersiram air panas. Dan begitu sinar itu tak mengenainya, lepuhan itu hilang dengan sendirinya. Jadi, bohong besar jika ada yang bilang vampir akan mati jika dijemur di bawah matahari.

Lilith terentak saat petir berkilat tepat di atas pohon di seberang jendela. Ditariknya tirai merah. Ah, satu lagi yang mulai terbiasa ditangkap oleh netranya. Warna merah.

Hampir setiap sudut di kastil ini berwarna merah. Lilith tak pernah berani menanyakan alasannya kepada Claudius. Rasanya terlalu privasi. Ia hanya bisa menduga-duga, mungkin Claudius penggemar merah atau merah memiliki kesan horor. Yah, supaya kesan dan hawa para penghisap darah lebih terasa. Mungkin.

Selama empat hari di sini, membuat ketakutan Lilith sedikit banyak berkurang. Minimal untuk saat ini, asal ia tidak membuat Claudius marah, dia akan aman. Darahnya tidak akan dikuras habis.

Lilith membayangkan mie instan dengan taburan chili dan telur setengah matang. Makanan favoritnya saat hujan seperti ini. Membuat perutnya menjerit.

Tadi sore ia tak menghabiskan salad dan steak domba. Jika sesekali makan makanan itu, tentu akan terasa nikmat. Karena ia akui masakan Martin sungguh cocok di lidahnya. Namun, jika sehari 3 kali selama empat hari berturut-turut, jelas membuatnya eneg.

Lilith memutuskan untuk mencari sesuatu di dapur. Claudius sempat mengajaknya ke sana.

Lilith mengambil lilin dari atas meja. Ia pun keluar dari kamar dan berjalan mengendap menyusuri lorong. Kastil ini benar-benar sepi. Tak nampak kehidupan di sini.

Senyum miring tergambar samar di bibirnya. Bukankan dia memang satu-satunya makhluk hidup di sini? Lilith tidak bisa memasukkan jenis penghisap darah ke dalam golongan manusia bukan? Karena kenyataannya mereka tidak bernapas. Jantungnya pun telah berhenti berdetak ribuan tahun lalu.

Kakinya terhenti di anak tangga teratas. Ia harus menuruni tangga untuk menuju ke dapur. Namun, lorong di seberang menarik perhatiannya. Satu-satunya tempat yang belum pernah Claudius tunjukkan padanya.

Rasa penasaran kembali hadir. Setelah menimbang beberapa saat, Lilith memutuskan untuk mengganti tujuan. Rasa laparnya talah hilang.

Lilith memutar tungkai, bergerak menuju kamar di ujung lorong. Kamar dengan pintu merah setinggi langit-langit kastil dengan ukiran bunga mawar keemasan. Dipegangnya handel pintu. Secuil otak warasnya masih membujuknya untuk mengurungkan niat. Bisa jadi ada rahasia besar di balik pintu ini. Jika ia sampai tertangkap oleh Claudius, bukan tak mungkin nyawanya akan melayang malam ini juga.

Dalam satu tarikan napas panjang, Lilith memutar handel pintu. Bunyi derit mengiringi terbukanya ruangan.

Gelap dan pengap.

Lilith memajukan lengan kirinya yang membawa lilin. Netranya perlu jeda beberapa saat untuk beradaptasi di kegelapan.

Dikerjapkannya kelopak mata beberapa kali hingga pandangannya perlahan jelas. Hal pertama yang ia tangkap adalah merah. "Yeah, apalagi yang aku harapkan? Bukankah kengerian terbesar di kastil ini adalah Claud sendiri," gumam Lilith sambil tersenyum miring. Namun, pigura besar yang tergantung di tembok merah itu membuatnya terpaku.

Gadis berambut merah terang yang tergambar di dalam pigura itu membuatnya ternganga tak percaya. Selama ini ia tak mempercayai ucapan Claudius. Mana mungkin dia adalah reinkarnasi dari kekasih pria itu. Lilith tak pernah meyakini akan adanya kehidupan setelah kematian. Baginya setelah raga seseorang hancur di dalam tanah, jiwanya pun akan menghilang.

Namun, sosok dalam lukisan ini mengubah pemikirannya. Perlahan kakinya mendekat ke arah pigura. Netranya tak lepas dari sosok itu. Menatap lukisan ini bagaikan Lilith tengah bercermin. Setiap detail di wajah itu jelas-jelas miliknya.

Gadis itu perlahan mengangkat jemari kanannya ke atas, menyentuh wajahnya, mengabsen tiap ornamen yang ada di sana.

Gadis itu meletakkan lilin ke atas meja di depannya, lalu menggerakkan tangannya ke arah lukisan. Menyentuh permukaan kasarnya. Dalam beberapa detik, ia kembali menarik tangan, rasa takut kembali mendera.

Lilith mengamati sekeliling. Di ujung kamar, terdapat lemari seukuran kamarnya di Newgarde yang berisi puluhan gaun merah. Di sebelahnya terdapat meja rias. Hiasan rambut, bros, berbagai macam aksesoris, seluruhnya berwarna merah.

"Apakah sekarang kau memercayai ucapanku?"

Lilith tersentak kaget. Otomatis ia menoleh ke asal suara. Sejak kapan Claudius berada tepat di belakangnya?

"Ma-maaf, a-aku tak bermaksud ke sini. Aku-"

Claudius memutar tubuh Lilith hingga sepenuhnya menghadap dirinya. Pria itu menggeleng. "Kamar ini milikmu," ucapnya sembari membelai pelan pipi Lilith.

Selama ini Lilith tak percaya akan adanya cinta sejati. Yang ada hanyalah hubungan saling menguntungkan. Di saat satu pihak tak lagi dapat memberikan keuntungan, tentu pihak satunya akan mengakhiri hubungan. Namun, pria di hadapannya ini membuktikan bahwa cinta tanpa syarat itu ada.

"Apa yang terjadi padanya?" Jika memang benar gadis berambut merah itu dirinya, Lilith tentu butuh tahu apa yang menimpanya di masa lampau.

"Mereka membunuhmu tanpa rasa belas kasih."

Lilith merasakan amarah dalam cerita Claudius. Mata merah itu kembali memancarkan sinar penuh dendam.

"Apakah itu yang membuatmu merasa bersalah kepadaku?"

Claudius kembali membelai pipi Lilith dengan lembut. "Ribuan tahun rasa sakit itu tak bisa hilang, bahkan setelah kuhabis mereka semua. Aku mampu bertahan dari penderitaan ini karena janjimu untuk kembali."

"Maafkan aku, tapi ini bukanlah tempatku. Aku tidak bisa hidup selamanya di sini," ucap Lilith lirih. Seandainya benar dia reinkarnasi dari kekasih Claudius, kondisi saat ini jelas tidak memungkinkan mereka untuk bersama.

"Aku bisa memberi segala yang kauinginkan, termasuk keabadian."

* * *

1016 kata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1016 kata

The Red Castle (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang