The Garden

59 12 1
                                    

Kastil tua, jubah hitam, mata merah, dan darah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kastil tua, jubah hitam, mata merah, dan darah.

Tak butuh IQ tinggi untuk menebak makhluk apa itu. Terlebih untuk gadis secerdas Lilith Green.

Vampir. Makhluk penghisap darah. Makhluk abadi. Drakula. Dan masih banyak lagi sebutan untuk mereka.

Menyadari apa yang sedang dihadapi, membuat kedua tungkai Lilith Green kembali berulah. Tulang-tulangnya melunak seperti baru saja keluar dari panci presto. Membuatnya terduduk lemas di lantai pualam sedingin es.

Lilith tersentak, saat tangan sedingin es itu menyentuh kulit lengannya. Sejak kapan pria ini berdiri menunduk di depanku?

"Berdirilah." Lelaki itu tersenyum tipis.

Lagi-lagi Lilith tersentak. Bukan karena takut. Lebih ke arah terkejut. Ia tak mengira lelaki itu akan berada sedekat ini. Terlebih intonasi serta caranya memperlakukan Lilith jauh dari bayangan. Dia begitu sopan dan lembut.

Lilith tak sadar kalau vampir ini telah membawanya kembali duduk di kursi makan. Rasa takutnya sudah mencapai level tak terhingga. Sampai mati rasa dan tak tahu harus bagaimana.

"Tidak ingatkah kau kepadaku?" tanya vampir itu. Kali ini senyum itu telah hilang. Digantikan raut penuh harap.

Butuh waktu bagi Lilith Green untuk mencerna maksud pertanyaan tersebut. Haruskah aku mengingatnya? Apakah kami pernah bertemu sebelumnya? Kapan? Di mana?

Embusan napas panjang. "Makanlah. Nanti kita bicara setelah kau selesai makan."

Lilith memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Tatapan mereka bertemu di udara. Netra merah itu memandang sayu. Seperti tatapan rindu ibunya saat Lilith menginap terlalu lama di rumah nenek.

Butuh usaha keras untuk lepas dari mata itu. Seolah ada kunci tak terlihat yang menggembok atensinya ke arah vampir itu. Keheningan kembali tercipta saat Lilith berhasil kembali menunduk.

Lebih baik aku habiskan makanan ini. Kalaupun aku harus mati, setidaknya dengan perut kenyang. Pikir Lilith sembari melanjutkan makan.

* * *

Claudius bersandar di balkon rumah kaca. Tatapannya kosong ke beragam bunga warna-warni yang tumbuh subur. Seolah tidak mengenal akan datangnya musim gugur. Semua bunga itu tampak indah dan mengeluarkan bau harum.

Selama puluhan tahun ia berlatih keras untuk membuat taman ini berada suhu yang tepat tanpa sinar matahari. Taman ini satu-satunya tempat favorit dari kekasihnya. Dulu, Lilith lah yang merawat seluruh tanaman yang ada di rumah kaca. Memberi mereka kehangatan dan cinta. Seolah lalai jika mereka berdua adalah penghisap darah.

Claudius menyentuh kelopak mawar merah yang tengah mekar sempurna. Sudah sangat lama ia tidak pernah membiarkan siapapun memasuki ruang ini. Bahkan Martin sekalipun. Karena baginya tempat ini sangat istimewa. Di sinilah ia melamar Lilith saat mereka masih menjadi manusia. Di sini juga akhirnya Lilith memutuskan untuk menggadaikan jiwanya demi bisa bersama dengan Claudius.

The Red Castle (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang