"Apa kau sudah gila?" Samuel merebut kapak dari tangan Jonathan, lalu melemparkannya ke sudut ruang tamu. Ia jelas menentang keras usul Jonathan untuk kembali ke hutan terlarang.
Jonathan menatap tajam ke arah pria di depannya. "Kaupikir dengan membiarkan Lilith di sana seorang diri, menjadikanmu orang waras?"
"Jo, kumohon tenanglah dulu." Agatha mencengkeram lengan kekasihnya.
Jonathan mengalihkan pandang ke Agatha. "Apa kau juga sependapat dengan mereka?"
Agatha menunduk dengan air mata menggenang. Kejadian di hutan lima hari lalu masih tercetak jelas dalam ingatannya. Luka-luka di tubuhnya saja belum mengering. Apalagi trauma yang ditimbulkan saat monster anjing itu menyeretnya.
Suatu keajaiban luar biasa saat ini mereka masih hidup. Seandainya pagi itu pasangan Foster tidak berinisiatif mencari mereka ke hutan, tentu saat ini mereka hanya tinggal nama. Luka terbuka di lengan Jonathan cukup parah. Bekas cakaran dan gigitan monster itu di kaki Agatha, Victoria, dan Samuel juga tidak bisa dibilang ringan.
"Aku tahu kau merasa bersalah pada Lilith, tapi-"
Jonathan memotong ucapan Samuel dengan kasar. "Aku tidak memaksa kalian untuk ikut. Aku sendiri yang akan mencarinya."
"Sudah lima hari, Jo," ucap Agatha lirih.
"Lalu kenapa? Kalian begitu saja menyerah tanpa ada usaha untuk mencarinya?" Suara Jonathan mulai naik satu oktaf. Dia tak habis pikir dengan tiga temannya ini. Bagaimana mungkin mereka bisa berdiam diri membiarkan Lilith saat ini entah berada di mana.
"Kita sudah menyusuri hutan, Jo, tapi kita tidak juga menemukannya," ucap Victoria. Diantara keempat orang itu, bisa dikatakan bahwa Victoria yang paling terpukul. Hingga kini dia belum bisa tidur. Setiap matanya terpejam bayangan kejadian itu kembali terulang.
Terlebih hingga saat ini sahabatnya belum juga diketemukan. Hal itu membuat Victoria semakin depresi. Ia merasa bersalah. Kenapa hanya mereka berempat yang selamat, sedangkan Lilith tak ada kabar sama sekali.
Pagi itu juga, setelah mereka menceritakan apa yang dialami ke pasangan Foster, kedua paruh baya itu bergegas meminta pertolongan warga. Mereka bekerja sama mencari Lilith. Menelusuri pinggir hutan hingga perbatasan hutan terlarang.
"Kalian hanya mencari di pinggir hutan. Bisa jadi saat itu Lilith tersesat di dalam hutan terlarang. Oleh karena itu, semakin cepat kita mencarinya, semakin besar peluang kita menemukannya dalam keadaan hidup."
Jonathan sudah memantapkan diri. Rasa bersalahnya teramat besar. Dialah yang membujuk mereka untuk merayakan halloween di sini. Dia pulalah yang memaksa untuk masuk ke hutan terlarang. Sehingga sudah jadi tanggung jawabnya untuk menemukan Lilith.
"Kalian tidak bisa masuk ke sana lagi." Tuan Foster yang sedari tadi mendengar perdebatan keempat pemuda itu dari dalam kamar, akhirnya angkat bicara. "Makhluk itu pasti menunggu kalian di sana. Mereka terlalu kuat untuk kauhadapi seorang diri."
Jonathan menoleh ke belakang. "Mereka? Jadi, anjing gila itu tak hanya satu?"
Tuan Foster tertawa miris. "Seandainya mereka hanya binatang buas." Hela napas panjang mengiringinya saat menuju sebuah kursi kosong di ruangan itu. Ia menyalakan sebatang rokok lalu mengembuskan asap perlahan.
"Apa kalian tahu arti nama pulau ini?" tanya pria paruh baya itu.
Keempat pemuda itu menggeleng serempak.
"Dalam cerita rakyat Yunani, Vrykolakas berarti mayat hidup yang berbahaya. Mereka selalu dikait-kaitkan dengan makhluk abadi penghisap darah."
"Maksud Anda vampir?" tanya Jonathan.
Tuan Foster tidak mengangguk, tapi juga tidak membantah. "Apapun sebutannya, mereka bukan lagi manusia atau binatang. Mereka butuh darah untuk hidup."
Informasi ini benar-benar baru mereka dengar. Membuat mereka tak dapat berkata-kata. Menghadapi monster anjing saja sudah membuat kewalahan, apalagi jika ada makhluk lain yang lebih berbahaya.
"Oke, anggap saja makhluk itu memang ada, apa itu berarti kalian tak akan mencari Lilith?"
Semua orang yang ada di ruangan itu menunduk. Pikiran mereka terlalu kusut. Sehingga tak lagi dapat berpikir langkah apa yang akan mereka ambil.
"Kau tetap berniat masuk ke hutan terlarang?"
Jonathan mengangguk mantap. "Kalaupun aku tidak bisa membawa Lilith hidup-hidup, aku akan membawa jasadnya. Aku akan membunuh siapa pun yang melakuan perbuatan keji itu."
Embusan napas panjang menjadi jeda dari pembicaraan mereka. "Semoga Pendeta Suci belum berangkat ke Slavia."
Keempat pemuda itu saling berpandangan.
"Pendeta Suci?" tanya Agatha.
"Dari legenda turun-menurun di pulau ini, hanya Pendeta Suci yang bisa membunuh para penghisap darah. Air suci dan pasak perak merekalah yang bisa membumihanguskan makhluk itu."
"Lalu di mana kita bisa menemui Pendeta Suci?"
"Kita harus ke desa tetangga."
Tanpa menunggu lama, Jonathan mengajak Tuan Foster mencari Pendeta Suci tersebut. Dia rela memberikan apapun asal bisa menyelamatkan Lilith. Jonathan tidak bisa membayangkan masa depannya akan seperti apa, jika rasa bersalahnya begitu besar.
Rupanya keberuntungan sedang bersama mereka. Pendeta Suci baru saja tiba dari perjalanannya ke Rumania. Tanpa mengulur waktu, beliau memerintahkan beberapa penduduk desa untuk bersiap. Esok hari, begitu matahari muncul, mereka akan berangkat menuju hutan terlarang.
"Bawalah ini." Pendeta Suci menyerahkan sebuah pasak perak sepanjang dua jengkal ke masing-masing orang. "Tancapkan tepat ke jantung mereka hingga menembus punggung. Aku sudah membalurinya dengan air suci."
Total ada 15 orang yang berangkat menuju hutan terlarang. Termasuk Jonathan dan Samuel. Sedangkan para gadis tidak diizinkan turut serta.
Tujuan mereka menemukan Lilith dan membawanya dalam keadaan apapun. Serta membunuh para makhluk itu hingga tak bersisa satu pun.
* * *
822 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle (TAMAT)
FantasyDi pulau Vrykolakas, terdapat larangan yang sudah melegenda. "Jangan pernah memasuki hutan terlarang." Konon katanya, tak ada yang dapat keluar setelah masuk ke sana. Namun, sekelompok remaja metropolitan itu tak memercayainya. Mereka melanggar lara...