Semenjak kejadian hari itu, Brian tak berhenti menjadi gelisah sepanjang waktu. Hari-harinya terasa tidak tenang. Dihantui kekhawatiran kalau Habibie dan Kemuning akan buka mulut dan membongkar semua kebusukannya beserta kedua temannya yang lain.
Hingga satu minggu berlalu dan ia tak juga menemukan ketenangan yang diharapkan, Brian memutuskan untuk mendatangi Basir dan Sultan di warung yang biasanya menjadi tempat nongkrong mereka di kala malam untuk ngopi sambil mencari wifi gratisan.
Brian beruntung karena di warung yang buka dari pagi sampai tengah malam itu baru dikunjungi oleh dua pelanggan saja, yang sebuah Kebetulan juga mereka adalah Basir dan Sultan yang asik menguji keberuntungan dengan bermain game-judi online.
"Santai bener hidup kalian ini!" Brian dengan sangat menjengkelkan, langsung merebut ponsel mereka dan duduk di seberang meja menghadap dua temanya yang plangah-plongoh kesal itu.
"Ngapain ke sini? Bukannya biasanya kamu lebih seneng turun gunung buat ngafe?" Sultan merebut kembali ponselnya dan mengumpat sekilas. "Padahal tadi aku sudah hampir berhasil ngeslot. Gara-gara kamu, gagal lagi sekarang aku."
"Dua orang itu bisa saja buka mulut, kalian malah asyik main judi?" Brian merendahkan suaranya hingga hanya bisa didengar oleh mereka bertiga yang duduk di meja itu saja. "Aku nggak bisa tenang ini. Nasib kita bisa dalam bahaya kalau mereka tetap tinggal di kampung ini."
"Kita sudah punya foto-foto yang bisa digunakan buat nyumpal mulut mereka. Kamu tenang aja, lah. Mereka nggak akan berani buka mulut kalau masih pengen melanjutkan hidup dengan tenang." Basir berusaha menenangkan. Namun Brian tetap saja belum merasa tenang, menggeleng tak setuju.
"Habibie itu lumayan pintar. Kalian pikir, dia akan tinggal diam gitu aja? Aku nggak boleh lengah. Sebelum dia buka mulut, aku harus bikin dia angkat kaki dari desa ini lebih dulu. Kalian ingat, kan, zaman di sekolah dulu, gimana dia berjuang mati-matian saat dituduh korup uang kas kelas padahal kita-kita yamg nilep? Kalau urusan duit yang nggak seberapa aja dia perjuangin habis-habisan, apalagi dengan kasus ini. Aku nggak mau ambil risiko."
"Lha terus kamu maunya gimana?" Basir memberi perhatian seolah benar-benar peduli. Bagaimana pun juga, ia lebih yakin kalau apa yang ditakuti Brian tak akan pernah terjadi, sebab ia tahu bagi Habibie, nama baik adalah segalanya. Tak mungkin ia bertindak ceroboh dan gegabah mempermalukan dirinya dan keluarga. "Santai aja lah, Bro."
"Santai-santai. Kamu saja yang santai. Dasar madesu!" Brian lalu pergi lagi usai mengumpat.
Kali ini, Brian memacu motor kesayanganya menuju rumah Habibie. Dan merasa sangat diberkahi karena pemuda itu sedang tak ada di rumah. Artinya dia akan semakin mudah bersilat lidah tanpa harus debat melawannya.
"Masih kontrol ke rumah sakit. Mungkin mampir-mampir dulu karena dia diantarkan sama adeknya. Mumpung keluar, jadi sekalian main. Ada apa memangnya, Nak?" Mursid, ayah dari Habibie sekaligus ketua RW-2 Desa Sigra menyambut ramah kedatangan anak tunggal kepala desanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Ratu Santet (TAMAT)
Paranormal[NOTE: Versi lengkap ada di KBM app dan Karyakarsa ________________________ Arya Putra Piningit ditugasi oleh sang bapak, Idham Amarullah, untuk mendirikan sebuah pesantren di Kampung Sigra yang terkenal wingit. Banyak kejadian aneh tak masuk akal...