Habibie berangkat meninggalkan pondoknya pada pagi buta selepas Subuh. Berbekal ransel berisi perlengkapan ibadah dan makanan juga sebotol air mineral, pemuda yang hari ini berpakaian selayaknya seorang pendaki itu pamit kepada sang kiai yang telah memberinya tugas nyeleneh, tanpa lupa menyempatkan diri untuk mencuri-curi pandang kepada Anisa yang masih liburan di rumah.
"Mas berangkat menjemput mas kawin kita dulu, ya, Ning?" Habibie berkelakar kepada Anisa yang langsung menggeser posisi ke belakang ayah handanya.
"Ngapain pakai pamit-pamit segala. Sok kenal!" ketus Anisa kejam sebelum akhirnya berlari ke dalam rumah menyusul ibunya yang sudah masuk duluan.
Habibie pun memberengut sampai ditertawakan kiainya--yang gagal menahan diri untuk tidak tertawa usai melihat tingkah galak sang putri saat digodai.
"Galak bener e ... calon istriku." Habibie menggaruk-garuk kepalanya karena malu.
"Sudah, sana segera berangkat biar nggak kemalaman di jalan nanti." Kiai Amar mengusirnya untuk segera pergi.
Karena sudah telanjur menyanggupi perintahnya, Habibie pun akhirnya berangkat menjemput Arya. Disusurinya jalanan setapak sesudahnya ia menyeberangi aliran sungai yang lumayan deras hingga membuat setengah bagian bawah tubuhnya basah kuyup. Sungai besar itu menjadi batas antara Desa Bambu Putih dengan hutan belantara yang masih lebat walau sudah tidak perawan di sisi seberangnya.
Habibie tak berhenti bertanya-tanya, mengapa putra kiainya itu harus ditempatkan di pedalaman hutan setelah merampungkan pendidikan di Timur Tengah. Bukankah semestinya lebih baik ia mengamalkan ilmunya dengan menjadi guru di kota atau mendirikan pesantren bertaraf internasional yang elite dan berkelas?
"Bikin ribet aja." Habibie berkeluh kesah setelah datang tengah hari dan masih belum melihat tanda-tanda dia akan segera sampai di tempat tujuan.
Akhirnya pemuda kelelahan itu memutuskan untuk mengaso sebentar dan melaksanakan salat di dekat aliran sungai sembari menikmati makan siang. Dalam kesendiriannya itu, tak sengaja pikiran Habibie terbang melayang dan terlempar ke kampung halamannya di Desa Sigra.
Selama lima tahun ini, ia masih sering memikirkan bagaimana nasib Kemuning dan bertanya-tanya apa yang kemudian terjadi dengan gadis malang itu setelah ia dikirim ke sini. Habibie teringat di hari nahas itu ia terbangun dalam keadaan telanjang bulat dan kesakitan lantaran tubuhnya babak belur, sementara Kemuning masih tak sadar di sisinya, juga dalam keadaan tanpa busana.
Habibie berusaha membangunkannya usai kembali berpakaian dan menggendongnya meninggalkan pondok terkutuk itu pada tengah malam karena tubuh Kemuning terlalu lemah usai diperkosa oleh ketiga temannya. Kemudian, Habibie menurunkan Kemuning dua puluh meter dari rumahnya karena tak ingin terlihat oleh siapa pun jika dia yang mengantarkan Kemuning di malam itu.
"Maaf karena aku nggak bisa menolong kamu sebelumnya. Aku nggak tahu muslihat apa yang direncanakan oleh mereka bertiga, tapi semoga apa pun itu, kamu akan tetap baik-baik saja. Maaf, karena aku juga nggak bisa mengantar kamu sampai rumah. Aku nggak ingin menjadi fitnah kalau sampai ada yang melihat kita gendong-gendongan di tengah malam begini. Kamu tahu, kan, kalau aku nggak melakukan apa-apa sama kamu meski kita tertidur di tempat yang sama dalam kondisi seperti tadi? Aku berani bersumpah nggak melakukan apa pun. Aku menghormati semua wanita dan sudah berjanji sama diriku sendiri, nggak mau menodai salah satunya sebelum resmi kuperistri. Kamu masih kuat untuk jalan ke rumah, kan? Sudah dekat kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Ratu Santet (TAMAT)
Paranormal[NOTE: Versi lengkap ada di KBM app dan Karyakarsa ________________________ Arya Putra Piningit ditugasi oleh sang bapak, Idham Amarullah, untuk mendirikan sebuah pesantren di Kampung Sigra yang terkenal wingit. Banyak kejadian aneh tak masuk akal...