2. Tragedi Jurang Kematian

1.1K 98 32
                                    

Habibie telah pergi, tetapi hati Brian tetap tak kunjung merasa tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Habibie telah pergi, tetapi hati Brian tetap tak kunjung merasa tenang. Kemuning masih kerap datang mencarinya ke tempat peternakan ayam petelur milik ayahnya, meski berulang kali Brian selalu menyuruh kacungnya beralasan bahwa dirinya tidak ada di sana.

Kalau dia terus-terusan datang, lama-lama bisa menimbulkan kecurigaan di mata orang lain, begitu pikiran Brian.

Selain itu, Brian juga tak mau jika nanti Kemuning sampai meminta pertanggungjawaban agar ia mau menikahinya seperti janji Brian di awal dulu.

Brian menggeleng geli.

Ia tidak sudi jika harus menikahi wanita yang sudah tidak perawan dan bekas dipakai teman-temannya itu. Alhasil, malam itu ia kembali keluar untuk mencari orang-orang yang menurutnya bisa diajak untuk bekerja sama.

Warung Mak Sinah lagi-lagi menjadi tujuan utamanya. Di sana selalu ramai oleh pengunjung karena selain menyediakan tempat untuk bermain biliar dan wifi gratis, jauh di kebun belakang warung juga merupakan sarangnya warga untuk bermain aneka macam perjudian termasuk sabung ayam.

Tempat itu sangat aman dan tidak pernah terjaring razia karena selain letak Desa Sigra yang terpencil dan jauh dari jangkauan kantor aparat, para pamongnya juga lebih memilih untuk menutup mata karena khawatir justru akan menerima bahaya jika berani mengusik kesenangan orang-orang itu.

Seperti kata Kades beserta jajarannya; "Diam itu emas. Diam itu selamat", maka tak pelak, kian suburlah kemaksiatan di sana.

Di warung Mak Sinah, semua orang menggilai uang. Brian yakin, beberapa orang pasti mau bekerja padanya. Terlebih dia merupakan anak Kades yang sudah menjadi pemimpin desa selama beberapa periode dan disungkani. Membuat Brian selalu tampil percaya diri di hadapan semua warga.

Setelah hampir tiga puluh menit diam  untuk mengamati sembari menyesap kopi hitam, dihampirinya Lius yang terlihat gusar di arena bilar sepanjang pengawasannya.

Pemuda gondrong itu kesal karena sejak tadi tembakannya tak pernah mulus dan mengakibatkan dirinya kalah sehingga harus membayar beberapa kali kepada para lawannya. Melihat kesempatan emas itu, Brian pun tak ingin menyiakannya begitu saja; merangkul Lius dari arah samping sembari senyodorkan sebatang rokok.

"Mau duit, Bro?" Brian menyeringai sarat muslihat.

"Kalau dikasih, aku mau. Kalau ngutang, ogah. Udah banyak utangku di sini." Lius menanggapi acuh tak acuh, tapi tetap menerima rokoknya. Dan matanya seketika menghijau saat Brian kemudian memperlihatkan isi dompetnya yang penuh dengan lembaran ratusan ribu.

"Ini bukan utang. Tapi nggak gratis juga. Aku butuh beberapa orang buat membantu misi ini. Sanggup?"

Tanpa mau repot untuk bertanya ini-itu, Lius segera mengangguki tawaran itu dan menyambar uang sebesar satu juta yang Brian tawarkan.

"Bagus. Nanti bakal aku tambahin berkali lipat kalau semuanya lancar."

Usai mengadakan rapat dengan orang-orang yang berhasil dikumpulkan Lius, malam itu Brian meninggalkan warung Mak Sinah dengan hati yang kembali riang. Ia bersiul-siul memacu motornya menyusuri jalanan kampung yang masih banyak terdapat kebun dan hutan yang luas, kemudian membelok tepat ke halaman rumah yang terbuat dari gedek beratap model limas kuno yang lantainya masih terbuat dari tanah dan merupakan rumah kekasihnya, Kemuning.

Pernikahan Ratu Santet (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang