7. Tantangan Guru

863 87 64
                                    

Satu minggu setelah pemakaman Basir dilakukan, kondisi Sultan tak ubahnya orang gila yang terus berteriak dan mengamuk, bahkan beberapa kali sempat kabur dari rumah sambil membawa senjata tajam dan mengejar siapa pun yang lewat di depannya sembari...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu minggu setelah pemakaman Basir dilakukan, kondisi Sultan tak ubahnya orang gila yang terus berteriak dan mengamuk, bahkan beberapa kali sempat kabur dari rumah sambil membawa senjata tajam dan mengejar siapa pun yang lewat di depannya sembari diteriakinya sebagai Kemuning. Karena tingkahnya sudah semakin meresahkan dan dianggap mulai membahayakan orang lain, maka atas saran masyarakat, Sultan harus dikurung di dalam rumahnya jika tak ingin dibawa paksa ke rumah sakit jiwa.

Demi harga diri, tindak pemasungan pun dipilih kedua orang tua Sultan ketimbang membawa anak mereka ke rumah sakit jiwa sebagaimana kemauan para warga. Ayah Sultan berdalih jika anaknya tidak gila dan membawanya ke rumah sakit jiwa hanya akan mencoreng nama keluarga serta menyakiti putra mereka.

Sultan diyakini hanya terlalu syok usai melihat teman baiknya mati di depan mata, dan memastikan jika dia akan sembuh dengan sendirinya seiring waktu berlalu dan kesedihannya reda. Kendati setiap hari sampai saat ini, yang dilakukan Sultan di dalam pemasungannya hanyalah berteriak-teriak sambil melotot dan terkadang meringkik ketakutan tidak jelas sambil memohon agar dirinya tidak dibunuh entah oleh siapa.

Di rumahnya, Brian yang akan menggelar pernikahan hari ini terlihat sangat tidak tenang dengan terus mondar-mandir di kamarnya dalam balutan setelan busana pernikahan adat Jawa. Ia menghitung siapa-siapa yang masih tersisa dari teman-temannya yang pernah terlibat dalam kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Kemuning, dan menjadi semakin resah karena kini semakin sedikit saja yang tersisa.

Juned, Haikal, Rama dan juga dirinya. Hanya tersisa empat orang yang belum mengalami nasib sial dan itu benar-benar membuat frustrasi. Kegilaan Sultan baru-baru ini semakin memperkuat keyakinan Brian jika dalang dari semua kesialan teman-temannya memang benar Kemuning.

Ditambah lagi sekarang Brian harus pergi ke desa sebelah guna menggelar resepsi di rumah pihak mempelai wanita, praktis pria itu jadi semakin tidak tenang. Pasalnya, semua teman Brian ketiban sial saat mereka sedang berada di luar rumah. Setelah beberapa waktu merasa sangat aman dengan terus berdiam di rumah walau rasanya sangat membosankan, untuk pertama kalinya, Brian akhirnya merasa sangat enggan ketika mendapatkan kesempatan untuk keluar.

"Sudah, to. Nggak usah gugup. Masa belum hafal kalimat kabulnya?" goda Kades Budi saat menengok anaknya ke dalam kamar dan tak sengaja malah menemukan putranya itu tengah kalut dan takut-takut.

"Hati Brian nggak enak, Yah. Nggak tahu kenapa, rasanya enggan banget meninggalkan rumah."

Kades Budi tertawa alih-alih prihatin mendengar pengakuan putranya. "Ayah dulu juga begitu kok, waktu menikahi ibumu. Takut bikin kesalahan, takut kalau pilihan Ayah keliru dan macem-macem pikiran semerawut lainnya yang bikin pengen batalin pernikahan. Tapi kalau kamu bisa melawan godaan menyesatkan itu, semua pasti akan berjalan lancar dan baik-baik saja. Kamu juga sudah diruwat murwakala juga, kan? Pasti semuanya aman. Sudah yuk, kamu berangkat biar nggak telat."

Meski bukan ketakutan sejenis itu yang Brian rasakan sekarang, ia tetap harus berangkat meninggalkan rumahnya untuk menuju kediaman Mira. Sembari ditemani paman dan bibinya, sesuai adat yang dianut sebagian masyarakat Jawa yang melarang orang tua mempelai pria untuk mengantar putra mereka ke rumah mempelai wanita, Brian duduk di samping kemudi sambil tak berhenti merasa was-was.

*

Lima tahun menjadi santri Pondok Bambu Putih, hari ini Habibie kembali harus menerima teguran dari seniornya karena lagi-lagi pemuda itu gagal melanjutkan hafalan Alqurannya gara-gara tergoda untuk mencuri pandang ke arah putri kiainya yang cantik jelita.

Namanya Anisa Putri Kinasih. Putri kedua Kiai Idham Amarullah dan Bu Nyai Mimit Lailatul Qiptyah. Tidak seperti kakak lelakinya yang hingga kini Habibie belum tahu bagaimana bentuk rupanya karena ia dipingit di dalam gubuk jauh di dalam hutan semenjak menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Timur Tengah, Anisa bisa dengan mudah dijumpai setiap satu pekan sekali saat ia pulang di hari libur kuliah di luar kota.

Habibie sudah menaruh hati kepada gadis yang kecantikannya tak ada tandingan itu semenjak pertama kali ia melihatnya. Namun karena statusnya yang merupakan santri dari keluarga non ulama, ia tak pernah berani mengutarakan isi hatinya baik kepada Anisa maupun kepada kiainya. Hingga tiba-tiba saja, hari ini Habibie dipanggil oleh kiaianya untuk menghadap setelah pimpinan pondok itu tak sengaja mendengarnya kembali diomeli oleh senior karena matanya jelalatan memperhatikan Anisa.

Bukan untuk dimarahi, tetapi pagi itu, Habibie malah diajak untuk berjalan-jalan melihat tanaman padi di sawah mereka. Hanya berduaan saja, seolah Kiai Amar memang sengaja ingin mengambil kesempatan itu untuk mengajaknya berbicara empat mata.

"Kamu menyukai putri saya?"

Habibie gelagapan. Karena sangat tidak menduga kalau akan mendengar pertanyaan semacam itu dari guru besarnya.

"Memangnya saya boleh menyukai Ning Nisa?" Habibie balik bertanya, membuat senyum Kiai Amar merekah rupawan di usianya yang tidak lagi muda.

"Kenapa tidak boleh? Rasa suka itu kan datangnya dari hati yang tidak bisa dikontrol mau diberikan kepada siapa."

"Jadi saya boleh meminangnya?" Habibie bertanya langsung ke intinya tak ingin basa-basi.

Kiai Amar seketika menghentikan langkahnya dan menatap Habibie lekat-lekat. "Boleh saja, tapi ada syaratnya."

"Apa itu?"

"Kamu bisa melihat satu-satunya pondok gedek yang berdiri di lereng itu?" Kiai Amar menunjuk pada sebuah bukit hijau di kejauhan.

Habibie mengikutinya dan mengangguk saat matanya menemukan sebuah bangunan di tengah hutan lebat itu.

"Arya Putra Piningit tinggal di sana seorang diri selama tujuh tahun. Tolong, kamu jemput dia dan bantu dia mendirikan pondok pesantren di desa kamu."

Habibie yang semula begitu bersemangat, seketika menjatuhkan kedua bahunya lemas usai mendengarnya. "Tapi saya tidak mau kembali ke desa itu. Saya sudah bertekat akan meninggalkan Desa Sigra selamanya."

"Ya sudah, berarti kamu bukan jodohnya Anisa."

Habibie menjeling tak terima. Kiainya ini memang sangat lihai membuat seseorang tak bisa menolak keinginannya. "Kenapa Kiai menyuruh saya untuk kembali ke tempat itu? Saya pasti bersedia melakukan perintah jika membangun pondoknya di desa lain. Selain itu, Kiai sendiri yang dulu mengatakan bahwa mungkin tujuan Allah mengirim saya ke sini adalah untuk menyelamatkan saya. Jadi kenapa saya harus kembali ke tempat itu dan membahayakan diri saya?"

"Jawaban dari pertanyaan kamu, akan kamu ketahui jika kamu bersedia kembali ke Desa Sigra. Selain itu, ayah kamulah yang sudah mewakafkan tanahnya agar bisa digunakan untuk hal yang bermanfaat. Saya jadi terpikirkan untuk mendirikan pesantren yang adem, yang bisa membuat semua orang merasa nyaman belajar dan tinggal di sana. Dan saya ingin kamu terlibat dalam setiap prosesnya agar kelak bisa menjadi pengayom di desa yang menjadi cikal bakal adanya kamu dulu. Mau jadi menantu saya, kan?"

*

Pernikahan Ratu Santet (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang