#01

192 45 71
                                    

|| 1028 words||

"Kau mau kopi atau teh?" Nenek bertanya. Tangan yang kulitnya berada di masa keriput itu memegang termos berisi air hangat guna membuatkanku secangkir minuman. Kutatap termos bermotif bunga tulip ungu yang dia genggam gagangnya beberapa saat. Mau kopi atau teh, aku lebih memilih air limun.

Kata mama, anak kecil di bawah dua belas tahun tidak boleh mengonsumsi kopi. Minuman itu tidak bagus untuk lambung dan pencernaan. Kalau aku minum kopi, nanti bakal ada monster pohon yang wajahnya penuh akar busuk, mirip kelabang berkaki kambing datang mencekik leherku. Namun, misal bersama ayah, kopi itu katanya bikin mata tajam dan mengurangi kantuk. Usai minum kopi, ayah biasanya mengajakku main ludo.

Karena di sini tidak ada ludo dan aku meragukan Nenek untuk diajak bermain kartu atau ular tangga, maka aku memilih, "Teh saja, Nek."

Nenek meringis sebentar sebelum bertolak ke dapur. Jalannya pelan sekali. Seolah-olah di lantai ubin warna abu bara itu banyak tai tikus berserakan. Punggung Nenek bungkuk. Ketika ia bergerak, aku akan kepikiran jika di pundaknya itu, di balik kardigan tua yang beliau kenakan, Nenek mengangkut galon air lima liter.

"Apa yang membawamu ke sini, Cucuku?" tanya nenek dengan suara serak khasnya. Macam dahaknya menolak keluar.

"Hurrah!" seruku, "aku ingin mendengarkan ceritanya lagi!" Kupukul meja dengan keras, hingga Nenek berdesis tidak senang.

"Bramacorah, bukan orang yang baik, tetapi bukan juga orang yang buruk," tutur nenek memulai cerita. "Sebenarnya ... Nenek ini ingin sekali naik odong-odong ...."

Nah, kalau yang ini bukan bagian dari cerita. Nenek itu pikun dan suka meracau. Dia sering mengatakan hal-hal yang berada di luar kepala sela-sela obrolannya. Meski begitu, aku sudah cukup memahami tabiat nenek dengan lapang dada.

"Bramacorah suka menolong para Engel!" seruku lantang.

"Angel." Nenek membenarkan.

"Enjel!"

"Nak, kamu tadi mau kopi atau teh?"

Keningku mengkerut. Nenek memang kadang membuat lawan bicaranya cepat panas. Siapapun itu, bahkan Ayah yang anaknya saja suka menjahili Nenek dikala ia jenuh mendengar racauan tidak nyambung yang beliau tuturkan.

"Teh!" Aku mendongak menatap tempelan magnet berbentuk aneka serangga di pintu kulkas. "Bramacorah itu baik. Dia senang sekali menyanyi untuk bocah-bocah sepertiku!"

Meski aku tidak pernah bertemu Bramacorah, tetapi dari cerita Nenek aku yakin dia orang baik. Memangnya orang jahat mana lagi yang mau menyanyikan lagu untuk anak kecil, serta menari, dan bernyanyi bersama? Tentu saja Bramacorah orang baik.

"Bramacorah pernah mengubah wujud anak kecil jadi rusa hutan kalau kau lupa." Nenek mengingatkan. Kudengar bunyi dentingan sendok berputar dalam gelas berisi air dari dapur.

Kalau diingat-ingat, perkataan Nenek ada benarnya. Bramacorah pernah mengubah wujud anak kecil dalam waktu sekejap. Seperti seorang penyihir tengah menjentikkan jari, lalu pup! Seketika wujudmu berubah. Entah itu badan manusia dengan kepala bekantan atau kepala manusia dengan tubuh jembalang. Tak ada yang tahu.

Dalam cerita Nenek, di Hurrah banyak makhluk aneh dan mengerikan yang mengintai bocah-bocah. Akan tetapi, para makhluk aneh itu adalah wujud dari sihir Bramacorah yang ditujukan pada anak kecil. Mereka adalah bocah-bocah yang diubah bentuknya oleh Bramacorah.

Tapi Bramacorah itu baik ....

"Tapi itu 'kan kesalahan mereka sendiri!" tegasku, "bocah-bocah dungu itu yang membuat perkara kenakalan!"

"Hm." Nenek berdehem serak. Kupikir dahaknya sudah menumpuk. "Bramacorah orang baik, sepertinya."

Aku gembira sekali. "Jadi, Nenek, kapan kau akan menunjukkan jalan menuju Hurrah?" Aku bertanya tidak sabar.

Nenek selesai dengan minuman. Dia berjalan kemari dengan gaya bungkuk nan lambannya. Keriput dan kulit mengendur menghias pada wajah yang tak muda itu. Kulit Nenek macam adonan kue yang lengket. Hidungnya agak bengkok ke kanan. Matanya hampir serupa batu akik berdebu. Entah masih bisa melihat wajahku dengan jelas atau tidak.

Di kedua tangannya ada masing-masing satu cangkir minuman. Berwarna merah terang dan hitam kecoklatan. ketika tiba di meja, Nenek menaruh segelas minuman, yang kupikir teh, di depanku. "Maaf kalau kurang gula. Mata Nenek sudah rabun dan semoga saja Nenek benar menyendokan gula, bukan garam di sana."

Aku tersenyum senang. Selagi Nenek duduk dan membuka setoples kayu manis di atas meja. Aku mencoba meminum segelas teh buatannya. Seketika tubuhku merinding, daripada disebut teh diberi gula, ini lebih pantas disebut air gula diberi teh.

Aku meringis. "Di mana Hurrah itu, Nek?" Aku bertanya lagi, tidak sabar.

"Hurrah?" Nenek mengabaikan toples kayu manis. Kedua netranya memicing kearahku. "Darimana kau tahu Hurrah itu?"

"Nenek setiap hari menceritakannya padaku."

"Oh ...."

Kala melanjutkan membuka toples, Nenek berdehem singkat. Ia berhasil membuka penutup toples, lalu mengambil satu kayu manis yang ia masukkan dalam kopinya. Entah mengapa. Aku sudah sering melihat Nenek melakukan hal itu dengan kayu manis dan minumannya. Kalau kata Ayah, orang tua biasanya memakan kayu manis agar tulangnya tidak keropos. Entah benar atau tidak.

"Kau ingin tahu Hurrah itu di mana?" Nenek menyeruput segelas kopinya, yang kuat sekali aromanya di penciuman. Lalu ia meludah ke samping. Tabiat Nenek sejak lama.

Kucoba bayangkan Hurrah itu seperti apa. Dalam cerita Nenek, Hurrah adalah tempat di mana para arwah atau roh baik berkumpul. Jagat Arwa, Nenek menyebutnya demikian. Aku tidak terlalu mengerti Jagat Arwa itu apa, barangkali macam kompleks perumahan para hantu-hantu baik tinggal. Misalnya suster ngesot terbang, kuntilanak berenang, pocong berjalan sedang asik ghibah.

Sisi lain, Hurrah juga memiliki mahkluk aneh yang sulit kubayangkan. Nenek menceritakan dengan sesekali meracau setiap harinya padaku, yang mana semakin sulit bagiku untuk mendiskripsikan. Pernah sewaktu mengisahkan makhluk Hurrah, Nenek mengatakan; "Dia seperti rubah berdiri, memiliki ekor persis seperti rubah dewasa, berbulu lembut, kepalanya ... ha! kerbau bertanduk suka makan belatung!"

Entah itu benar atau tidak. Tapi aku membayangkan rubah dengan kepala kerbau.

Dan mereka adalah anak-anak dari kompleks hantu yang diubah wujudnya oleh Bramacorah. Nah, sedangkan Bramacorah ini tidak jelas wujudnya seperti apa. Dia macam suatu entitas antara ada dan tiada, sebagai penyeimbang antara Jagat Arwa dan Jagat Manusia.

Konon, Nenek pernah berkisah bahwa sebelum menemukan Hurrah, dia terlebih dahulu bertemu Bramacorah.

"Hurrah ada di dalam lemari Nenek," katanya, kemudian menyeruput kopi.

Aku terkejut. "Dalam lemari? Apakah itu benar? Nenek serius?"

"Apa?"

"Hurrah di dalam lemari Nenek."

"Ck, Nenek bercanda." Wanita tua itu kemudian bangkit dan menaruh secangkir kopinya di atas meja. "Mudah sekali mengelabuimu, Rhafal. Kau bisa mati paling cepat kalau keadaan lagi darurat."

"Ikuti Nenek."

Dari sanalah kisahku di mulai. Rhafal, bocah delapan tahun yang malang.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang