#25

38 3 0
                                    

|| 1076 words ||

Harusnya, kapal pengangkut barang yang kami naiki sudah sampai tujuan saat ini, tetapi nyatanya kami masih berlayar di tengah-tengah laut. Bergumul dengan ombak, terombang-ambing, diisi dengan backsound badai petir.

"Kalau dipikir-pikir, kita cari mati banget," celetuk Vader. Suaranya teredam oleh debur ombak dan petir. "Aku, sih, nggak pengen mati di tengah laut."

Aku jadi berdeham sebal. Kami semua tidak ingin mati, tetapi kami bertiga cari mati dengan berhimpitan di dalam peti kotak yang pengapnya Naudzubillah. Baik Anya mau pun Vader, tak ada yang mengomentarinya, karena hanya ini satu-satunya pilihan agar kami sampai di tujuan dengan tubuh utuh.

"Maaf, Anya, tanganmu menyenggol pantatku," tutur Vader tanpa disaring.

Karena pencahayaan di sini terbatas, aku cuma bisa melihat kaca mata gadis ini yang bergerak. Meski kutahu kalau dia tengah malu, kaget atau semacamnya.

Ketika Anya bereaksi melakukan gerakan singkat, aku kemudian menyeletuk, "Nah, kalau sekarang, tanganmu yang menyentuh pantatku."

Kata Anya, "Diamlah. Aku nggak bisa melihat apa-apa."

Bukan salahnya, dan bukan salah kami. Pasalnya, aku pikir kami bakal ikut di atas kapal sebagai 'penumpang', tetapi ketimbang disebut demikian, kami bertiga lebih layak dikatakan penumpang asing dan penyusup. Entah pria-pria di atas kapal ini sadar kalau ada tiga bocah SMP yang bersembunyi di dalam salah satu kotak peti di kapal mereka.

"Bagaimana kalau Daratan Hijau itu sebenarnya tidak ada? Bagaimana kalau kita tidak akan pernah sampai ke sana? Bagaimana kalau pria-pria gembul di luar tahu keberadaan kita?" Vader mulai mengoceh.

"Harusnya kita tidak naik kapal ini, kan? Bagaimana kalau apa yang dikatakan Pablo dan Kanda benar? Tentang perdagangan manusia ...." tambahku. Seharusnya kami tidak berada di sini, tetapi jika tak melakukannya, bagaimana caranya untuk pulang?

Sementara aku dan Vader saling lempar asumsi-asumsi buruk, gelegar petir dan gemuruh seperti tengah menertawakan nasib kami. Gelombang air masih membuat kami bergerak ke sana kemari. Hiruk-pikuk di luar sana masih kentara terdengar meski aku tak sepenuhnya paham atas apa yang mereka katakan. Sepertinya kami betul-betul berada di ujung tanduk sekarang.

"Hei, kalian berdua, cobalah untuk diam dan jangan berpikir negatif," kata Anya memberi saran.

"Wah, hebat," batinku, "nyawaku seperti siap di tarik Malaikat Maut dan aku tidak boleh berpikiran negatif." Yah, cuma Anya yang rasional di sini. Kendati aku tahu, bahwa dia sangat terganggu dengan pobianya pada tempat gelap dan sempit.

"Ehm, aku sebenarnya ragu ingin mengatakan ini," kata Anya tiba-tiba. Jadi, ketika dia semakin bergerak tak karuan, aku pikir dia bakal semaput lagi, tetapi aku salah. "Tadi, saat kita mau naik ke atas kapal—maksudku, masuk dalam kotak peti ini—aku melihat kalau ada beberapa manusia, betul-betul manusia seperti kita, digiring oleh pria-pria gembul ini masuk ke kabin. Menurut kalian ... mengapa para manusia dibegitukan?"

Keningku mengernyit. Aku bahkan tidak sempat untuk memperhatikan sekitar saat kami cekatan masuk ke dalam kotak peti ini. Namun apakah itu benar-benar manusia? Jika, iya, berarti mereka sama seperti kami—orang-orang yang keluar dari portal Hurrah.

Kami semua terdiam untuk waktu yang lama. Aku mencoba mengintip melalu celah dinding kayu peti, yang kulihat sama seperti sebelumnya; melalui cahaya lampu kuning temaram, kotak-kotak peti tersebar di lantai kapal, di area kabin terdapat tali tambang yang menggumpal, lalu pada tiang haluan layar, beberapa panah dan busurnya digantung, segelintir pria masih lalu lalang.

Di area dek kapal, aku melihat dua makhluk setengah manusia dan dua manusia normal yang tengah dipegangi kuat-kuat. Mudah saja membedakan mana yang manusia dan mana yang abnormal. Mereka yang bukan manusia cenderung bungkuk, jalan agak pincang dan memiliki pupil macam binatang buas.

"Mereka akan diapakan?" Anya bertanya, dia juga sedang mengintip melalui celah dinding, begitu pula Vader.

"Jika tidak lecet, Tuan Baron akan senang. Kau tahu berarti itu apa? Harganya mahal, Bung," kata seorang pria. Dia sedang memegang tangan pemuda di depannya yang ia lipat ke belakang.

"Setinggi apa pun harganya, tetap saja tidak ada untungnya pada kita. Ingat, kapan terakhir kali transaksi ini berlangsung? Dua hari lalu, harga tinggi, dan kita bahkan tidak dapat setengah dari harganya!" Kawannya menyahut, ada nada kesal di sana.

Dua pria itu tampak murung. Saling menunduk ketika ada pria lain yang lewat, tetapi mendongak kembali beberapa saat kemudian. "Bagaimana jika salah satunya—" Si pria memberi kode, melirik pada manusia yang ia pegangi—"kita seludupkan? Toh, Samar tak akan sadar, lagian dia lebih mementingkan pemasokan barang daripada perdagangan manusia."

"Tidak, Kal," balas temannya takut-takut. "Kita sedang berada di atas kapal Samar, tengah laut dan berani-beraninya kau berkhianat. Tak takut jika Samar melemparmu keluar kapal lalu disantap ribuan siren yang kelaparan?"

"Rama." Pria yang bernama Kal itu menatap temannya, pupil matanya bergerak aneh. "Kita juga punya kehidupan selain di atas kapal ini. Kita punya keluarga masing-masing. Jadi, cobalah untuk pikirkan itu—keluargamu. Kita bekerja untuk mencari makan, bukan untuk dibodohi."

Rama tampak berpikir. Ia menunduk, memperhatikan dua manusia di depan mereka yang kelihatan sudah pasrah: baju lusuh compang-camping, dipenuhi noda darah, bekas cakar hewan buas, dan lumpur. Seperti menandakan seberat apa pelarian mereka sebelum ditangkap pria-pria ini.

"Bagaimana? Ayolah Ram—"

Lalu darah menciprat pada wajah Rama, dua manusia yang tengah mereka pegangi berteriak refleks, ditambah pria-pria di atas kapal yang sedang menggiring beberapa manusia tampak panik dan terkejut. Satu anak panah menancap pada dada pria yang bernama Kal. Darah mengucur pada mulutnya, napas Kal tampak putus-putus, tetapi ia masih sadar dan berusaha mengucapkan kalimat pertolongan. Rama semakin mundur, wajahnya kaget bukan main. Aku bahkan mual dan ingin muntah.

"Itu untuk niat berkhianat," kata seorang pria lain, dia muncul dari belakang Rama. Postur tubuh pria ini lebih besar dari keduanya, memakai baju lusuh seperti bertahun-tahun tak pernah ia lepas dari badannya. Dia sedang memegangi busur panah dan siap membidik. Lalu—

"Dan ini untuk bayarannya." Pria besar itu melepas tarikan, dan anak panah menancap tepat di dahi Kal, hingga ia limbung ke lantai.

Saat itulah kupikir naik di atas kapal ini adalah suatu kesalahan. Aku meragukan kami sampai dengan selamat sampai ke Daratan Hijau. Vader dan Anya tak bersuara, menandakan keduanya masih memproses apa yang baru saja mereka saksikan dengan mata telanjang.

"Dengar!" teriak pria yang masih memegangi panah. "Tidak ada pengkhianat yang akan hidup di atas kapalku! kalian bekerja untukku, maka tunduklah. Aku tak ingin menghabisi anak panah di kabin untuk kepala kalian." Pria besar itu bergerak mendekati tiang penyangga layar untuk menaruh panah dan busurnya. "Sekarang, periksa semua bawaan, aku baru saja mendengar kabar bahwa ada beberapa penumpang asing yang menaiki salah satu kapal di pelabuhan sebelum berangkat."

Matilah kami.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang