#10

45 14 6
                                    


|| 1407 words ||

Kugapai batang pohon ex dengan kedua tangan, yang mana perawakannya seperti tengah memeluk pohon, dalam prosesnya, dingin dan kasarnya tekstur kayu berkombinasi kurasakan pada lengan.

Tas punggungku sudah berada di dekapan Anya. Di balik remang gelap, aku tak tahu apakah gadis itu tengah terkekeh menghinaku atau tidak. Diamnya membuatku menduga yang aneh-aneh.

"Vad, kau yakin terus-terusan berada di sana dan tidak membantuku?" Mataku mengerling pada Vader.

Pemuda itu melipat tangan dan menghadap tepat pada pohon akasia yang sudah tak subur. Entah apa yang dilakukannya semenjak tadi. Aku berdehem malas, karena tak ada suara kupikir Vader menolakku.

Aku berusaha menggapai dahan terendah, dan berhasil, lalu naik secara perlahan. Semoga saja, dengan seperti ini aku bisa menemukan sesuatu yang berguna---maksudku, apa pun itu untuk bantuan jalan, selain para pemburu dan makhluk aneh tadi tentunya.

Aku hampir merosot ketika kakiku salah pijak, nafasku terengah-engah dibuatnya. "Rhaf, kau tak apa?" tanya Anya panik.

"Aku baik-baik saja."

Kulanjutkan naik pohon susah payah, hingga tak lama berselang suara Vader menginterupsi, "Apa sih yang mau kau lakukan naik ke sana?"

Ah, dia tidak tahu bahwa salah satu hal yang perlu dilakukan saat-saat seperti ini adalah mencoba mencari sesuatu di ketinggian. Barangkali dapat melihat asap dari seseorang. Maksudku, benar-benar orang. Entah itu dari asap bakaran warga pedesaan atau, entahlah, apa pun itu. Tak salah kalau mencoba, kan?

Saat itu Vader akhirnya menyetujui membantuku meski dengan berat hati ia melakukannya. Sementara dia mendorong pantatku lebih jauh ke atas, aku segera menggapai dahan yang besar dan mencoba naik perlahan.

Peri Mortem melayang di sampingku. Bunyi kepakan sayapnya yang terbang secara leluasa membuatku mengerucutkan bibir. Entah aku ini waras atau tidak karena sedang merasa iri padanya.

Tiba di puncak dengan aman, tak ada yang bisa kulihat selain pepohonan dan awan yang hitam. Tak ada semburat matahari atau sinar bulan. Hanya desis angin yang sejuk sekaligus terasa menusuk ke tulang. Di sini aku seakan kehilangan orientasi waktu: entah siang atau malam.

"Apa yang kau temukan?" tanya Anya begitu aku turun. Tersirat nada penuh harap di sana. Dia menyerahkan tas punggungku cepat, lalu aku menggeleng.

Kata Peri Mortem, kami mungkin bisa berjalan lagi guna mencari bantuan dari orang-orang yang sungguhan ingin membantu atau punya niat baik. Jujur saja, makhluk Hurrah yang satu ini adalah figuran yang tak banyak membantu kami. Ujarnya, Hurrah tak lagi seperti dulu. Maka dari itu, ia juga sama bingungnya dengan kami. Entah pergantian dunia Hurrah, dari terang nan indah jadi gelap nan suram seperti ini, ikut mengubah segala isi kepalanya juga, aku tak tahu.

Tas masih berada di punggung, sementara tulang belikat sudah hilang protein. Padahal isinya tak begitu berarti, barangkali akibat terlalu banyak bertempur dengan hal aneh di sini membuatku berlagak seperti akan mati satu menit lagi. Vader pun demikian, malahan kadang anak itu kudapati sedang dan ingin melempar tasnya ke pada para makhluk mengerikan sebelumnya, sampai ketika kularang bahwa ada saja sesuatu di dalamnya yang berguna. Lalu Vader memberi tahu dia hanya membawa satu pulpen dan dua buku mapel pada tas hitam besar menyerupa ranselnya itu, aku heran kenapa anak ini masih hidup dalam keadaan seperti ini. Peralatan tulis tak bisa digunakan senjata untuk para makhluk aneh barusan. Kadang aku heran kenapa bukan aku saja yang melempar tas Vader beserta orang-orangnya.

Anya, dia yang paling kelihatan tenang di sini. Meski sekali ia bersuara, yang ada rasa panik bercampur dengan emosi lainnya yang sulit dimengerti. Tubuh Anya kecil, kuperkirakan tak sampai 160 tingginya. Ia mungil, tak besar dan tak kecil. Anya tidak sedang memanggul tas macam orang yang nyawanya hampir di atas ubun-ubun seperti aku dan Vader. Tapi gadis itu kadang menawarkan bantuan, meski dengan berat hati kami tolak. Dengan alasan dia anak cewek. Meski sebelumnya Vader sempat berargumen kalau semua orang sama saja. Kacamata mines Anya masih bertengger manis di pangkal hidungnya yang mancung. Kadang aku ingin sekali menyentuh benda itu, yang anehnya selalu menempel di sana---tak jatuh sekali pun kami berlari membelah hutan, tersaruk akar, menabrak pohon, nyungsep.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang