#23

24 3 0
                                    

|| 1336 words ||

Kami melakukan perjalanan selama puluhan menit membelah hutan belantara. Selama itu, kami empat kali istirahat, dan tiga kali sembunyi saat mendapati dua ekor beruang jantan tengah mengais sisa daging membusuk di kubangan tanah becek. Baunya menyengat, bahkan aku agak menyesali mengganti pakaian, karena aroma daging busuk itu seolah menempel di helai demi helai kain, hingga menembus kulitku.

Dan kali ini adalah pemberhentian kami yang ke-lima. Aku boleh-boleh saja melanjutkan perjalanan bahkan sampai satu jam sekali pun di sini, tetapi kondisi Anya dan Pablo—meski keduanya telah perlahan pulih—tidak memungkinkan untuk terlalu lelah. Khususnya gadis berkaca mata itu. Kendati Anya bilang padaku jika ia bisa berjalan sendiri tanpa limbung ke kanan-kiri, aku tetap berkeras menuntunnya. Hingga akhirnya ia luluh dengan bujukankku.

"Dulu tak parah seperti ini," papar Alea. Gadis itu di depan kami semua, agak jauh sekitar satu meter lebih. Kaki kanannya menendang seonggok tulang ke sembarang arah, hingga menimbulkan bunyi becek nan aneh. "Aku yakin Bramacorah melakukan ini bukan tanpa alasan."

Pablo terbatuk, tetapi kemudian dia menetralkan suaranya. "Kau yakin menyalahkan semua ini padanya?"

"Kau berpihak padanya, ya," ujar Alea sambil terkikik. "Betapa ironisnya."

"Kalau bukan Bramacorah, siapa lagi?" Kanda menengahi. Sepertinya cukup tahu agar tak menyinggung perasaan satu sama lain.

"Aku tidak menyebutkan kalau Bramacorah tak bersalah. Tentu semua ini karenanya. Bahkan, aku seperti melupakan panorama langit malam dan siang di atas sana," jawab Pablo. "Hanya saja, aku berpikir kalau Bramacorah tak sepenuhnya melakukan ini semua. Logikanya, tak mungkin dia menyihir Hurrah dalam semalam tanpa sebab."

"Atau mungkin itu dilakukannya semata ingin," celetuk Anya. Kami terdiam sesaat, tetapi sebelum salah paham, gadis ini menambahkan, "maksudku, Bramacorah membuka portal sebagai pintu ke Hurrah dan menutupnya semaunya saja. Seakan-akan ia tengah bosan dengan hidupnya sendiri, lalu tiba-tiba ingin bermain untuk menghilangan rasa bosan itu—yah, katakanlah begitu."

Dalam ingatanku, Bramacorah adalah Raja dari Alam Bawah sebagai penguasa atau penjaga Hurrah. Nah, untuk mendapatkan posisi itu ia melakukan sesuatu pengkhianatan. Lalu posisi nenekku jatuh—karena awalnya Penjaga Hurrah adalah nenekku. Kalau ditimpali lagi dengan kalimat-kalimat makhluk berbentuk asap mengenakan jubah sebelumnya, barangkali nenekku mengikuti Bramacorah karena terpaksa, bukan untuk menyelesaikan perjanjian atau apalah.

Namun, sekali lagi, ini Hurrah. Apa yang bisa benar dan salah?

"Dia susah ditebak," kata Kanda menanggapi. "Selama ini kami yang berada di sini hanya tahu ia sebagai penguasa Hurrah. Kami tak pernah tahu dia ini perawakannya macam apa."

"Berarti, orang-orang di Daratan Hijau itu ... bawahan Bramacorah?" tanya Anya. Dia tampak berpikir, memproses segala hal yang baru saja menyambangi pikirannya.

"Bisa saja," kata Alea. Gadis itu mengetuk-ngetuk ujung sepatu but nya di tanah becek dengan sengaja. "Makanya Para Pemburu berangkat ke sana, barangkali ingin menghakimi Bramacorah atas apa yang ia lakukan selama ini. Itulah mengapa mereka juga suka membunuh, memburu dan menjajah, karena mereka ingin balas dendam pada Bramacorah."

"Kalimat yang fantastis," sarkas Pablo. "Kalau Para Pemburu ingin membalas dendam pada Bramacorah, buat apa mereka menjajah dan membunuh isi Hurrah, sementara mereka tak mengenal Bramacorah?"

Alea termangu dan diam untuk waktu yang lama. Aku pun begitu, entah apa motif Bramacorah menciptakan dunia sekelam ini. Mungkinkah ada sangkut pautnya dengan nenek ...? Aku sejujurnya ingin bercerita soal Bramacorah, nenekku, dan makhluk-makhluk aneh yang kutemui dalam mimpiku sebelumnya. Namun, sisi diriku yang lain tak membiarkan itu terjadi.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang