#19

17 3 0
                                    

|| 1178 words ||

Tubuhku merosot, melenyap, menghilang, terhisap—atau apa pun itu namanya—tertarik oleh pusaran gelap yang menggumpal. Semakin lama, pandanganku makin terdistorsi; jari tanganku bahkan kelihatan ada dua puluh. Beberapa detik berikutnya, apa yang kudapati hanyalah kegelapan pekat. Tulangku kebas, sendiku lemas dan aku bergerak was-was.

Dua detik berikutnya, ketika membuka mata aku berpindah tempat. Bagian belakang badanku basah, sikuku nyeri, dan aku meragukan kalau kedua kakiku masih menempel di tempatnya. Perlahan kubuka kelopak mata, langsung disambut oleh rintik air hujan yang membuat perih. Gemuruh mulai terdengar, diikuti dengan sambaran petir di suatu tempat di atas sana.

"Rhafal!" teriak seseorang berkali-kali. Suaranya tampak familier. Aku pernah mendengarnya sebelum ini.

"Anya, dia bangun!" Nah, yang ini suara soak seorang bocah laki-laki. "Lihat—terima kasih Dewa Neptunus!"

Aku membuka kelopak mata kendati berat dan perih. Lalu perlahan bangun. Sepasang tangan milik seseorang membantuku beringsut duduk. Rasanya aku ingat tempat ini. Namun, untuk alasan tertentu aku tak begitu bisa merincikannya.

"Syukurlah," kata seorang gadis. "Bagaimana kondisimu?"

Ketika membuka mata, yang kulihat itu adalah Anya dan di sebelah gadis berkacamata itu ada Vader. Dalam pencahayaan temaram, keduanya berekspresi muram. Rintik hujan masih turun, melunturkan jelaga dan noda lumpur pada wajah mereka. Hingga keduanya tampak lebih mending ketimbang sebelumnya yang mirip bocah tersesat di pedalaman amazon.

"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Vader. Tak tahu diri anak itu. Setelah ini berakhir, akan kupiting ginjalnya.

"Yah," sahutku, "baik-baik saja, sampai rasanya aku bisa main takraw dan menari balet bersama."

"Baik." Vader mengibaskan tangan, "Itu tandanya kau oke-oke saja."

Vader dan Anya membantuku bangkit dan kami menepi dari pilar segi enam ini. Kata Anya, setelah ditelan pusaran asap gelap tadi, kami sepenuhnya tak berpindah tempat atau masuk isekai. Hanya saja, dari penuturan mereka, aku jatuh pingsan sekitar sepuluh sampai belasan menit. Selama itu berlangsung, Anya dan Vader terus-terusan gelisah. Bingung ingin melakukan apa.

Sementara, yang kuingat hanyalah aku berpindah tempat ke Hurrah versi lain, lalu dituntun oleh seorang gadis berpakaian serba putih menuju Nenekku di sana. Meski apa yang terjadi tak seperti yang kuharapkan, aku tak bisa bertindak lebih. Pasalnya, kami memasuki Hurrah—yang memang segala isinya tak normal. Ke mana lagi aku harus menaruh ekspektasi?

Kuceritakan pada Anya dan Vader tentang mimpiku—entah aku lagi dalam mimpi, mati suri, atau pikiranku dirasuki seseorang—secara keseluruhan. Reaksi keduanya berbeda. Anya tampak khawatir sekaligus gelisah denganku, ia mulai mempertanyakan kenapakah kiranya mimpiku seperti itu, bahkan dia mulai menyentil tentang pertanda-pertanda, dari yang baik sampai buruk sekali pun. Sementara, Vader seperti orang sakaw yang tak pikir dua kali untuk mencerna lebih jauh. Katanya, mungkin saja aku ini setengah gila. Kepalaku kejatuhan dahan pohon atau menyundul pilar, hingga aku ia sebut melantur.

Aku sempat membicarakan tentang Daratan Hijau, dan alasan mengapa harus ke sana. Sebelum ini, kami bertiga hanya tahu sedikit tentang Daratan Hijau dari Kanda dan Pablo. Mereka bilang, kami bertiga akan naik kapal untuk ke sana. Namun, nahasnya dua saudara itu mendapat musibah, dan salah satunya tak ingin kami di sana.

Kondisiku bahkan tak lebih buruk dari sebelum ini semua. Badanku terasa lemas dan kehilangan banyak energi. Sebagiannya tandas karena berdebat dengan Vader. Sial. Kapan-kapan aku harus menyumpal mulutnya dengan batu atau semacamnya.

"Cuma satu masalahnya," ujar Anya, "kita buta arah, dan tak tahu ke mana jalan ke Daratan Hijau."

Dari tadi, yang jadi perkara itu adalah jalan menuju Daratan Hijau. Aku juga terlalu tolol sampai-sampai lupa ingin menanyakan seluk-beluk Daratan Hijau pada Pablo. Seharusnya aku melakukannya, untuk mengakali kondisi kami yang tak menggunakan alat penunjuk arah atau apa pun untuk memudahkan perjalanan.

Semilir angin berembus, membawa udara dingin. Rintik hujan turun semakin kecil, hingga menghilang. Gemuruh dan kilat masih mengisi langit yang selalu kelihatan mendung. Bahkan, backsound yang juga diiringi dengan suara-suara aneh binatang di sudut hutan menambah aura gelap.

Kami bertiga sudah siap ingin bangkit guna melanjutkan perjalanan tanpa arah kami, saat bunyi langkah kaki berderap di tanah membuat kami panik. Suara itu tak hanya satu, jika pendengaranku tidak meleset, ada beberapa orang mengarah kemari.

Nah, mulai di sini, aku, Anya dan Vader kalang-kabut. Kami cepat-cepatan bangkit, tetapi tak lama, kami tak bergerak dalam beberapa detik, ketika mata kami tertuju pada satu tempat di kegelapan dengan pencahayaan temaram nan redup.

"Kanda dan Pablo?" tanya Vader heran, yang seharusnya tak membutuhkan jawaban.

Kanda tampak berusaha berlari sambil membopong lengan Pablo, dengan beberapa kali menoleh was-was ke belakang. Air wajahnya panik serta tampak cemas. Aku dan Kanda sempat bertemu tatap beberapa detik, tetapi aku menghindar lebih dulu, dan beringsut berlari mengarah pada mereka.

Aku dengan cepat memposisikan diri, dengan membopong lengan Pablo yang lain. Jelaga luntur menempeli wajah mereka berdua, bahkan di area pelipis kanan Pablo tampak terdapat luka gores yang kelihatan dalam. Aliran darah merah membekas, bersatu-padu dengan sisa peluh dan air hujan.

"Apa yang terjadi?" tanyaku panik.

Di belakang kami berlima, langkah kaki terus berderap. Semakin lama terasa makin dekat. Aku cepat-cepat menggelengkan kepala. Berusaha menepis pikiran buruk yang mampir. Namun, sejauh aku mencoba, yang menempeli otakku hanya sesuatu yang buruk.

"Pemburu." Suara Kanda tampak lelah dan serak. Seolah tenggorokan pemuda berpupil kehijauan itu tak mendapat air berhari-hari. "Mereka mendapat kabar kalau, aku dan Pablo menyembunyikan, dan membiarkan kalian diam di tempat kami."

"Tapi mengapa? Bukankah kalian berdua hanya berniat untuk membantu?" Anya bertanya. Ketika kumenoleh ke arah gadis itu, dia sedang membenarkan kacamata minesnya yang hampir merosot ke pangkal hidung.

"Itu masalahnya," ujar Kanda. Dia mengeratkan lengan Pablo di tengkuknya. "Seperti nama mereka—Pemburu. Apa yang bisa salah?"

Hm ... benar juga. Sebelum aku, Anya dan Vader mendapatkan suatu kebetulan bertemu dengan Kanda dan Pablo, kami sempat diduga Alkonostbinatang buas pemangsa kepala—oleh Para Pemburu. Itu artinya, meski pun mereka dulunya juga manusia seperti kami, berarti kasta mereka lebih tinggi dari setengah hewan setengah manusia seperti Kanda dan Pablo, dan juga para Alkonost.

"Ke mana kita akan pergi sekarang?" tanyaku kemudian. Tidak mungkin kami terus-terusan berlari seperti ini membelah hutan yang rindangnya minta ampun.

Tak lama, satu anak panah melesat di depan kami, yang sumbernya di belakang, menancap di tanah tepat di depan kakiku. Seiring berjalan waktu anak panah itu makin bertambah jumlahnya, semakin banyak ... semakin mengerikan.

Di sela-sela itu, suara teriakan-teriakan mulai terdengar yang juga bersumber di belakang kami. "Berhenti—kubilang berhenti!"

Kakiku mulai terasa nyeri dan penat. Bahkan, kurasa tenagaku hampir berada di penghujung nafas. Sampai ketika Anya berteriak kesakitan, ketika satu anak panah menancap di belakang punggungnya.

Kusuruh Vader menggantikan posisiku, lalu aku dengan cepat membopong Anya. Dia terisak hebat, sementara di bagian belakang punggungnya terus mengucurkan darah. Bahkan, baju Anya tampak tak enak dipandang sama sekali.

Kutatap anak panah seukuran jari kelingking yang menancap di kiri punggungnya, dengan niat memberanikan diri untuk mencabut. "Tahanlah," kataku pelan, dengan ritme setenang mungkin. "Ini mungkin terasa sakit. Tapi tahanlah, Anya—" Aku mencabut anak panahnya, sementara Anya berteriak menahan sakit, lalu terisak.

"Kita akan pergi ke Utara Pulau," kata Kanda kemudian. Aku menoleh padanya. Wajah pemuda itu masih diselimuti raut muka terkejut dan kasihan. "Aku ... memiliki beberapa teman di sana."

Aku dan Vader mengangguk.

***

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang