#12

34 12 3
                                    

|| 1864 words ||

Aku salah perkiraan ketika pemuda aneh itu—Pablo atau siapalah namanya—mengambil barangnya, bahwa Vader akan membiarkan dia pergi seperti sebelumnya. Anak rewel itu membuat wajah ingin mati sambil berkata kepada si pemuda aneh—terkesan merengek, "Bawalah, kami—atau setidaknya bantu kami, bung. Kau satu-satunya manusia yang mau berbaik hati menolong kami sepanjang perjalanan suram barusan. Tolonglah."

Saat itu, aku hendak melarang lagi, namun kupikir sia-sia saja saat Vader menambahi kalimatnya sambil mengerling ke arahku, "Kalau kau tak ingin membawa dia, setidaknya aku dan gadis itu saja yang ikut denganmu. Pemuda itu memang agak miring."

Telapak kakiku ingin sekali bersarang pada wajah Vader, tetapi tak bisa kulakukan, karena Anya berusaha mendorongku menjauh. Si pemuda aneh itu kemudian mengatakan hal yang membuatku bernapas lega, "Tidak ada seorang pun yang akan ikut denganku."

Lagian, kami—maksudku, aku tidak ingin mengikutinya. Terserah dia mau kemana dan apa latar belakangnya. Aku tidak peduli. Akan tetapi, Vader tetap berkeras bahwa satu-satunya hal yang paling menguntungkan saat ini adalah ikut dengan si pemuda aneh. Ada benarnya, meski hanya sedikit, kupikir. Karena disatu sisi, menaruh kepercayaan kepada orang yang baru saja kau temui juga bukanlah hal baik.

"Rhaf, kupikir Vader ada benarnya." Anya mengusulkan, suaranya nyaris kecil sekali. Seakan-akan hilang terbawa angin. Dia menatapku dengan penuh harap, juga tampak memberi sorot penuh persetujuan.

"Tolonglah, Bung! Kami butuh bantuanmu! Aku sudah muak dengan ini semua! Aku ingin pulang! Aku butuh bantuan—"

"Sebenarnya apa yang membawa kalian ke sini?" tanya Pablo. Jika tidak didengar dengan seksama, ritme suaranya tidak bermakna sedang bertanya sedikit pun. "Dan kenapa ada Peri Mortem bersama kalian?"

Ada hening singkat yang menjerat kami selama beberapa detik. Menapak tilas dari yang sudah terjadi, mulai dari tentang nenek, hingga pintu tersembunyi di biliknya yang membawa kemari, sepatutnya itu sudah menjadi jawaban atas pertanyaan pemuda aneh itu. Tetapi di sini aku masih belum benar-benar mempercayainya. Maka aku tidak akan secara gamblang dan terang-terangan membocorkan itu semua kepadanya.

"Ada hal yang harus kutanyakan padamu," kataku, "apakah Hurrah dulunya memang seperti ini?"

Kening Pablo menekuk sempurna. Matanya lagi-lagi mengerjap ganjil dan itu membuatku menerka dia ini macam terkena penyakit atau apalah. Pemuda itu lantas menyorotku dengan netra hijaunya itu, "Tidak. Dulunya tidak seperti ini."

"Lalu kenapa semuanya berubah?" tanyaku lagi.

Aku tidak mengira Hurrah bakal berubah dalam waktu satu malam. Kali terakhirku ke sini bersama nenek, tempat ini tidak semengerikan ini: gelap, hanya cahaya remang dari atas sana yang jatuh ke sini—semacam cahaya yang tertutup awan gelap, lalu banyak bangkai hewan yang menguarkan bau anyir, serta para makhluk aneh. Semua itu tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa alasan.

"Kenapa kau ingin tahu?" tanyanya. Tangan Pablo selalu terpasang di kantong yang terkait di pinggulnya, seakan aku ini akan mengambil benda itu.

"Karena dulunya tidak seperti ini," sahutku. "Dulu Hurrah itu baik-baik saja 'kan?"

"Kau tidak akan mengerti," balasnya sambil membuang muka. "Kalian berasal dari Utara Pulau tapi kalian tak tahu apa yang baru saja terjadi. Sangat ironis."

"Utara Pulau?" Kali ini Anya yang bertanya. Menyuarakan apa yang tengah ada di pikiranku. "Jadi tempat ini adalah pulau?"

"Pulau yang luas," jawabnya. Pablo memasang mimik wajah seolah sedang menerka-nerka pada kami bertiga. Sorot netra hijau itu memandangiku, Vader dan Anya secara bergantian. "Biasanya, mereka yang ada di Utara Pulau akan berkeliaran seperti ini—seperti kalian, seperti orang yang putus asa dengan hidup. Karena mereka tak tahan dijajah oleh para Enterma. Pemukiman di sana sedikit, nyaris hanya membentuk kelompok kecil. Itu berarti mereka kalah dalam segi jumlah.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang