#15

27 9 2
                                    


|| 999 words ||

Besok, Tuan Baron—jika telingaku tidak salah dengar—akan memasok barang-barang ke Daratan Hijau. Perbudakan bahkan yang lebih tragis seperti memenggal kepala seseorang mungkin saja bakal terjadi di area pelabuhan ketika pemasokan barang berlangsung, antara kaki tangan Tuan Baron dan Samar, seseorang yang memegang kendali kapal-kapal sebagai akses barang—seperti itu yang dapat kusimpulkan dari penjelasan Pablo dan Kanda tadi.

Sementara lebih buruknya, di tempat ini aku tidak yakin bagimana caranya membedakan siang dan malam. Waktu seperti kehilangan orientasi. Semuanya sama, berjam-jam sedari tadi, yang kudapati hanyalah gelap. Cahaya seperti suatu hal yang langka di sini.

Aku tidak sempat bertanya lebih jauh, mengutarakan semua benang kusut di kepalaku pada dua orang pemuda yang kami temui sebelumnya. Kesialan sepertinya punya dendam kesumat padaku. Memasuki antah berantah, diburu monster, menemukan makhluk aneh, serta mendengar seluk-beluk cerita perbudakan yang memakan korban, membuatku merinding sekaligus ... gelisah, tentu saja.

Meninggalkan Kanda dan Pablo, dengan rumah mereka yang dilahap api bukanlah atas keinginanku sendiri, tetapi itu adalah permintaan, yah, Kanda. Kami—maksudku Vader, telah membujuk pemuda itu agar ikut, namun dia menolak tanpa alasan yang kuketahui. Aku tak bisa memaksa keputusan seseorang dan aku bukanlah seorang Vader yang mudah sekali menganggap seseorang itu sebagai kawan. Jadi, mau bagaimana lagi, itulah kenyataannya.

Di sinilah kami berakhir sekarang, menyusuri bebatuan tanpa tujuan yang jelas.

"Bagaimana dengan pelabuhan?" tanyaku. Suara jangkrik dan bermacam hewan tipe serangga membawa atmosfir suram disekujur tubuh.

"Maksudmu?" Bahu Anya berdempetan dengan lenganku. Membuat kami saling menoleh singkat—seakan tidak sengaja.

"Aku sedang meminta persetujuan kalian berdua untuk menuju pelabuhan," kataku, menelan saliva ragu. "Obrolan yang bisa kutangkap dari Kanda dan Pablo tadi, sepertinya Daratan Hijau ini cukup menjanjikan."

"Bagaimana cara kita ke sana?" tanya Anya lagi yang membuatku berpikir keras.

Di depan kami berdua, Vader berjalan dengan hentakan kaki yang sengaja dibuat keras-keras. Tak sekali dua kali anak itu kudapati menyepak batu tidak bersalah di mata kakinya. Dia sempat meringis, namun hanya sedikit. Sementara, Peri Mortem melayang di balik punggung Vader. Tanpa bicara, hanya kepakan sayapnya yang berbunyi kecil.

Aku tidak tahu mendeskripsikan kondisi amburadul kami bertiga—Peri Mortem tidak termasuk. Jelaga menempel pada setiap kulit, keabu-abuan bertekstur lembut hingga kasar. Wajahku penuh coreng bara warna hitam yang entah dari mana kudapatkan. Pelipis kiriku agak nyeri dan dingin sekaligus.

Aku dan Rhafal sudah kehilangan ransel, yang mungkin saja tertinggal dalam gubuk reot milik Kanda dan Pablo yang sudah dilahap si jago merah. Namun aku tak begitu memedulikannya lagi, toh isinya tak terlalu berarti. Sebotol minuman yang sisa seperempat dan tas milik Vader yang sama sekali tak membantu.

"Jadi bagaimana ....?" Anya bertanya, diakhir suara, ritmenya memelan.

Kalau dipikir-pikir, keselamatan adalah hal yang utama. Di samping perjalanan suram menuju pelabuhan, tentu saja aku tidak mau tiba ke sana dalam keadaan tak utuh. "Pelabuhan. Kita bisa, yah, mencari sungai mungkin? Barangkali ada suara gemericik air yang bisa di dengar. Mungkin itu sungai dan bisa saja terhubung langsung dengan pantai—"

Sejenak, yang terdengar hanyalah deru angin pada tangkai-tangkai pohon, bunyi binatang serangga, dan gemuruh di atas sana.

Tak ada tanda-tanda aliran air.

"Hm. Oke." Aku bergumam.

Jika perkiraanku tak salah, kami sudah berjalan di sini sekitar 30 menit. Melalui bebatuan besar yang sekitarnya dipenuhi tanah becek, menguarkan bau busuk di mana-mana. Tak sekali dua kali aku hampir muntah ketika mendapati potongan tulang-belulang yang tidak tahu tempat. Mereka tersebar secara random. Entah itu di kubangan tanah berair, di atas batu, tersangkut pada dahan pohon ....

Suara patahan ranting terdengar mengantung pada udara. Ada desiran aneh disekujur kulitku yang membawa bulu kuduk berdiri. Aku mencoba berpikir positif, hanya angin, tetapi suaranya seperti menjelaskan makna lebih dari itu. Lebih buruk.

Bunyi itu mirip sesuatu saat kami masih di sekitar gua sebelumnya. Dahan—atau ranting—pohon terdengar patah, disertai suara kepakan sayap berat, semakin lama makin dekat dengan telinga. Aku tak tahu apakah Anya dan Vader mengasumsikan hal yang sama dengan otakku, tetapi kurasa kami memiliki satu opsi yang serupa saat ini: sembunyi atau lari.

Kami memerhatikan sekitar. Suara rerantingan dan dahan pohon patah kentara masuk dalam telinga, sementara bunyi kepak sayap membawa atmosfer buruk yang membuat bulu kuduk merinding. Entah darimana asal bunyi-bunyi itu. Seperti mereka ada di mana-mana. Seakan tak lebih mengerikan, angin malam ikut berembus memperburuk keadaan.

"Dalam hitungan ketiga," kataku pelan-pelan. Kakiku sudah menapak pada tanah becek dengan mantap. "Satu ...."

Kepakan sayap itu makin berat, suaranya bagai dekat sekali pada telinga. Seolah-olah memang ada sesuatu yang tengah mengipas di kupingku. Seiring dengan suara kayu yang patah, awan gelap di atas kepalaku mengirim kilatan, yang tertangkap netraku dengan jelas.

"Dua ...."

Mataku awas terhadap sekitar, sekali lagi namun pasti, aku bisa melihat dengan jelas—meski hanya diterangi pencahaan dari kilat-kilatan awan gelap—puncak-puncak pepohonan rontok. Jatuh ke tanah, sebelum akhirnya mengeluarkan bunyi yang tak sedap. Suara itu semakin dekat, dekat dan dekat.

Aku berteriak, "Tiga—"

Menarik langkah, kami segera berlari menebas hutan rindang. Sesemakan dibabat habis tanpa takut akan ranting-ranting kecilnya. Lumpur kurasa menyangkut di setiap langkah yang kubuat, terasa berat sekaligus membawa nyeri pada tungkai kaki. Aku tak tahu apa yang menggores pada kulit lengan hingga wajah, kala berlari tanpa memerhatikan sekitar.

Kami berhenti saat menemukan bangunan—atau konstruksi bangunan, yang entah, terbengkalai seperti telah lama ditinggalkan. Enam pilar—kuduga tingginya tiga meter lebih—yang terbuat dari batu, berdiri membentuk formasi segi enam, dirambati oleh sulur lebat, dari bawah sampai atas. Di tengah-tengahnya, ada sebongkah batu setinggi pinggul berbentuk segi empat.

"Apa ini?" tanya Vader. Dia melangkah pelan, mendekati salah satu pilar.

Dalam keremangan, pilar-pilar ini dipenuhi corak aneh, terlepas dari sulur yang merambatinya. "Hati-hati," kataku waspada.

Peri Mortem berkepak di samping telingaku. Beberapa saat kemudian, dia bergerak ke arah depanku, "Gerbang Ephemeral," katanya.

"Gerbang Ephemeral?" beoku. Peri Mortem terbang ke salah satu pilar. Dia menyuruhku untuk menyingkapi akar-akar di bagian sana. Tanganku berusaha melepas sulur berduri bertekstur kasar itu. Bisa kulihat, sebuah ukiran aneh beraneka macam.

"Kami menyebutnya Gerbang Ephemeral atau Gerbang Jagat Arwa."

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang