#22

10 3 0
                                    

|| 1172 words ||

Kami membahas banyak hal, salah satunya menyangkut perihal Daratan Hijau.

Aku baru mengetahui kalau ternyata Alea adalah anak dari kepala suku di Utara Pulau. Kalau saja Kanda tak mengatakannya dengan gamblang, aku mungkin masih menerka-nerka siapa 'ayah' Alea, kendati tebakanku tak sepenuhnya salah.

"Sekarang, kudengar-dengar Zorah dan tawanannya ingin berangkat ke Daratan Hijau dalam waktu dekat," kata Alea memberi tahu.

Ada gejolak aneh di dadaku kala mendengar kata itu. Seperti sebuah harapan kecil. Sejatinya, memang seperti itulah harusnya. Daratan Hijau adalah satu-satunya pilihan terakhir kami saat ini. Karena, dari semua kejadian-kejadian yang menimpaku—termasuk memasuki Hurrah dalam versi berbeda—di Daratan Hijau-lah jalan untuk kami pulang.

Tentunya, aku harus bertemu dengan Bramacorah. Seperti yang mahluk-makhluk aneh katakan dalam mimpiku saat di enam pilar sebelumnya. Termasuk ketika mereka menyebutkan kalau di sana aku bisa bertemu Adamine—nenekku.

"Mengapa persisnya mereka mau ke sana?" Kanda bertanya.

Alea mengedikkan bahu. "Jika perkiraanku benar, mungkin saja ingin berurusan dengan Samar—si pembisnis gelap itu. Entah apa yang mereka inginkan padanya."

"Atau mungkin saja mereka ingin menjajah Daratan Hijau, mengambil harta kekayaan milik Samar, yang ia dapat dari Tuan Baron," kata Kanda menambahi.

Alea meliriknya. "Atau untuk Bramacorah."

"Bisa saja," tambah Kanda tak yakin.

Bramacorah ... benarkah dia seorang Raja Alam Bawah yang wanita serba putih sempat sebutkan padaku waktu itu? Apakah kenyataannya sungguhan macam itu, atau mungkin lebih buruk? Mungkin saja.

"Kalau kita menyeberang ke Daratan Hijau, satu-satunya pelabuhan terdekat cuma milik Tuan Baron," jelas Kanda. Tampak berpikir-pikir. "Kau tentu tahu apa saja yang sering terjadi di pelabuhan kapal itu."

Aku sempat mencuri dengar Pablo dan Kanda mengobrolkan ini sebelumnya, ketika kami masih berada di gubuk kakak-beradik itu. Seperti yang Kanda paparkan, di sana sangat tragis dan mengerikan. Dua kubu pekerja antara Tuan Baron dan kaki tangan Samar. Salah satu yang paling menbuatku ngeri, adalah saling penggal kepala.

"Tuan Baron ...." Alea meratapi kuku-kukunya. "Kau tak memiliki kenalan di sana? Mungkin salah satu di antara para pekerja Tuan Baron atau Samar?"

Kanda menggeleng. "Aku bahkan hanya pernah sekali ke pelabuhan itu, dulu sekali, ketika Pablo masih menjadi pekerja Tuan Baron. Percaya padaku, mereka sangat tidak bersahabat."

"Tidak bersahabat? Bagaimana persisnya?" Aku bertanya antusias.

"Mereka sangar, dan tampak kelihatan ingin mencekik leher seseorang dalam sekali lirik. Parang, pisau, celurit, kapak, panah dan senjata tajam lainnya yang tampak dipenuhi noda bekas darah, menempel di pakaian mereka ke mana pun mereka bergerak. Seolah-olah benda tajam itu adalah kawan karibnya. Bahkan, tubuh-tubuh mereka dua kali lipat Pablo—meski sedikit lebih gembul. Sampai situ, esok harinya aku bilang pada Pablo, kalau aku tidak mau datang ke sana lagi," jelas Kanda. Dia melirik saudaranya yang bergerak singkat. Seperti menyamankan posisi di kursi yang keras. Namun, dia keburu membuka kelopak matanya perlahan.

"Pab ...?" Adiknya mengambil secawan ukuran sedang air minum di atas meja. Ia minumkan pada Pablo sedikit. Jakun pemuda itu bergerak, entah berapa tegukan air yang masuk ke tenggorokannya. "Kau baik-baik saja?"

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Pablo adalah, "Kalian ingin ke Daratan Hijau."

"Ada apa?" tanya Kanda. Reaksiku pun sama dengannya, seumpama kaget dan tak menyangkan itu yang dikatakan orang usai siuman.

"Sejak insiden Pelabuhan Merah 5 tahun lalu, aku sudah tak pernah melihat orang-orang yang kukenal lagi di sana selepasnya—jika itu yang kalian harapkan dariku," katanya. "Esoknya, aku menemukan mereka berada di tumpukan mayat yang tak memiliki tubuh utuh."

"Maaf," ujarku dengan kening mengerut. "Insiden Pelabuhan Merah?"

"Pernah terjadi pembelotan di sana, antara kaumku dan orang-orang Samar. Dulu sekali, sebelum Tuan Baron mengambil alih pemasokan barang di pelabuhan itu, macam-macam kejadian yang lebih parah sering terjadi khususnya—dan salah satunya—ditandai dengan Insiden Pelabuhan Merah." Kanda memperhatikanku. Aku bergidik sesaat kala memperhatikan pupil matanya yang berkedut. Seakan-akan aku telah membawanya berada di masa insiden itu terjadi. "Di sana kacau, bahkan setara dengan apa yang terjadi-terjadi di sini. Semenjak kejadian itu, dan Tuan Baron mengambil alih, barulah agak dingin. Namun, pertumpahan darah tetap terjadi, hanya saja tak lebih sering daripada Insiden Pelabuhan Merah. Sekarang, karena masih saja mereka mengulang masa lalu itu di sana, Insiden Pelabuhan Merah tak banyak orang yang tahu, bahkan mungkin saja telah terlupakan."

Pablo meraih bajunya di atas meja, lalu ia pergunakan untuk membersihkan sisa baluran obat herbal di badannya yang penuh goresan secara perlahan. "Aku masih ingat dengan jelas ketika pria-pria di sana saling tebas, saling tusuk, saling penggal tanpa peduli siapa kiranya korbannya. Mereka dibutakan oleh insting Enterma—yah, itu menurutku. Memangnya apalagi yang tersisa di dalam tubuh mereka sebagai manusia jika melakukan hal itu? Intinya, korban berjatuhan, dan semakin bertambah sampai sekarang. Bahkan—"

"Orangtua kami termasuk korbannya," sela Kanda. Ada nada tajam ketika ia berucap, seakan ada perasaan dendam lama yang tak terbalaskan. "Semua salah mereka yang berada di pelabuhan hari itu. Aku bahkan masih ingat saat Ayah dan Ibu bilang hanya ingin pergi mengintai bersama kepala keluarga lainnya ke pelabuhan."

Pablo menatap Kanda. Lalu tangan berurat pemuda itu mampir mengusap puncak kepala Kanda, lalu punggung adiknya dengan lembut. "Selalu ada balasannya," katanya.

"Mungkin saja Para Pemburu bagian dari insiden itu." Alea menanggapi sembari menoleh pada Pablo. "Setahuku, mereka juga datang untuk memperburuk keadaan. Maka dari itu korban yang berjatuhan saat Insiden Pelabuhan Merah jumlahnya banyak. Di antaranya orang-orang Samar, kaummu, dan segelintirnya Para Pemburu."

"Lalu, siapakah yang salah di sini?" Anya memberi pertanyaan. Menoleh padanya, sepertinya gadis itu semenjak tadi ikut menyimak.

"Semuanya bersalah," kata Pablo, "dan tak ada pula yang benar. Mereka semata ingin melakukannya. Tambah lagi karena hasutan seseorang."

"Siapa?" tanyaku. Keningku berkerut. Aku sama sekali tak punya daftar nama untuk yang ini.

Mereka semua diam. Tampak berpikir. Sepertinya ada seseorang yang berada di tengah-tengah ini semua. Karena dulu, sejak pertama kali mengunjungi Hurrah, dunia yang kulihat sama sekali tidak seburuk ini. Dunianya sungguh berubah 160°. Di penuhi monster buas, darah, tulang-belulang, dan nyawa adalah sesuatu yang mudah direngut di sini.

Aku ingin memberitahu kalau apa yang kualami selama ini—yang bersangkutan dengan nenekku—sangat mengganjal di pikiranku. Seperti semuanya saling terhubung satu sama lain, tetapi aku tak tahu dan bingung harus memulai dari jalinan benang kusut yang mana. Namun, di satu sisi, masalah nenekku tak seharusnya kuceritakan pada mereka. Ya, aku pernah kelepasan mengatakannya pada Pablo waktu lalu. Kalau kuberitahu pada mereka, apa yang mungkin bisa berubah?

"Em, maaf—aku tidak sedang ingin menghasut atau mencampuri urusan kalian," celetuk Vader tiba-tiba. "Tapi, bisakah kami membersihkan diri dulu—maksudku, tubuhku betul-betul nyeri dan gatal banget. Dan kalau boleh meminta, adakah pakaian yang lebih layak—"

Aku menyikut kiri perut Vader dengan siku. Pemuda sangklek itu meringis sembari memberiku tatapan tololnya. "Apa yang kau bicarakan?!" bisikku pelan. Berusaha menetralkan ekspresi wajah. Karena aku sedang malu dan ingin menyundul ginjal Vader secara bersamaan.

"Aku paham," ujar Alea. Gadis berambut pendek itu berdiri. "Silakan bersihkan diri kalian, jalannya melalui di lorong ini, aku akan menyiapkan beberapa pakaian mendiang Ayahku untuk kalian kenakan,"—Alea berbalik badan, tetapi kemudian dia menoleh pada kami—"dan satu lagi, aku akan ikut kalian semua ke Daratan Hijau."

***

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang