#13

46 10 9
                                    

|| 2688 words ||

Gubuk kecil, berbau besi yang menyengat, serta berdiri satu-satunya dan tak kokoh di tempat terpencil adalah gambaran tempat—atau rumah—yang Pablo maksud. Tempat ini lebih mirip rumahnya para hantu bersemayam ketimbang layak dihuni seseorang. Kuterka, dengan sekali bersin saja gubuk tua ini bakal ikut melayang juga.

Tidak! Bukan maksudku menghina, tapi jujur saja, aku ngeri ketika membayangkan Pablo berada di sini selama paruh umurnya.

Di depan gubuk tua itu, ada daging yang digantung berjejer. Dikerubuni lalat dan menguarkan bau besi dari darah yang tampak masih segar. Seakan tak lebih mengerikan, dua obor menyala digantung pada tiang pasak di depannya. Tepat di kedua sisi jalan setapak masuk menuju pintu.

Selain aroma darah yang menyengat, serta bau busuk bangkai bercampur dengan pesing, ada aroma daging masak dari dalam tempat itu, yang membuat perutku bersemangat meronta-ronta ingin diisi. Vader merangsek maju secara bar-bar yang mana membuatku jengkel ingin menanamkan kepala anak itu dalam kubangan lumpur.

"Oke, aku bisa berjalan dari sekarang." Anya berkata pelan sekali. Menyerupa orang berbisik, yang mana suaranya persis seperti nyawa orang itu hampir di penghujung ubun-ubun.

Anya turun dari punggungku, sementara tanganku merenggang, aku berkata, "Kau yakin bisa berjalan sampai ke dalam? Aku masih kuat menggendongmu ke depan sana—"

"Jangan cari kesempatan Rhafal," selanya cepat.

Gadis itu bergerak hati-hati. Seakan kalau salah langkah ia bisa terbang terbawa angin atau tulangnya melunak sekejap—tapi itu tidak mungkin. Anya saat ini sudah kewalahan dan tampak pucat sekali. Aku harus mencarikan tempat untuk dia beristirahat. Tangan gadis ini mencengkram bahuku, karena ia seperti akan rubuh kapan saja.

Di depan sana, Vader masih berdiri setengah meter dari punggung Pablo. Dari belakang sini, melalui cahaya obor yang menggantung di dekat pria itu, aku dapat melihat jelas perawakannya. Punggungnya agak bungkuk dengan dua tonjolan ganjil di belikatnya. Kemeja lusuh di bagian sana tampak menampakkan noda merah dan sobekan bekas cakar. Sudah jelas menandakan kalau ia telah adu fisik dengan para Alkonost atau apalah itu sebelum bertemu kami di lubang ceruk di hutan gelap barusan.

"Tunggu sebentar," perintah Pablo. Dia lantas membuka pintu kayu yang tidak kuketahui di mana kenopnya. Dia semata meraih kedua sisi pintu, dengan sedikit gaya mengambil, lalu benda itu tercerabut dari tempatnya begitu saja. Pablo melakukannya macam sedang mengangkat sekumpulan kapas yang kebetulan berbentuk persegi panjang. Dia menaruh benda itu ke samping, menyenderkannya pada dinding gubuk, samping tiang pasak obor.

Kutelan gerutuan yang tentang kegunaan engsel pintu pada Pablo, saat kudengar sebuah suara dari dalam gubuk tua itu. Sebuah suara mengomel seorang lelaki muda, "Astaga—sudah berapa kali kubilang padamu, bisakah kau sesekali mengetuk dulu dan bukan mencabutnya seenak dengkulmu begitu, Pab?!"

"Maaf." Kudengar suara Pablo kemudian. "Aku membawa beberapa ... teman."

Jeda sejurus, kemudian sosok yang ada di dalam gubuk tua itu menyeruak keluar. Dia ... seorang pemuda jangkung yang kurus dan ceking, bahkan kuduga bobotnya lebih kurang dariku. Tingginya hanya sebahu Pablo. Dalam cahaya obor di kedua sisi pintu, aku bisa melihat wajahnya agak mengerut tua, sangat bertolak-belakang dengan nada bicaranya barusan. Keningnya tertekuk, matanya hijau dan mengerjap ganjil—salah satu hal yang serupa dengan Pablo. "Siapa mereka?" tanyanya.

Saat itu yang kami lakukan hanya bergeming di atas tanah berlumpur. Membiarkan Pablo mengambil alih pertanyaan seorang lelaki di depannya. Sementara, Peri Mortem melayang di dekatku, "Kau yakin mempercayainya, Rhafal?"

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang