Someone

876 106 2
                                    

Saya tidak akan menyebut namanya.

Masa lalu memang tidak akan bisa kita lupakan, apalagi terselip kenangan yang membuat kita selalu ingat tentang hal kecil.

Sebut saja dia.

Iya, dia yang dulu pernah hadir dalam hidup saya sekarang hanya tinggal kenangan. Episode-episode yang terlewatkan sudah tidak dapat diputar kembali.

Dia yang dulu kerap menanyakan kabar setiap hari, kini bahkan hanya menjadi penonton story. Tak ada satupun dari kita yang bertukar kabar kembali.

Dulu yang hampir setiap malam selalu mendengar suaranya, kini hanya angin lalu yang tak dapat diulang. Hal sepele yang selalu di ceritakan membuat raga yang sebelumnya lelah menjadi semangat kembali.

Kebersamaan yang pernah dilewati bersamanya memang tak akan bisa saya lupakan.

Itu wajar.

“Wajar? Berarti belum bisa melupakannya?”

Jika ditanya apa bisa melupakannya maka jawabannya memang tidak. Karena sekeras apapun saya berusaha melupakannya, sesuatu yang sudah masuk di dalam hidup saya tak akan pernah bisa terhapus.

“Masih mencintainya?”

Tidak.

Saya memang tidak bisa melupakannya, karena saya adalah manusia yang akan selalu ingat sesuatu yang masuk ke dalam hidup saya. Memori itu masih tetap tersimpan, namun tidak akan pernah terputar kembali.

Tidak bisa melupakan bukan berarti masih mencintai. Saya hanya ingat bahwa dia pernah singgah dalam hidup ini, namun hanya sebentar, sebelum saya memutuskan pergi.

Ya. Saya memutuskan pergi.

Tidak ada orang ketiga dan tidak ada masalah besar. Tidak juga ada kata bosan. Namun, sayangnya dia kerap menyepelekan sesuatu yang mungkin dianggapnya tidak penting.

Sedangkan sesuatu kecil yang terus menerus diulangi akan membuatnya semakin besar, bukan?

Kita adalah dua insan yang tak mau kalah dengan ego masing-masing. Merasa paling benar dan juga merasa tidak salah.

Tanpa disadari dia yang membuat saya terbiasa tanpa sosoknya. Dia yang membuat saya tak peduli lagi dengan apapun yang berurusan dengannya. Rasa sayang yang pernah saya rasakan juga perlahan memudar bersamaan dengan berjalannya waktu.

Kini cerita itu sudah tamat, buku yang pernah menjadi favorit saya kini hanya berdiam diri di rak. Saya memang sengaja tidak membuangnya, karena saya tahu bahwa dulu buku itu pernah menjadi favorit saya.

Kini lebaran baru sudah saya buka. Cerita yang mungkin masih pada prolog belum lanjut ke halaman berikutnya. Cerita baru juga mulai saya baca, bahkan saya tulis sendiri.

Perlahan coretan tak tahu arah mulai mengisi lembaran itu. Dan saya sematkan pada prolog suatu kalimat yang akan membuat cerita itu berkesan.

“Waktu yang menjadi saksi, bahwa saat saya membuka buku ini saat itulah saya tak akan pernah kembali membuka buku favorit saya dulu. Apa yang sudah saya tutup, tidak akan pernah saya buka kembali, apalagi mengulang membacanya dari awal.”

Ya, itulah saya.

Karena menurut saya cerita baru akan lebih menarik dibandingkan cerita yang pernah saya baca. Saya tidak akan pernah tahu isi dari buku yang lainnya jika saya hanya fokus pada satu buku.

Saya percaya bahwa Tuhan sudah mempersiapkan seseorang untuk saya di garis finish nanti. Saya tidak pernah menyesal memilih pergi, dan saya tidak akan pernah menjadikannya cerita favorit kembali, karena semuanya sudah tamat.

“Bagaimana jika kamu tidak akan menemukan seseorang seperti dia lagi?”

Memang itu yang saya mau. Bukankah cerita akan terlihat menarik jika alur dan tokoh yang ada didalamnya berbeda? Karena sesuatu yang sama dan akan diulang-ulang kembali hanya akan menimbulkan rasa bosan.

“Jadi, jika harus memilih lebih baik kembali ke masa lalu dan mengulang semuanya kembali dari nol, atau memilih orang baru?”

Jawabannya, orang baru.

Bukankah sama-sama mengulang dari nol. Lantas mengapa saya harus kembali membuka luka lama saya yang telah saya rawat hingga akhirnya sembuh?

Lagipula lebih baik untuk bahagia bersama orang baru daripada memperbaiki semuanya dengan dia versi terbaik. Karena menurut saya, mau berapa versi pun dia datang kembali, rasanya tak akan sama seperti dulu lagi.

“Jadi kamu membencinya?”

Tidak. Tidak ada secuil rasa benci padanya. Saya bahkan berharap dia bisa menemukan seseorang yang lebih baik dari saya yang pernah meninggalkannya.

Dia hanya sekedar masa lalu dan akan tergantikan yang baru, dengan seiring berjalannya waktu.

Dan dari sini saya sadar bahwa Tuhan memang sengaja mempertemukan saya dengan dia hanya untuk bersapa, bukan untuk bersama selamanya.

27 Oktober 2022.

°°°°°°°
TBC...

Sebuah GoresanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang