If I Die 8

352 53 0
                                    

CHAN menatap khawatir ruang rawat di depannya. Di pintu terdapat kaca yang membuatnya bisa melihat keadaan di dalam. Chan bisa melihat Hyunjin sedang di periksa oleh Jihoon—dokter yang menangani Hyunjin, bersama Areum dan Jinsang. Ada banyak pemikiran negatif bersarang di kepalanya. Takut keadaan Hyunjin yang memburuk adalah salahnya. Mungkin kalau Chan tidak menginginkan kencan, Hyunjin masih bisa tertawa hari ini.

"Hai,"

Chan mengadah sedikit terkejut. Jihoon berdiri di depannya memasang senyum. "Ha-Halo..." balasnya gugup. Ia langsung berdiri dari duduknya. "Bagaimana keadaan Hyunnie?" Chan langsung mengoreksi begitu sadar bahwa mungkin saja ia tidak paham siapa Hyunnie. "Maksudku, Hyunjin. Bagaimana keadaan Hyunjin?"

Jihoon tersenyum lalu menepuk bahu Chan. "Sedikit memburuk, dia sedang tertidur saat ini, efek obat. Istirahat dan pulanglah."

"Tapi..."

Jihoon kembali bicara. "Hyunjin sering membicarakan kamu ketika ia sedang check-up." Katanya sambil tersenyum lembut. "Katanya kau adalah seseorang yang membuat ia kembali semangat menjalani hidupnya,"

Chan merasa menghangat sekaligus sedih pada saat yang bersamaan. Ia tidak tahu kalau Hyunjin membicarakan tentang dirinya pada orang lain. "Baiklah ... tapi apa boleh aku menemui Ayah dan Ibunya ... sekadar pamit."

Dokter itu mengangguk. "Ya, tentu, kenapa tidak? Tapi habis ini pulanglah dan istirahat. Aku yakin Hyunjin tidak ingin pacarnya sakit."

Mendengar kata pacar membuat Chan semakin sakit. Ia mengangguk patuh sementara Jihoon menepuk bahunya dua kali sambil berlalu kembali ke ruangannya. Chan menatap pintu di depannya dengan tidak enak hati. Ketika masuk, ekspresi apa yang akan ia pasang di wajahnya? Apa Ibunya Hyunjin akan menamparnya habis-habisan karena membuat Hyunjin ambruk seperti ini?

Chan akhirnya memantapkan diri, ia mengambil nafas dalam-dalam, siap memasang badan kalau-kalau Ayahnya Hyunjin memukulnya. Kemudian setelah itu Chan mengetuk pintu dan memasuki ruangan Hyunjin. Tepat setelah ia menutup pintu, keduanya menoleh pada Chan.

"Chan," Areum tidak marah, melainkan ia langsung memeluk Chan dengan hangat. Padahal jelas-jelas yang lebih terpuruk adalah Areum. "Maafkan kami karena telah membuatmu repot."

Chan mengerjap lalu menggeleng pelan. Areum melepaskan pelukannya. "Tidak. Maksudku. Aku minta maaf, mungkin saja jika aku tidak mengajak Hyunjin ... berkencan, dia pasti masih bisa tertawa."

"Oh, Chan," Areum menutup mulutnya menahan tangis.

Sementara Jinsang hanya memasang senyum lemahnya. "Bukan salahmu, Nak Chan," katanya. "Jika Tuhan sudah berkehendak, mau bagaimana lagi? Kami sudah tahu dan siap-siap jika saja Hyunjin memburuk."

Chan menatap Hyunjin lalu mendekatinya. Bahkan keduanya mempersilakan Chan untuk mendekati Hyunjin. "Hei, Sayang," Chan merasa canggung karena menyebut 'Sayang' di depan kedua orang tua Hyunjin, tapi ia tidak peduli, ia hanya ingin Hyunjin mendengarkannya. "Aku tahu kamu adalah pejuang kuat, kamu tidak terkalahkan. Masih ada banyak keinginanmu yang belum terpenuhi," Chan menggigit bibir bawahnya lalu mengambil nafas—mencoba tegar. "Tolong, jangan tinggalkan aku dulu sebelum semua keinginanmu terpenuhi. Kau ingin bertemu dengan Park Jihyo? Idolamu? Ayo kita temui dia secepatnya."

Jinsang dan Areum yang mendengar itu terkekeh pelan meski sedikit sedih. Siapa yang tidak tahu Park Jihyo? Artis idola Hyunjin—seorang model—dengan payudaranya yang mengguncang iman.

Chan memasang senyum. Ia bergerak untuk mencium dahi Hyunjin, kepalanya sudah tidak terpasang rambut palsu lagi. Hyunjin di depannya seperti Hyunjin saat malam itu—di mana ia sedang tidur tanpa rambut palsu. "Aku pulang dulu, doktermu mengatakan bahwa aku juga harus istirahat."

If I Die - Chanjin [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang