HWANG HYUNJIN masuk ke dalam ruangan yang sudah tidak asing lagi untuknya. Mendengarkan lagu rock zaman 70-an, dia berjalan santai, menaruh tas gendong yang dia bawa di atas lantai lalu duduk di kursi yang membentuk bundar dengan tempat duduk posisi paling depan adalah milik si mentor.
"Hei, Hyunjin, kau datang ternyata."
Hyunjin melepaskan earphonenya lalu memasang senyum ramah—sedikit tengil. "Ya. Tentu saja." balasnya pada Lee Felix—salah satu pasien pengidap kanker sama sepertinya. "Sepertinya hari ini moodmu sedang baik ya?"
Lee Felix terkekeh sejenak sebelum menjawab. Pakaiannya biasa saja. Sweater turtleneck berwarna hitam dilapisi jaket kulit coklat muda yang sekarang disampirkan di punggung kursi dengan celana jins biru muda serta sepatu converse hitam-putih. "Begitulah, besok hari ulang tahun adikku."
Senyum Hyunjin bertahan selama beberapa detik sebelum akhirnya menoleh ke jendela yang tiga meter jauh darinya. "Rasanya lega mengetahui masih bisa bernafas di keesokannya harinya."
Felix tersenyum kaku.
"Oh, maaf!" Hyunjin menoleh cepat ke Felix. "Aku tidak bermaksud membuat moodmu turun atau apa."
"Tidak apa, tak masalah. Bagi kita, setiap detik nafas ini sangat berharga."
Hyunjin tersenyum. "Begitulah." Dia kembali memerhatikan si mentor berbicara. "Kau berencana merayakan ulang tahun adikmu?"
"Ibuku yang menginginkannya." Felix menjawab sambil menulis apa yang dia inginkan—perintah dari mentor. "Merayakan dengan gadis seusianya."
"Berapa usia adikmu?"
Felix menatap Hyunjin sambil menggoyangkan pulpen di tangan kananya. "Sepuluh."
"Sepuluh," Hyunjin mengulang lalu menatap Felix. "Lumayan jauh. Kau seumuran denganku. Tujuh belas tahun."
Felix merapatkan bibir sambil mengangguk pelan. "Ya, selisih tujuh." dia menjawab sambil membayangkan saat di mana adik perempuannya lahir. "Tapi sebelum Anne lahir, aku punya adik lelaki juga, namanya Alex."
"Wah, kau memiliki dua adik."
Felix mengangguk memberi Hyunjin senyum tipis. "Begitulah. Aku dan Alex hanya selisih tiga tahun."
"Oke. Empat belas."
"Ya. Empat belas."
"Sepertinya sangat asik sekali ya, rumah jadi ramai." Rumahnya sangat sepi, Ayah bekerja sementara Ibunya mengurusi rumah. Dia punya sepupu, tapi keluarga sepupunya tinggal di Las Vegas.
Felix mendengkus pelan. "Kau mendengar ocehan setiap harinya yang bisa membuat telingamu berdarah." Felix tidak mengada-ada. Anne dan Alex selalu bertengkar kecil membuat Felix langsung mendekam di dalam kamar, membiarkan Ibunya yang melerai. "Kalau mau, kau bisa main ke rumahku." Dan memperlihatkan pada Hyunjin seberapa berisik kedua adiknya? Lagi pula kalau diingat, Hyunjin juga sama berisiknya seperti mereka.
Dengkusan geli terdengar. "Undangan yang menarik."
"Undangan?" Felix bermonolog. Dia kemudian menatap Hyunjin. "Ibuku memperbolehkanku untuk mengundang teman-temanku. Kau mau ikut?"
"Aku? Ke?"
"Ulang tahun adikku, tentu saja."
Hyunjin terdiam sejenak, menimang ajakan Felix yang baginya langka ini.
"Aku juga mengundang temanku."
"Oh, ya?"
"Ya. Namanya Seungmin. Dia dulunya teman sekolahku."
KAMU SEDANG MEMBACA
If I Die - Chanjin [END]
أدب الهواةChan menatap selembar kertas di tangannya yang isinya merupakan 'list keinginan' Hyunjin sebelum meninggal dunia.