5. Malam itu

21 10 0
                                    

Jam menunjukan pukul 8 malam, aku berjalan menuju pintu sembari memakai tas selempang.

Aku akan pergi berbelanja malam ini. Karena terlalu fokus menghafal puisi yang aku tulis, alhasil aku lupa untuk belanja bahan makanan.

Kaki ini ku kerahkan menuju jalanan sepi yang biasa aku lewati sebagai jalan pintas menuju minimarket terdekat, walaupun sepi tetapi selama aku melewati jalan ini selalu tidak ada hal yang aneh.

Tetapi, mungkin sekarang hal itu terbalik. Di dekat lampu jalan yang remang-remang aku melihat seorang remaja laki-laki terduduk dengan tiga orang remaja lainnya yang mengerumuni sembari berdiri.

Mereka terlihat beradu mulut, dan hal yang membuatku kaget lalu memacu kangkahku adalah salah satu di antaranya berlari untuk mengambil sebilah kayu.

Aku tidak tahu yang di kerumuni itu siapa, yang jelas, aku melihat jas biru khas sekolahku di kenakan remaja itu.

Sesuai semboyan sekolah 'Saling melindungi dan mencintai' aku lalu berteriak ketika bilah kayu itu hendak di hantam kan pada sang remaja.

"BERHENTI!"

Semua laki-laki di sana langsung mengarahkan atensinya kepadaku.

"Sa-saya sudah memanggil pak rt! kalian harus kabur!"

Bodoh. Mana mungkin mereka percaya.

Aku kelabakan saat itu, karena mereka malah terkekeh menatapku.

"Waduh...lo nyari cewe yang bener dikit lah, gendut!"

Salah satu remaja itu menendang lelaki berkas biru yang sudah tak berdaya. Aku meringis, tidak tahu harus bagaimana.

"Heh cewe, lu telat. Kita udah selesai, lo urusin gih cowo lo itu. "

Aku menggeram, mereka mulai beranjak pergi. Setidaknya mereka tidak melakukan kekerasan lebih jauh, dengan segera akupun mendekat ke remaja laki-laki itu.

Aku menyalakan senter, dan saat mengarahkan ke wajahnya, aku hampir berteriak.

"Br-hmph!"

Mulutku di bekap tangannya yang lemas, dia hanya diam. Wajahnya sangat parah, luka di mana-mana, bahkan hidung Brian mengeluarkan darah.

Setelah ia melepaskan tangannya sembari menunduk, aku mengecilkan suara.

"Aku bantu memapah kamu, ayo. "

Pelan namun pasti, aku membantu Brian berdiri lalu berjalan dengan hati-hati menuju jalan ke rumahku.

Aku tidak banyak bicara, apalagi Brian. Napasnya memburu, dan benar-benar kehilangan banyak energinya.

"Na-nai... "

Bruk!

Tepat di depan pintu, Brian ambruk, begitupun dengan aku. Aku hampir menangis saat ini, melihat seseorang terluka parah ... mengingatkanku pada ibu.

Di sekitar rumahku tidak ada tetangga, mayoritas mereka sudah bekerja dan selalu lembur, ada pula yang pergi pulang kampung.

Jadi, mau tidak mau aku harus bisa membawa Brian masuk ke dalam rumah, setidaknya sampai sofa, lalu aku akan mengobatinya.

***

Jam menunjukan pukul 12 malam, aku baru selesai membersihkan luka dan mengobatinya, Brian sempat tersadar sebentar lalu ku suruh tidur karena aku gugup harus mengobrol dulu dengannya.

Wajahnya terlihat tenang, walau beberapa bagian di tutup kapas dan perban, tapi ia tetap tampan.

"Ah iya, aku harus menghubungi ketua kelas. "

Saat aku akan mengambil ponsel ku di meja kecil dekat sofa, Brian mencekal tanganku.

Tatapannya lelah, dan sedikit menyernyit seolah tidak suka.

"Jangan panggil siapapun. "

Rahasia Hati [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang