8. Seni Hati

17 8 0
                                    

Berkat bantuan Brian untuk membereskan rumah dan memasak sarapan, aku jadi berangkat di awal waktu.

Gerbang sekolah sudah di buka, dan beberapa murid baru saja masuk ke sana. Aku menahan senyum, karena teringat obrolan aku dan Brian saat sarapan.

Kami membahas tentang suka duka tinggal sendiri, lalu tentang progres ku untuk latihan puisi. Dia juga memintaku untuk membacakan puisiku sedikit, tetapi aku masih malu untuk itu. Alhasil, aku menolaknya.

"Kostum kita harus di cobain hari ini Ian! Si Brian kemana emang?!"

Nada ngegas merica membuatku memandangi mereka berdua yang sedang berjalan menuju lorong kelas.

Rian menggaruk rambutnya, sembari membenarkan tas ransel yang ia lampirkan di bahunya sebelah.

"Dia bilang lagi jalan-jalan Ca," jawab Rian malas.

Merica memandang kesal Rian, saat pemuda itu membuka kunci pintu kelas.
"Bisa-bisanya dia jalan-jalan di saat hari penting untuk persiapan!"

Tak di sangka Rian menoleh ke arahku, mata mengantuknya langsung kembali menatap Merica.

"Masih pagi Ca, nanti kita lanjut bahasnya."

***

Hari ini ternyata di mulainya persiapan untuk acara ulang tahun sekolah kita. Semua murid di bebaskan asal tidak kabur.
Tak seperti kelas lain yang hampir semua membantu mendekorasi lapangan yang akan di gunakan untuk keberlangsungan acara, kelas kami malah hampir semua bersantai dan bermain di berbagai tempat kecuali lapangan.

Dan aku sekarang tengah berada di gudang sekolah, aku tengah berlatih di sini.

Selesai membaca puisiku, aku memejamkan mata, emosi yang aku keluarkan untuk membaca puisiku sendiri membuatku teringat tentang seseorang.

Dia adalah tokoh dalam puisi ini, yaitu ibu sebagai cinta pertamaku.
Orang bilang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, tapi bagiku cinta itu tak pernah tumbuh.

Ayah pergi begitu saja, sesaat setelah aku lahir, dia lebih memilih selingkuhannya daripada ibu.

Aku tak ingin melihat wajahnya, karna bertahun-tahun aku selalu menyaksikan ibu menangis ketika melihat wajah ayah di dalam foto.

Ibu meninggal karena kecelakaan, keluarganya enggan mengurusi, karena pernikahan ibu dan ayah di tentang keluarga. Saat itu, ibu di makamkan seadanya dengan bantuan pak rt dan warga setempat.

Aku sempat di tawari untuk tinggal bersama tetangga, tapi aku menolak.

Rasanya sedih, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Aku menatap kembali untaian kata yang aku buat, sedikit tersenyum karena tiba-tiba memori itu teringat.

"Semua hal di dunia ini ada seninya, Naina. Termasuk untaian dari beberapa kata seperti puisi, " ucapnya sembari tersenyum kepadaku.
Aku bergumam melanjutkan perkataan ibu, "tapi, seni itu tidak akan terlihat jika tidak berasal dari hati. "

Aku mengangguk, perkataan ibu benar. Kata-kata itulah yang selalu aku pegang. Menjadi pemenang bukanlah patokan ku dalam mengikuti lomba, yang terpenting bagiku adalah puisi yang aku utarakan dengan sepenuh hati dapat tersampaikan kepada setiap hati yang mendengarkannya.

***

Tak di sangka, aku pulang jam 5 sore. Ternyata, kepala sekolah sengaja membebaskan kita dari pagi hingga makan siang, dan memperkerjakan kami di saat menjelang sore.

Bukan karena ibu Rian tega, tetapi ia lupa. Panggung memang sudah jadi, akan tetapi kepala sekolah kami setiap tahun selalu menyerahkan dekorasi panggung itu pada setiap kelas berbeda.

Tahun kemarin, dekorasi di serahkan kepada anak kelas S yang di juluki anak seni, alhasil panggung menjadi sangat cantik dan estetik. Berbeda dengan kelas kita, kelas A² yang di juluki kelas amburadul, bagaimana tidak? Di kelas kami nyaris sedikit orang saja yang waras.

Aku menghembuskan napas, dekorasi panggung kita sangat aneh, karena perdebatan tema alhasil Rian malah menyatukan berbagai tema agar tidak ribet.

Bukan hanya lelah karena masalah dekorasi, akan tetapi juga karena aku tidak kunjung melihat angkutan kota.

"Apa aku jalan aja ya?"

Sesaat setelah berpikir begitu, seseorang dengan sepedanya berhenti tepat di depanku.

Aku cukup terkejut, dan langsung melihat sekitar, memastikan tidak ada yang melihat.

"Brian?!"

Brian memamerkan senyumnya, sangat manis seperti anak teladan bisanya.

"Ayo, gue antar pulang. "

"B-beneran?"

Brian terkekeh dan mengangguk.
"Iya, ayo. "

Tanpa aku sadari, seseorang memotret kami.

***

Siapa tu?

Salam sayang
_Niaagxyma_

Rahasia Hati [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang